Break The Bias : Perempuan, HMI dan Indonesia Emas

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM, OPINI – “Women will only be empowered and advanced if their existence and qualities are truly valued.”

Sejak awal pendirian, perempuan sudah memiliki tempatnya di HMI. Sebagai bagian yang turut mendirikan, mempertahankan, dan menjaga serta memastikan HMI tetap ada dan hidup. Hingga mencapai usia 75 tahun, perempuan masih tetap ada mengiringi perkembangan HMI. Disebut sebagai HMI-Wati, dengan wadah khususnya yang dinamai Korps HMI-Wati (Kohati).

Pembentukan Kohati adalah atas dasar kesadaran sungguh HMI atas potensi HMI-Wati, bukan karena HMI-Wati rendah kualitasnya sehingga dibutuhkan pembinaan khusus yang terpisah dengan HMI-Wan melalui wadah khusus yakni Kohati. Gagasan dasar ini perlu dipahami dengan baik agar dalam mengoperasionalkan Kohati, HMI-Wati tidak memposisikan dirinya subordinatif dalam proses perkaderan di himpunan. Lebih-lebih dalam mengikhtiarkan pencapaian visi HMI yaitu terwujudnya masyarakat adil Makmur yang diridhai Allah SWT.

Begitupun dengan anggota laki-laki HMI, dalam diri dan pikirannya harus memiliki kesadaran penuh bahwa keberadaan perempuan di dalam HMI adalah setara. Setara sebagai kader HMI, sebagai yang memiliki tanggungjawab atas pembangunan dan kemajuan HMI, sebagai yang berhak untuk mendapatkan ruang proses tanpa batas, sebagai khalifah fil ard yang melalui perannya di HMI memiliki tugas untuk membangun peradaban masyarakat adil makmur (masyarakat madani).

Kohati dibentuk karena kebutuhan perjuangan HMI, khususnya dalam bidang keperempuanan. Isu keperempuanan sama pentingnya dengan isu bidang lain. Jika tidak tertangani dengan baik maka akan berpengaruh signifikan terhadap pencapaian pembangunan nasional bahkan global. Dalam Sustainable Development Goals (SDGs), tujuan kelimanya adalah kesetaraan gender dan penghapusan diskriminasi terhadap perempuan. Hal ini menandakan bahwa isu keperempuanan adalah isu global yang memerlukan usaha besar untuk menanganinya.

Oleh karena itu, dibutuhkan kerja semua pihak untuk menuntaskan persoalan keperempuanan, salah satunya adalah HMI melalui Kohati. Potensi HMI-Wati yang luar biasa sebagai kader HMI, ditambah dengan pembinanaan dan pendidikan di dalam Kohati yang fokus pada penguasaaan ilmu, pengetahuan dan pengalaman dalam bidang keperempuanan maka Kohati sebagai organisasi mahasiswi telah siap untuk menjadi problem solver bagi persoalanan keummatan dan bangsa dalam bidang keperempuanan.

Oleh karena itu, konsep ini perlu dipahami oleh semua kader HMI agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam memposisikan Kohati dalam tubuh HMI, dan juga HMI-Wati dalam proses perkaderan dan pergaulan HMI.

HMI Break the Bias

Dengan usia HMI dan Kohati yang semakin matang, maka sudah selayaknya HMI dan Kohati dewasa dan bijak dalam membangun relasi serta bersama-sama menyuarakan dan mengambil sikap terhadap isu keperempuanan agar visi terwujudnya masyarakat adil Makmur dapat segera terwujud.

Maka dalam rangka memperingati Hari Perempuan Internasional (International Women’s Day/IWD) 2022, harapannya organisasi ini dapat semakin memahami dan menyadari bahwa perempuan dan laki memiliki tanggungjawab yang sama dalam mengisi kemerdekaan bangsa Indonesia, serta berhak untuk hidup beraktifitas dengan merdeka tanpa diskriminasi.

IWD 2022 mengangkat tema utama Break the Bias dan Dare to Speak Up sebagai bentuk kampanye bahwa pembedaan peran, kedudukan, serta karakter oleh masyarakat yang disematkan kepada laki-laki dan perempuan adalah hambatan bagi kemajuan kehidupan perempuan.

