Fenomena Perdukunan di Negeri Mayoritas Muslim, di Mana Peran Negara dalam Menjaga Akidah Ummat?

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM, Opini – Dunia perdukunan kocar-kacir setelah trik-trik perdukunannya dibongkar habis-habisan oleh Marcel Radhival, Si Pesulap Merah. Salah satunya Gus Samsudin yang diduga aktivitasnya dinilai sebagai pembodohan terhadap masyarakat. Ia kerap melakukan praktik perdukunan yang berbentuk penipuan berkedok agama yang ujung-ujungnya bertujuan mengeruk uang dari masyarakat (solopos.com 3/8/22).

Masih banyak sederet kasus buruk yang muncul dari adanya aktivitas perdukunan ini. Mulai dari mengadakan ritual syirik, mencabuli pasien, menipu, hingga menewaskan banyak korban. Namun, Indonesia sebagai negeri yang penduduknya mayoritas muslim seakan sulit keluar dari fenomena perdukunan. Bahkan, di tengah perputaran kehidupan modern saat ini, negara malah mempertontonkan kebodohannya dengan mengundang pawang hujan di berbagai acara kenegaraan. Mengapa hal ini bisa terjadi?

Kapitalisme membuat seseorang cenderung menganut aliran sesat

Eksisnya para dukun di nusantara tak lain adalah akibat masih banyaknya masyarakat percaya pada dukun, tukang sihir dan paranormal. Dukun dianggap sebagai orang pintar yang memiliki kekuatan/keahlian khusus untuk memberi solusi atas persoalan yang bersifat metafisik (non-medis). Maka, masyarakat mengandalkan para dukun untuk memuluskan segala keinginan nafsu duniawinya seperti meminta kekayaan, jabatan, jodoh, pagar diri, dst.

Kesyirikan tersebut terjadi akibat pengaruh sistem kehidupan kapitalisme-sekular yang sedang diterapkan dalam negara saat ini. Suasana kehidupan corak kapitalisme-sekular cenderung memisahkan agama dari kehidupan. Sehingga, siapapun bisa berbuat apapun sesuai keinginannya demi mendapatkan keuntungan materi duniwai tanpa memandang hukum agama.

Tipisnya keimanan menjadikan seseorang mudah terjerat dengan aktivitas perdukunan. Masyarakat ingin secara instan mendapatkan solusi atas permasalahan yang sedang mengusik mereka. Maka dari itu, cara apapun ditempuh untuk cepat menyelesaikannya.

Terlebih lagi, negara tak membentengi masyarakat dari aktivitas yang dapat menggerus aqidah. Negara malah menjamin kebebasan seluas-luasanya pada aktivitas tersebut di tengah masyarakat. Termasuk memperbolehkan pembentukkan perkumpulan para dukun. Memberi panggung bagi para dukun mengembangkan profesinya, seperti membiarkan penyelenggaran festival santet, membiarkan akun-akun sosmednya bertebaran di dunia maya, memberi izin beredarnya buku-buku, majalah, koran-koran yang bertemakan ramalan zodiak dst.

Bahkan, negara sendiri memberi contoh buruk bagi masyarakat dengan menghadirkan pawang hujan pada acara kenegaraan beberapa waktu lalu. Maka tak heran praktik syirik tumbuh menjamur di Indonesia.

Tekanan hidup akibat penerapan sistem kapitalisme-sekular ini juga menyumbang peran tak kalah hebatnya menjadikan masyarakat berputus asa dalam sabar dan ikhtiarnya. Kesempitan dan kesenjangan ekonomi, kehidupan yang serba berbayar, membuat masyarakat berpikir untuk menempuh jalan pintas, salah satunya dengan mendatangi dukun.

Keadaan inilah yang dimanfaatkan sebagian pihak untuk terus menghidupkan aktivitas perdukunan demi meraup keuntungan pribadi. Tak peduli, apakah hal tersebut menyalahi syariat ataukah tidak. Tentu hal ini sangat berbahaya bagi akidah ummat dan akan menyeret ummat pada kesesatan serta mengundang malapetaka besar.

Sejarah perdukunan Indonesia

Pada abad ke-20, sebuah penelitian dari seorang antropolog Belanda mengatakan bahwa dukun memiliki pengetahuan anatomi tubuh manusia dan fungsi organ. Sehingga mereka mampu mendiagnosis penyakit dan menanganinya. Karena itu, dukun dalam ensiklopedi (1917) didefenisikan sebagai praktis pribumi yang punya segala keahlian termasuk medis, tidak didominasi unsur magis.

