Alarm Bahaya untuk Jokowi Jika Tetap Diam dan Keras Kepala Terus Lakukan Drama Kekuasaan

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

 

Oleh: Agung Wibawanto

Ini dunia digital di mana segala sesuatu dapat direkam dengan cepat dan dipublikasikan. Setiap orang sepertinya sulit untuk sembunyi.

Rekaman yang dimaksud meski bukan berasal dari obyek langsung pada saat itu juga, tapi pasti ada saksi-aaksi yang berpotensi untuk mengaku mengungkapkan apa yang tidak diketahui banyak orang.

Untuk itu memang perlu kehati-hatian ekstra, bagaimana sebuah rahasia jangan sampai dibocorkan oleh orang-orang yang terlibat, misalnya.

Semakin melibatkan banyak orang tentu potensi terbongkar akan menjadi keniscayaan. Terlebih di dalam dunia kekuasaan, seorang yang semula dianggap teman tapi kemudian bisa berubah menjadi lawan yang akan memainkan kartu truf yang tersimpan selama ini.

Tujuannya memang untuk menjatuhkan “lawan”. Tidak heran dalam dunia kriminal ataupun keluarga mafioso, mereka tidak segan mematikan “saksi” yang dikhawatirkan bisa bicara kemana-mana.

Negara sekelas AS atau Rusia dan China juga Korut yang sangat tinggi level keamanan nasionalnya, tetap terjadi “kecolongan” rahasia negara, atau rahasia top leader yang harusnya tertutup dan terjaga tidak menjadi konsumsi publik.

Sebuah dokumen rahasia dalam perundang-undangan di AS akan dibuka ke publik jika sudah melewati masa rahasia yakni 25 tahun. Namun yang bukan dokumen sifatnya, tidak diatur. “Dia” bisa dibocorkan kapanpun dan tidak mampu ditahan.

Kecuali jika apa yang disampaikan merupakan berita bohong atau hoax maka dapat dijadikan sebagai perkara hukum. Namun jika memang itu fakta, akan kesulitan untuk menuntut Si Pembongkar cerita. Hal ini yang tengah terjadi pada presiden Jokowi.

Diketahui sejak keputusan MK yang membuka peluang Gibran sebagai cawapres, semua bermula. Jokowi semakin menunjukkan hasrat berkuasanya dengan melakukan support system’ kepada paslon Prabowo-Gibran.

Adanya cara-cara yang tidak sehat dan terlihat jelas ingin memenangkan pasangan Prabowo-Gibran membuat rakyat (terutama eks pendukung Jokowi) semakin merasa jengah.

Buah dari perilaku Jokowi dan tim nya tersebut membuat timbulnya “perlawanan” dari kalangan masyarakat sipil dan juga dari paslon yang berseberangan dengan Prabowo-Gibran. Perlawanan yang dimaksud untuk menunjukkan kepada publik bahwa Jokowi tidak sebersih yang diduga.

Dimulai dari cerita Adian Napitupulu soal wacana dan adanya usulan tiga periode kepada PDIP dari orang-orang lingkaran istana (tidak mungkin hal ini tidak diketahui dan tidak berdasarkan kehendak Jokowi, karena orang-orang tersebut masih tetap dipakai sebagai menteri kabinet).

PDIP menolak keras usulan tersebut karena dianggap menabrak konstitusi. Demikian pula adanya usulan untuk menunda pemilu. Hal ini pun ditolak PDIP karena alasannya sangat tidak logis. Cerita ini sudah go publik.

Bahkan menteri Bahlil pun mengakui dirinya yang datang ke PDIP mengusulkan ide tiga periode. LBP hingga Bamsoet (ketua MPR) dan Zulhas (PAN) terus mewacanakan penundaan pemilu.

Jadi, sekali lagi, ini bukan isu atau gosip lagi. Meski di awal ditutupi oleh istana dan Jokowi bahwa dirinya menolak tiga periode maupun penundaan pemilu.

Jokowi mengatakan tidak, tapi para menterinya terus bicara kebalikannya, tentu tidak logis. Jika memang Jokowi menolak keras dan tidak suka, maka menteri-menteri itu bisa direshuffle.

Ada lagi kisah ibu negara yang mendorong Gibran, anaknya, menjadi cawapres Prabowo. Awalnya ada rumor perseteruan Iriana dengan Megawati yang pertama kali dilontarkan oleh program “Bocor Alus” tempo online.