Ketimpangan relasi antara laki-laki dan perempuan yang disebabkan oleh budaya patriarkis berdampak pada banyaknya ketidakadilan yang menimpa perempuan. Diantaranya adalah diskriminasi, marjinalisasi, kekerasan, kemiskinan, beban ganda, bahkan sampai hal yang paling fatal yaitu kematian. Break the Bias harus dilakukan bersama, tidak hanya oleh perempuan tetapi juga laki-laki. Baik di dalam keluarga, lingkungan masyarakat, tempat kerja hingga negara. Dan untuk memasifkan kampanye ini, keberanian menyampaikan pendapat menjadi salah satu kuncinya.

Break the Bias di dalam organisasi HMI juga harus diwujudkan. Agar setiap kader, baik perempuan dan juga laki-laki mendapatkan kesempatan dan ruang proses yang adil. Bahwa, seorang HMI-Wati memiliki kesempatan proses yang sama, tidak dibatasi hanya di Kohati lantaran dia perempuan.

Secara struktural, ia bisa memilih untuk menjadi pengurus di lembaga profesi, juga bisa menjadi pengurus di HMI. HMI-Wati boleh memilih dan menentukan dimana ia akan berproses sesuai keyakinannya seperti halnya HMI-Wan. Singkatnya, sebagai HMI-Wati, menjadi anggota Kohati adalah pasti, tetapi tidak untuk menjadi pengurus Kohati. Maka keliru, ketika masih ada yang beranggapan bahwa ruang berproses HMI-Wati cukup di Kohati saja. Jika pandangan seperti ini dibenarkan, maka lebih baik Kohati tidak ada sejak awal.

Hubungan HMI dan Kohati dalam konteks perjuangan adalah partner yang setara. Oleh karena itu, biasa disampaikan bahwa keberadaan Kohati adalah untuk mempercepat pencapaian tujuan HMI. Namun, untuk mengimplementasikan konsep tersebut masih belum bisa maksimal. hal tersebut dikarenakan pemahaman dan pandangan yang masih bias oleh HMI-Wan terhadap keberadaan HMI-Wati di dalam HMI.

Bahkan tidak sedikit HMI-Wan yang patriaskis sehingga memperlakukan HMI-Wati dengan tidak adil seperti mendiskriminasi, memberikan tugas-tugas yang mendomestifikasi perempuan, bahkan perlakukan yang melecehkan. Menjadi satu beban yang sangat berat, ketika Kohati dengan gigihnya memperjuangan keadilan dan kesejahteraan bagi perempuan tetapi di dalam “rumahnya” masih banyak menerima perlakuan yang tidak adil yang didasari belum tuntasnya pemahaman terkait isu keperempuanan dan belum tertanamnya kesadaran tentang urgensi keberadaan dan posisi Kohati di dalam HMI.

Maka menurut saya, dengan mempertimbangkan realitas yang ada, pengarusutamaan isu keperempuanan di dalam HMI perlu diperkuat lagi. Baik dari sisi aturan, perkaderan, program, hingga gerakan. Disisi lain, HMI perlu lebih terbuka dalam menyelesaikan persoalan yang berkaitan dengan Kohati.

Hal ini untuk menciptakan hubungan yang harmonis, produktif, dan progresif antara HMI dan Kohati sekalipun Kohati dalam wewenang dan kekuasaan HMI. Hubungan seperti ini penting karena keberadaan Kohati berbeda dengan badan khusus lainnya, apalagi jika mengingat Kohati, selain sebagai bidang internal HMI juga sebagai organisasi mahasiswi yang memiliki posisi strategis dalam dinamika pergerakan perempuan di Indonesia. Jika potensi ini tidak terlihat oleh HMI, maka merugilah HMI.

Medan juang Kohati semakin luas dan kompleks, apalagi HMI. 75 tahun adalah usia penentuan jika mengacu pada teori organisasi. Usia 75 tahun adalah usia dimana sebuah organisasi akan mudah terjebak pada kejumudan. Malas keluar dari zona nyaman, malas berpikir, dan sibuk bertarung dan berdebat pada persoalan yang melumpuhkan daya kritis dan juang organisasi.

Bahkan secara perlahan mematikan keyakinan pada nilai-nilai kebenaran, dan mempengaruhi moral individu anggota organisasi. Sebelum terlambat, mari lebih berani berjuang agar HMI bergerak maju dengan gagah dan kokoh. Berani membuat keputusan yang diyakini benar, berani melakukan perubahan, berani berinovasi, berani menyampaikan ide dan gagasan, berani melangkah maju dengan segala resikonya.

