Optimalisasi Spirit Nilai-Nilai Bundo Kanduang Dalam Tubuh KOHATI Di Era Society 5.0

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM, OPINI – Menurut Hakimy (1994:41) istilah Bundo Kanduang secara fungsional, dimaknai sebagai perempuan senior atau ibu sejati dalam suatu keluarga matrilineal Minangkabau. Bundo Kanduang merupakan sosok yang mampu membedakan yang baik dan yang buruk, termasuk yang halal dan yang haram.Pada sistem kekerabatan matrilineal atau garis keturunan menurut garis ibu, kaum perempuan menempati posisi yang sangat penting di dalam kehidupan bermasyarakat. Keberadaan suku, kaum, dan paruik di Minangkabau tergantung pada perempuan.

Menurut sejarah, bundo kanduang adalah nama atau sebutan bagi seorang raja perempuan dari Kerajaan Pagaruyung, Yang Dipertuan Gadis Reno Sumpu, menggantikan mamaknya, Yang Dipertuan Sultan Bagagarsyah yang dibuang Belanda ke Betawi pada tahun 1833.Selain itu ada versi lain tentang bundo kanduang salah satunya yang ditemukan dalam kaba Cindua Mato. Sesuai dengan kisah cerita Cindua Mato pada masa lalu dan seterusnya ke masa kini, masyarakat Minangkabau terhimpun dalam suatu paruik-kaum-suku-sanagari.

Hal ini tertuang dalam bunyi mamangan adat, tahu di korong jo kampuang, tahu di rumah jo tanggo, tahu manyuri manuladan, takuik di budi ka tajua, malu dipaham ka tagadai. Artinya perempuan Minangkabau sangat teguh memelihara citra dan mengerti posisinya.Seorang perempuan yang menjadi bundo kanduang dalam suatu kaum didapat melalui proses yang panjang. Dalam tradisi Minangkabau, kehidupan kaum perempuan mempunyai beberapa fase yang menyangkut status dan haknya dalam rumah tangga dan masyarakat.

Pada tingkat pertama, yakni masa kanak-kanak dipanggil dayang, dia sebagai cikal bakal generasi mendatang. Seorang dayang kehadirannya belum dapat memberikan arti bagi lingkungannya. Dia masih dalam pengawasan orang tua, termasuk mamaknya.Menginjak usia remaja yang dipanggil dengan sebutan puti, perempuan Minangkabau sudah mulai membantu mandeh dalam pekerjaan rumah tangga, mempersiapkan diri sebagai perempuan Minangkabau yang berkualitas, serta calon pewaris tradisi dan adat. Kondisi seperti ini terus berlanjut hingga dia menikah dan setelah menikah, perempuan ini dipanggil bundo.
Perempuan yang telah menikah di dalam adat Minangkabau dikatakan sudah memakai adat.

Dalam masyarakat Minangkabau seorang ibu mempunyai kedudukan yang istimewa dan sangat menentukan, lambang limpapeh rumah nan gadang, merupakan lambang dari kedudukan seorang ibu yang sangat penting. Limpapeh artinya tunggak tuo dari sebuah rumah gadang. Hal ini tercermin dari penguasaan harta, benda, sawah, ladang, tanah dan lain terletak di tangan ibu. Berdasarkan hal tersebut limpapeh adalah seorang bundo kanduang yang telah meningkat sebagai ibu.Terhadap harta pusaka tersebut bundo kanduang mempunyai kewajiban untuk memeliharanya dan menjaga keutuhan harta tersebut supaya dapat diteruskan kepada generasi selanjutnya.

Begitu pula halnya ber-HMI, Korps-HmI Wati (KOHATI) adalah lembaga semi otonom yang didirikan oleh Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang terfokuskan untuk mengkader dan mewadahi perempuan-perempuan yang tergabung dalam organisasi tersebut. Dibentuknya badan ini bertujuan untuk membina, mengembangkan dan meningkatkan potensi HMI-wati dalam wacana dan dinamika gerakan keperempuanan secara akademis. Kohati seringkali digadang-gadangkan di HMI sebagai ibu oleh para anggotanya.

Kehadiran seorang HMI wati yang diharapkan fungsinya yakni sebagai seorang ibu atau Bundo kandung yang memiliki lambang limpapeh rumah nan gadang atau di HMI lambang dari kedudukan seorang HMI wati bagi anggotanya. Bagaimana peran seorang ibu dalam keluarga nya selain sebagai fungsi protektif terhadap seluruh anggota keluarga juga mampu memberikan edukasi yang positif untuk kemajuan disetiap tumbuh kembang anak-anak nya.

Didalam tubuh HMI sendiri kohati harus selaras dengan pepatah Minangkabau yang dikenal sebagai “Bundo kanduang limpapeh rumah nan gadang,Amban puruak pagangan kunci, Amban puruak aluang bunian, Pusek jalo kumpulan tali, Sumarak didalam kampuang, Hiasan dalam nagari, Nan gadang basa batuah, Kok hiduik tampek banasa, Kok mati tampaik baniaik, Ka undang-undang ka Madinah, Ka payuang panji ka Sarugo. Yang artinya Seorang bundo bertanggung jawab dalam keluarga karena ia tiang penyanggah rumah tangga (limpapeh). Ia mampu menyelesaikan persoalan rumah tangga (ambun puruak pegangan kunci – ambun puruak aluang bunian). Ia mampu menghimpun keluarga besarnya dalam arti luas – extended family- (pusek jalo kumpulan tali). Ia juga sebagai penjaga adat dan budaya dalam suatu peradaban manusia (sumarak dalam nagari).

Hadirnya KOHATI barangkali mampu menjadi penyangga dan menyelesaikan persoalan internal yang telah mendasar ditubuh HMI Padang umumnya dan terkhusus bagi HMI wati itu sendiri.

Di era globalisasi society 5.0 ini, peran perempuan dalam ranah domestik dan ranah publik harus ditingkatkan lagi mengingat bahwa semakin kompleks nya permasalahan keperempuanan dari maraknya kasus KDRT, perbudakan, kekerasan seksual dan menjamurnya pernikahan dini di tengah-tengah masyarakat. Berangkat dari permasalahan tersebut perempuan hari ini musti mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman dan meningkatkan kualitas pendidikan yang di geluti sehingga perempuan hari ini mampu menempatkan dirinya diposisi strategis di negeri ini. Selain memperkokoh kedudukan nya di ranah publik tentu perempuan hari ini musti memiliki spirit nilai-nilai Bundo kandung dalam dirinya sembari menapik nilai spiritual dalam hidup berbangsa dan bertanah air.

Penulis : Fatmawati (Anggota Biasa HMI Cabang Padang)

- Advertisement -

Berita Terkini