Meneropong Bangunan Dinasti Politik Jokowi

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM, Opini – Gejala bangunan dinasti politik kekuasaan Presiden Joko Widodo (Jokowi) semakin utuh dan kokoh setelah hubungan asmara (baca: keluarga) antara Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman dengan adik kandung Presiden Jokowi bernama Idayati terjalin dalam ikatan keluarga. Tidak sedikit yang menduga di samping itu adanya hubungan politik yang diikat dengan urusan domestik (keluarga).

Akan tetapi jauh sebelum “pernikahan politik” itu, gejala bangunan dinasti politik kekuasaan Presiden Jokowi sudah tampak saat anak sulungnya Gibran Rakabuming Raka menjadi Wali Kota di Solo dan Bobby Afif Nasution dengan mulus menjadi Wali Kota di Medan. Dalam pandangan kita, mungkin itu biasa saja, sesuatu yang lumrah di era demokrasi saat ini. Tapi ternyata hal itu memberi dampak “buruk” terhadap pertumbuhan demokrasi Indonesia.

Jelas hal itu baru mulai terasa pada 16 Oktober 2023 saat pamannya Gibran selaku Ketua MK membacakan Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang memuluskan jalan Gibran Rakabuming Raka untuk ikut mencalonkan diri sebagai wakil presiden (wapres) pada pemilihan presiden (pilpres) 2024 nanti. Sepertinya semua telah terskenario dengan baik oleh seorang “sutradaranya”, dan kita sedang berada dalam scenario rencana bangunan dinasti politik kekuasaan Presiden Jokowi saat ini. Dugaan kuat adanya unsur politik dalam perkawinan Ketua MK Anwar Usman dengan adik kandung Presiden Jokowi perlahan-lahan terjawab oleh tindakan mereka sendiri. Dalam politik tidak ada yang “kebetulan” dan berjalan tanpa skenario.

Dalam realitanya selama ini dapat dilihat betapa lemahnya peran mayoritas anggota parlemen, bahkan tampak cendrung membela-bela Presiden Jokowi daripada mati-matian membela konstituennya yang terdampak buruk dari kebijakan-kebijakan Presiden Jokowi. Partai-partai politik yang besar berkoalisi dengan Presiden Jokowi agar diberi kursi menteri dan segala macam hal yang menguntungkan partai, di sini terkesan mayoritas parpol menjadi parpol pragmatis, lebih tertarik membela kepentingan korporat atau investor. Moralitas politik di parlemen telah hancur berantakan. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (UU IKN) dan Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) adalah sebahagian kecil betapa rusaknya moralitas parlemen Idonesia saat ini.

Selanjutnya yang paling hangat saat ini adalah kita melihat betapa hukum (UU Pemilu) “diobok-obok” oleh Ketua MK Anwar Usman untuk memudahkan Presiden Jokowi melanggengkan bangunan dinasti politik kekuasaan di tingkat pusat melalui menambahkan norma alternatif sebagai syarat cawapres. Dalam penalaran yang wajar, soal syarat capres dan cawapres yang disebutkan dalam Pasal 169 UU Pemilu tidaklah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) dan hak-hak konsitusional warga negara, dan pasal a quo murni wewenang pembentuk undang-undang (DPR dan Presiden) untuk merubahnya.

Tapi apa yang terjadi? “Gerbong” MK ini dijerumuskan oleh Anwar Usman ke ranah kepentingan politik. Sehingga tidak heran hari ini kepercayaan publik kepada MK menurun drastis. MK terlihat telah menjelma menjadi Mahkamah Keluarga, Mahkamah Kekuasaan, Mahkamah Keponakan, Mahkamah Kekacauan, Mahkamah Kepresidenan, dan mahkamah-mahkamah yang telah jauh dari sejatinya Mahkamah Konstitusi.

Seharusnya sejak Anwar Usman menikah dengan Idayati adik kandung Presiden Jokowi, pada saat itu pula ia harus mengundurkan diri. Sebab konflik kepentingan (conplict of interest) tidak dapat dihindari. Pada akhirnya, meminjam bahasa Ahli Tata Negara dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Zainal Arifon Mokhtar; Palu Hakim MK pecah berkeping-keping. Siapa lagi yang percaya dengan MK saat ini jika Ketua MK Anwar Usman tidak dipecat dari hakim MK?