Dan salah satu langkah yang harus dilakukan adalah Break the Bias di dalam HMI, sehingga tercipta iklim yang sehat bagi kader perempuan dan laki-laki untuk dapat berproses dengan maksimal sesuai dengan semangat dan potensinya yang dimilikinya.

Keberanian tersebut akan mengantarkan HMI menjadi bagian dari Indonesia Emas. Terlebih dahulu, HMI akan lebih bisa memastikan kader-kadernya adalah bagian yang menyumbang sumber daya manusia dalam bonus demografi Indonesia, bukan sebaliknya. Visi tanpa keberanian maka lajunya akan lambat bahkan jalan ditempat. Perjuangan ini bukan hanya tanggungjawab HMI, tetapi juga Kohati sebagai organisasi mahasiswi. Maka, bukan tanpa alasan bahwa Break the Bias harus HMI lakukan agar dalam mengikhtiarkan mission sacre, HMI dan Kohati adalah partner berjuang yang setara.

Bersama HMI Menuju Indonesia Emas

HMI adalah organisasi progresif revolusioner, dengan tujuan besarnya yakni “mewujudkan masyarakat adil makmur yang diridhai Allah SWT”. Berjumlah 231 cabang yang tersebar dari timur hingga barat Indonesia, ratusan ribu kader dan alumni, hingg networking yang luas adalah kekuatan yang sangat besar untuk membangun bangsa Indonesia mencapai kejayaan di usia emasnya pada tahun 2045. Untuk mewujudkannya, HMI sejak sekarang harus berani melakukan perubahan melalui kebijakan dan inovasi yang sesuai dengan perkembangan zaman dan kebutuhan kader. Yang salah harus diperbaiki dan yang usang harus diperbaharui.

Tentunya ini bukan kerja yang mudah dan bukan kerja perorang atau sebagian kelompok. Dibutuhkan kolaborasi aktif, baik antar anggota dan lembaga di setiap tingkatan. Praktek gaya kepemimpinan konvensional harus ditinggalkan. Yakni gaya kemimpinan yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman, salah satunya adalah gaya kepemimpinan otoriter. Dimana segalanya hanya terpusat pada pimpinan lembaga, atau kelompok yang berkuasa.

Selain itu, gaya kepemimpinan konvensional menciptakan hubungan yang kaku antara pimpinan dan anggotanya. Sehingga hal ini akan berimbas pada kinerja, semangat, dan daya inovasi organisasi.

Gaya kepemimpinan perlu disesuiakan dengan zaman dan dengan siapa yang dipimpin. Saat ini kita sedang berada pada era disrupsi, dimana kemajuan teknologi merubah setiap tatanan kehidupan masyakarat. Disamping itu, kader HMI aktif saat ini terdiri dari dua generasi yakni generasi milennial (Y), dan generasi post-milennial (Z). Namun yang sangat mendominasi adalah gen Z, yakni generasi kelahiran tahun 1997-2012. Generasi milennial adalah generasi yang lahir ditengah perkembangan produk teknologi, sehingga gaya hidup masyarakat millennial dipengaruhi oleh teknologi.

Sedangkan Gen Z, disebut juga sebagai iGeneration atau generasi internet atau generasi net. Mereka selalu terhubung dengan dunia maya dan dapat melakukan segala sesuatunya dengan menggunakan kecanggihan teknologi yang ada.

Selain itu, menyimpulkan dari berbagai sumber, karakteristik kedua generasi ini adalah generasi yang mahir teknologi, berkomunikasi menggunakan teknologi (media sosial), suka dengan yang serba cepat dan instan, multitasking, cerdas dan kritis pada kondisi sosial, dan berambisi tinggi. Dan khususnya bagi generasi Z, mereka adalah generasi yang sangat cepat beradaptasi dan menyukai hubungan setara baik antara laki-laki dan perempuan, juga hubungan senior dan junior.

Menariknya, generasi Z adalah generasi yang menyukai kerja kolaboras, tapi dilain sisi mereka mampu bekerja mandiri karena memiliki ambisi kuat dan sikap pragmatisnya. Maka, dapat dibayangkan jika mereka dipimpin dengan cara yang konvensional dan kaku, besar kemungkinannya mereka akan menjauh dan tidak tertarik untuk masuk HMI.

Kepemimpinan kolaboratif adalah kepemimpinan yang memastikan keterlibatan setiap anggota/individu yang ada dalam organisasi. Keterlibatan yang dimaksud bukan hanya melakukan kerja bersama dalam menyukseskan suatu agenda, tetapi juga keterlibatan dalam menyusun ide dan gagasan. Artinya bahwa, ada knowledge collaboration dalam implementasi kepemimpinan kolaboratif sehingga kerja-kerja organisasi dilakukan dengan bobot ide dan gagasan yang matang serta dipahami dan dimiliki oleh semuanya.