Pada akhirnya terbukti Gibran bisa melenggang di atas karpet merah berkat keputusan MK yang diketuai Anwar Usman, pamannya Gibran. Ini pun awalnya ditolak keras Jokowi, namun tidak kuasa menghadapi kemarahan ibu suri sampai dikabarkan tidak dibukakan pintu kamar.

Jokowi terus mengikuti keinginan kuasa orang-orang di sekitarnya. Ia semakin terseret arus melanggengkan kekuasaan. Jokowi bahkan tidak kuasa melarang anak dan menantunya “menjauhi” PDIP yang sudah membesarkan nama Jokowi sekeluarga.

Gibran dan Bobby sudah mengembalikan KTA, sementara Kaesang memilih diangkat Ketum PSI ketimbang jadi anggota biasa PDIP. Tidak sampai di situ, pasangan Ganjar-Mahfud yang diusung PDIP juga mendapat tekanan dari aparat.

Semua itu membuat banyak orang merasa tidak lagi bisa berdiam diri. Sampai Ketum PDIP Megawati harus bersuara keras setelah sebelumnya hanya diam. Ia mengingatkan agar penguasa tidak menjadi new orba.

Berlanjut, dari Solo, Rudy FX, ketua DPC PDIP Solo, yang juga diakui orang dekat Jokowi membeberkan banyak hal yang sebelumnya tidak diketahui publik. Mulai dari “jalan bebas hambatan” yang diberikan kepada Gibran menjadi calon walikota Solo.

Begitupun dengan Bobby mendapat perlakuan sama. Karena pada saat itu DPC PDIP Solo dan DPC PDIP Medan sudah memiliki calon melalui jalur menjaringkan dan penyaringan.

Anak Jokowi diberi keistimewaan. Maka jika dikatakan Iriana sakit hati Jokowi disebut petugas partai, menurut FX Rudy sangat tidak masuk akal.

Rudy justru membongkar cerita negatif Iriana yang tidak melayat (takjiah) saat ibunya Jokowi meninggal, bahkan hingga acara seribu harinya. Rudy turut mengurusi kelancaran acara tersebut.

Sebelum itu, tokoh-tokoh budayawan seperti Goenawan Muhamad dkk juga menceritakan bagaimana mereka mencoba bertemu dan ingin mengingatkan Jokowi.

Jokowi kala ditemui melalui Abdi (Slank), mendengarkan saran budayawan untuk tidak meneruskan rencana Pencawapresan Gibran, Jokowi meminta agar Pratikno mencatatnya.

Namun praktiknya gagal. Jokowi membiarkan proses Gibran berjalan seperti sekarang. Tentu banyak orang menjadi kecewa hingga sakit hati.

Kemarahan pendukung kepada Jokowi tentu berbeda dengan yang dilakukan kadrun. Namun begitu, pemuja setia Jokowi menganggap sama saja, karena sama-sama mendiskreditkan Jokowi yang sudah mereka anggap sebagai dewa yang tidak pernah salah dalam setiap sikap politik yang diambilnya.

Terlahir dan terupdate, Agus Raharjo, mantan ketua KPK menyampaikan cerita lain bahwa dirinya pernah diminta Jokowi untuk menghentikan pemeriksaan Setya Novanto dalam kasus e-KTP.

Cerita-cerita drama yang dulu tidak diketahui publik diyakini akan terus dibongkar. Hal ini jika Jokowi tidak mengindahkan suara civil society yang memintanya stop cawe-cawe sekaligus menjawab atas semua kesemrawutan kehidupan bertata-negara belakangan ini.

Karena hal ini jika dibiarkan akan menyulitkan bahkan membahayakan posisi Jokowi sendiri. Setidaknya, soft landing di akhir jabatannya tidak akan terjadi. Resiko terbesar adalah adanya gelombang besar penolakan pada pemerintahan Jokowi.

Cerita keburukan rezim yang tidak pernah didengar publik akan terus direproduksi hingga pada titik nadir mereka tidak percaya lagi pada Jokowi bahkan mungkin membencinya.

Kedudukan Jokowi di DPR memang masih kuat karena partai koalisi pemerintah sudah disandera masing-masing ketuanya.

Namun jika suara oposan plus PDIP bergabung, maka sesuatu bisa terjadi. Namun sejak awal PDIP memilih tetap konsisten mengawal Jokowi hingga akhir jabatan 2024. Kita tunggu cerita selanjutnya.

- Advertisement -

Berita Terkini