Menilik pada Putusan MK No 90 Tahun 2023 tersebut, terdapat banyak kejanggalan di dalamnya. Mulai dari legal standing Pemohon yang tidak benar-benar serius membuktikan bahwa ia mengalami kerugian konstitusional dengan berlakunya pasal a quo, akan tetapi karena alasan pemohon menyayangkan Gibran anak Presiden Jokowi tidak bisa mencalonkan menjadi Capres atau pun Cawapres karena terhalang oleh batas minimal usia. Ini jelas bukan alasan atau pun argumentasi hukum dan tidak duduk legal standingnya (kedudukan hukum pemohon).

Selanjutnya apabila diperhatikan pertimbangan hukum yang disampaikan oleh tiga hakim MK (Anwar Usman, Guntur Hamzah, dan MP. Mahahan Sitompul) tidak memiliki landasan atau argumentasi konstitusional akan tetapi lebih keranah sosial-politik, dan tampak sangat subjektivitas untuk kepentingan seseorang. Dan hal ini terbukti setelah keluarnya putusan tersebut, sosok nama yang disebutkan dalam putusan tersebut langsung mencalonkan diri sebagai cawapres mendampingi Prabowo Subianto. Tentu kita patut bertanya ada apa dibalik itu semua? Bukankah ini bagian dari misi untuk melancarkan bangunan dinasti politik kekuasaan Presiden Jokowi.

Hal yang paling parah lagi adalah betapa banyaknya pelanggaran-pelanggaran etik yang dilakukan oleh Anwar Usman selaku Ketua MK, hal kita ketahui dari berbagai laporan dan penjelasan Ketua Majelis Kehoramtan Mahkmah Konstitusi (MKMK) Jimly Ashiddiqie saat memeriksa pelanggaran etik yang dilakukan oleh hakim-hakim konsitusi yang mengabulkan permohonan dalam putusan a quo.

Melihat dari fenomena ini, benar apa yang dituliskan oleh Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt dalam buku How Democracies Die (Bagaimana Demokrasi Mati). Dua penulis itu menjelaskan bahwa demokrasi mati bukan karena kudeta pemerintahan seperti di era klasik. Tapi kini di era modern demokrasi mati (termasuk di Indonesia-pen) “dibunuh” oleh orang-orang yang lahir dari demokrasi. Tindakan-tindakan yang dilakukan diantaranya seperti memperlemah pers (media), lembaga-lembaga demokrasi dan memperlemah peradilan (termasuk MK-pen). Beberapa tindakan-tindakan yang disebutkan dalam buku tersebut tidak sulit didapatkan dalam fenomena negara Indonesia saat ini. Dan Presiden Jokowi memperlemah Ketua MK melalui perkawinan. Ini cukup klasik seperti di zaman kerajaan dahulu kala. Hubungan semenda ini (keluarga) seharusnya harus diatur pelarangannya dalam undang-undang MK.

Jadi apa yang harus kita lakukan saat ini dan ke depannya untuk menyelamatkan negara Indonesia yang berbentuk republik ini? Pertama kita pastikan bahwa negara kita adalah negara republik dengan rasa demokratis yang dibatasi oleh hukum. Sebab negara kita adalah negara hukum, tidak ada yang tertinggi daripada hukum (konstitusi). Oknum-oknum yang “mengobok-obok” hukum harus hadang dengan tidak membiarkannya menjadi penguasa dan menghidupkan dinasti politik kekuasaan.

Negara ini harus diselamatkan dari tangan-tangan oligarki yang bekerjasama dengan penguasa-penguasa dinasti politik dengan tidak memberikan satu suara pun kepada mereka dalam pemilihan umum. Hal ini untuk menyelatkan demokrasi Indonesia yang mulai tumbuh untuk meninggikan derajat setiap warga negara. Negara kita bukan milik satu orang dan bukan milik keluarga.

Sejak saat ini, kita harus menolak bangunan dinasti politik kekuasaan yang bersemayam di alam demokrasi Indonesia melalui pemilihan presiden 2024 nanti. Sebab negara kita ini adalah negara demokrasi yang berdasarkan hukum, bukan negara keluarga yang merusak-rusak hukum (undang-undang).***

Oleh: Brimob Ritonga, SH (Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana S2 FH UISU dan Peneliti Muda Labkum FH UISU)

- Advertisement -

Berita Terkini