Kemudian tahun 1939 terbitlah kamus Jawa yang mendefenisikan dukun sebagai pengobat penyakit, pemberi mantra, cenderung pada aktivitas magis. Selanjutnya, dalam KBBI dukun diartikan sebagai orang yang mengobati, memberi jampi, yang mengarah pada dukun santet, supranatural dan gaib (republika.co.id 23/5/22).

Aktivitas perdukunan semakin menjadi-jadi dengan dibentuknya perkumpulan Persatuan Dukun Nusantara (Perdunu) di Indonesia pada 3 Februari 2021 di Banyuwangi. Layaknya sebuah profesi, para pengusung perkumpulan ini ingin diakui eksistensinya di tengah-tengah masyarakat sebagai pekerjaan yang positif dan memberi manfaat bagi masyarakat dengan menyelesaikan masalah-masalah yang bersifat metafisik serta meluruskan stigma negatif tentang perdukunan. Bahwa perkumpulan dukun ini bukanlah orang-orang yang diajak untuk menyakiti orang lain, melainkan mereka menawarkan solusi pada permasalahan tak kasat mata (Suara.com 4 Februari 2021).

Sistem kehidupan Islam melenyapkan kesyirikan

Islam tegas melarang segala praktik perdukunan dan mendatangi tukang sihir, paranormal (perdukunan). “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni (dosa) karena mempersekutukan-Nya (syirik), dan Dia mengampuni apa (dosa) yang selain (syirik) itu bagi siapa yang Dia kehendaki. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh, dia telah berbuat dosa yang besar (Q.S an Nisa : 48). “Barangsiapa yang mendatangi tukang ramal dan bertanya kepadanya tentang suatu perkara, maka shalatnya tidak akan diterima selama 40 hari” (H.R Muslim).

Bagi seorang muslim yang beriman, ancaman tersebut bukanlah hal yang main-main. Seseorang yang mengaku beriman sudah selayaknya menjauhi praktik perdukunan dan menolak segala bentuk kesyirikan di tengah-tengah masyarakat karena ketundukkannya pada perintah dan larangan Allah.

Maka, seorang muslim haruslah senantiasa memupuk keimanan agar memiliki aqidah yang kokoh sehingga mampu menjadi neraca dalam menyelesaikan setiap problematika yang dihadapi. Seorang muslim harus memahami konsep sabar dan tawakal terhadap apa yang Allah berikan dalam kehidupan. Keadaan sedang sehat-sakit, kaya-miskin, susah-senang, perkara jodoh-keturunan, apapun kondisi yang dialami seseorang tak lain adalah ujian yang Allah berikan atas kehidupan.

Ketika seseorang ikhlas, sabar dan bersyukur atas kondisi tersebut, maka itu adalah kebaikan. Dengan ini Allah akan mengangkat derajatnya lebih tinggi lagi. Keimanan yang tertancap dalam sanubarinya mengecilkan capaian nafsu duniawi dan membuatnya sederhana dalam memandang dunia.

Dalam Sistem Islam, penjagaan aqidah ummat ini sangat kuat. Negara turut andil merawat aqidah ummat agar senantiasa berada pada poros yang benar. Tentu saja dengan menjadikan sistem Islam sebagai basis pelayanan roda kehidupan. Dimulai dari pemenuhan kebutuhan primer masyarakat yang menjadi faktor pemicu utama menyimpangnya masyarakat, berupaya mewujudkan kesejahteraan pada masyarakat, seperti mengadakan pengobatan gratis dst.

Selain itu, negara akan menutup semua celah kemaksiatan dan membubarkan bentuk perkumpulan yang menyimpang dari akidah Islam. Tak ada tempat bagi kemaksiatan dalam daulah. Negara akan menghukum siapa saja yang terindikasi melakukan kemaksiatan. Negara secara masif akan mengedukasi akidah dan pemikiran ummat agar tak mudah terjebak dalam kesyirikan. Dengan demikian, ummat terjauhkan dari kesesatan dan mewujudkan keberkahan hidup di tengah-tengah ummat.

Namun, sistem kehidupan Islam ini hanya akan terterapkan bila institusi pemerintahan Islam ditegakkan, yakni Khilafah Islamiyyah. Khilafah akan menerapkan aturan Islam secara Kaffah dalam kehidupan. Sehingga, kehidupan sekularistik tak akan mendominasi dalam kehidupan masyarakat dan praktik kesyirikan ini pun dapat dibasmi oleh negara secara tuntas. Wallahua’lam bisshowab.

Oleh : Qisti Pristiwani
Alumnus UMN Al Washliyah Medan

- Advertisement -

Berita Terkini