Seiring dengan langkah pembaharuan gaya kepemimpinan organisasi, juga yang perlu dilakukan adalah pembaharuan manajemen organisasi. Telah disampaikan dalam pidato Ketua Umum PB HMI pada malam puncak Dies Natalis HMI 75 Tahun, bahwasannya sudah saatnya digitalisasi organisasi diwujudkan.

Dimana sebelum-sebelumnya “go digital” hanyalah sebagai semboyan dan menjadi program yang tidak tuntas. Manajemen organisasi berbasis digital sudah tidak boleh lagi diulur-ulur, harus segara terwujud dan dapat digunakan sebagai instrument utama operasional organisasi. Melalui digitalisasi organisasi, maka akan dapat mengefesienkan kerja-kerja organisasi, dan mempermudah melakukan kontrol dan evaluasi secara makro kepada cabang hingga komisariat. Sehingga ini akan sangat berpengaruh kepada kecepatan pencapaian tujuan organisasi.

Selanjutnya adalah inovasi gerakan. Manajemen isu rasa-rasanya hanya menjadi teori dalam ruang-ruang diskusi dan training organisasi. HMI dengan angka dan kualitas SDM memadai harusnya mampu melakukan langkah-langkah strategis dalam menyikapi isu-isu terkini, baik di tingkat nasional hingga internasional. Tetapi dapat dilihat dan dirasakan, gerakan perjuangan HMI semakin dipertanyakan.

Bukan karena minimnya SDM, atau individu anggota yang lack quality, tetapi karena HMI sebagai organisasi tidak mengorganisir seluruh potensi yang ada untuk membangun inovasi gerakan. Padahal dengan pengetahuan dan kemampuan manajemen isu, jika ini dipraktekkan dengan benar dan sebaik-baiknya sebagai organisasi, maka sudah barang tentu HMI mampu melakukan perubahan dan mempengaruhi arah kebijakan pembangunan bangsa.

Terakhir, pembaharuan sistem perkaderan. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa anggota HMI saat ini didominasi oleh Gen Z (post-milennial). Konsekuensinya, HMI harus melakukan pembaharuan perkaderan agar sesuai dengan kebutuhan kader dan perkembangan zaman.

Pertama, kurikulum training formal perlu disesuikan dengan kebutuhan perjuangan dan pembangunan HMI menuju Indonesia Emas. Salah satunya adalah, perlunya menginternalisasikan isu keperempuanan ke dalam kurikulum LK 1, LK 2 dan LK 3 dan juga training informal yang ada. Yakni, materi keperempuanan menjadi materi wajib dalam training formal HMI.

Misi utamanya adalah untuk Break the Bias, dan membangun pemahaman yang komprehensif terkait keperempuanan kepada seluruh kader HMI. Hal ini sejatinya juga menjadi misi Kohati, juga sebagai bidang internal HMI, adalah menyebarkan pengetahuan dan membangun pemahaman di internal HMI tentang isu keperempuanan. Artinya bahwa, memasukan materi keperempuanan ke dalam kurikulum training formal HMI adalah salah satu ikhtiar yang diamanahkan oleh konstitusi.

Jika selama ini yang dipahami hanya Kohati (sekalipun masih banyak yang salah paham), perlu dinaikkan tingkatnya untuk memahami lebih luas dan dalam, tidak hanya tentang Kohati tetapi juga isu keperempuanan. Selain itu, untuk mencapai Indonesia, salah satu target pembangunan Indonesia adalah menghapus segala bentuk ketidakadilan dan diskriminasi bagi perempuan. Maka, memaksimalkan pembangunan gender di internal HMI menjadi salah satu langkah utama jika ingin berkontribusi dalam mewujudkan Indonesia Emas, dan tentunya menyongsong HMI Emas di tahun 2047.

Maka, dengan melakukan pembaharuan-pembaharuan organisasi yang dijelaskan di atas, saya yakin HMI akan siap menyambut Indonesia Emas dan menjadi bagian strategis yang menentukan arah bangsa. Tentunya masukan di atas belum sempurna, apalagi jika hanya berhenti menjadi saran semata.

Penulis : Imayati Kalean (Sekretaris Umum Kohati PB HMI)

- Advertisement -

Berita Terkini