Gibran Simbol Semangat Muda atau Simbol Politik Machiavellian?

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

 

Oleh: Henri Subiakto

Mas Gibran memang muda. Bisa saja dipilihnya dia sebagai cawapres diklaim memberi kesempatan pada generasi muda untuk memimpin bangsa. Atau berusaha diframing bagian dari semangat generasi muda.

Boleh saja klaim dan framing itu. Hanya saja, jiwa anak muda itu; berkarakter, punya idealisme dan menyukai profesionalisme. Cinta keadilan, kesetaraan dan kemandirian.

Menyukai nilai- nilai demokrasi, dan meritokrasi. Serta tidak suka pada jalan pintas, apalagi kalau harus bypass yg telah disiapkan keluarganya atau didukung kekuasaan politik orang tuanya.

Jadi apa yg terjadi sekarang dengan mengusung mas Gibran sebagai capres, pada dasarnya bukan otomatis mengusung nilai-nilai anak muda. Karena proses dan nilai yang disandangnya justru bertentangan dengan nilai-nilai anak muda pada umumnya.

Dari sisi umur, Gibran wujud fisiknya memang muda, tapi nilai-nilai yang dibawa dan tersemat saat menjadi cawapres, adalah nilai-nilai lama. Dari tampilan dan previledge yg dimiliki berbeda dengan sebayanya.

Hingga diakui atau tidak, disadari atau tidak, mas Gibran sekarang dibaca sebagai simbol upaya keluarga menjaga kekuasaannya. Walau sudah terbungkus rapi dengan berbagai alasan dan rencana untuk negara, tapi tetap saja terlihat.

Apalagi dengan keributan terkait saat MK memberikan keputusan yang membuka peluang dan jalan baginya sebagai cawapres.

Sebenarnya boleh-boleh saja orang mengembangkan politik dinasti dan keluarga. Tapi tatkala upayanya sampai mengorbankan marwah dan kredibiltas MK, kesannya jadi berbeda. Ini bukan sekedar yang membuat para pecinta seperti tidak percaya, tapi telah mencederai demokrasi dan reformasi.

Keterlibatan keluarga dalam mempengaruhi putusan MK adalah persoalan moral politik negara. Politik Machiavellis memisahkan legitimasi dan moralitas. Bagi penganut Machiavelli, urusan negara adalah sisi nyata dari perpolitikan yakni untuk mempertahankan kekuasaan.

Hal-hal yang berbau moral dapat diabaikan. Itu inti pemikiran Machiavelli tentang politik tanpa moralitas yang terdapat dalam isi suratnya yang berjudul Il Prince, saat ditulis untuk menasehati penguasa Italia pada zamannya, Lorenzo De’Medici.

Jadi upaya-upaya melakukan apa saja demi kekuasaan itu selain sesuai saran Machiavelli , cocok juga dengan apa yg ditulis Lord John Emerich Edward Dalberg Acton, “Power tends to corrupt but absolut power, corrupt absolutely” di awal abad 19.

Jadilah mas Gibran disadari atau tidak, suka atau tidak, sekarang dilihat bukan sebagai simbol semangat anak muda di jamannya, tapi lebih dilihat sebagai simbol keluarga yang sedang berupaya mempertahankan kekuasaan dinastinya.

Lewat cara apa saja, termasuk koalisi dengan kelompok yang mengusung orang tua, yang terkait kekuatan Orde Baru. Sampai ada cara yang menabrak norma sosial, moral dan etika. Jadi di balik legitimasi sebagai cawapres, dia membawa simbol politik Machiavellian yang memisahkan politik dan moral.

Maka jangan heran jika banyak muncul kritik berupa makian dan candaan dalam berbagai bentuk, karena kecewa dengan cara-cara Machiavellian.

Kalau dulu pemikiran Machiavelli itu ditujukan sebagai nasehat pada penguasa Itali saat itu, apakah dalam konteks sekarang, cara-cara yang dipakai mensukseskan Gibran ke pucuk kekuasaan juga merupakan hasil dari nasehat seseorang yg terinspirasi Machiavelli? Kita lihat nanti.

- Advertisement -

Berita Terkini