Bola Panas RUU IKN

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Tanggal 11 Desember 2021 yang lalu, saya diundang dalam kapasitas sebagai pemerhati kebijakan publik, dan dosen yang mengajar di prodi Administrasi Publik Universitas Nasional, untuk menghadiri Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) tentang RUU IKN, di Gedung Nusantara 2 DPR, di hadapan Pansus RUU IKN dari sudut perspektif Kebijakan Publik.

Bagi saya, keterlibatan menyusun dan membahas RUU dengan DPR, sudah sering dikerjakan sebagai pejabat pemerintah maupun sebagai Ketua DJSN (pada masanya), antara lain menyusun UU tentang Penanggulangan Bencana, UU tentang Kesejahteraan Sosial, UU tentang Penanganan Fakir Miskin dan UU tentang BPJS.

Kunci dari pembahasan RUU, harus diawali dari Naskah Akademik. Sebab NA itu, merupakan acuan, kompas, arah, dan kemana tujuan yang hendak dicapai suatu UU. Dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang PPP, bahkan sudah lebih terukur dan diberikan koridor outline suatu UU yang akan dibuat.

Karena waktu terbatas, dan kesempatan menelaah hanya satu malam saja, maka pada forum itu ada beberapa catatan penting, yang disampaikan sebagai masukan bagi Pansus yang akan bekerja, yang rencananya marathon, dan harus selesai di triwulan I Tahun 2022.

Pada NA, banyak hal sudah dituangkan terkait kenapa perlu adanya UU tentang IKN, yang ditinjau dari berbagai aspek, mulai kondisi IKN yang ada sekarang ini (DKI Jakarta), dan rencana kepindahannya di Kalimantan Timur.

Banyak negara yang sudah melaksanakan perpindahan Ibu Kotanya, yang rata-rata relative memerlukan waktu yang lama, bahkan berpuluh tahun.

Tetapi, dalam forum itu, saya mengingatkan terhadap 8 asas UU IKN, keseluruhannya sudah relevan, hanya terkait dengan Asas kedelapan, yaitu; Kebhinnekaan (Bhinneka Tunggal Ika dan keindahan khas Indonesia), seharusnya langsung saja “ Bhinneka Tunggal Ika dan keindahan khas Indonesia”. Tanpa lagi menggunakan istilah Kebihinnekaan, karena maknanya tidak sempurna hanya mengedepankan perbedaan. Bhinneka Tunggal Ika, harus dibaca dalam satu tarikan napas, tidak boleh diputus.

Dalam RUU IKN, kita menyoroti bagaimana harus jelas dan terukur irisan regulasi dengan UU lainnya, antara lain UU tentang Pemerintah Daerah, UU Sektor / kementerian terkait (pertambangan, pertanian, kesehatan, pendidikan, perhubungan dan lainnya) yang bersangkut paut dengan cakupan wilayah IKN baru.

Karakter IKN baru, apakah terfokus pada Ibu Kota Pemerintahan saja, sebab RUU IKN pasal-pasalnya lebih banyak mengatur dari aspek penyelenggaraan pemerintahan. Bagaimana dengan sektor perekonomian, perdagangan, kebudayaan dan nilai-nilai religius keagamaan.

Dalam NA IKN baru sudah direncanakan dalam 6 Kluster kegiatan yaitu; Klaster Pemerintahan; Klaster Pendidikan; Klaster Kesehatan; Klaster Riset dan Inovasi; Klaster Hiburan; dan Klaster Financial Centre. (mengacu pada arahan Presiden dalam Rapat Terbatas (Ratas) IKN 26 Februari 2020 dalam materi presentasi RTR – KSN IKN). Tetapi keenam Klaster itu, hanya Klaster Pemerintahan yang banyak dicantumkan dalam pasal – pasal RUU itu.

Kepastian untuk mendapatkan perlindungan hukum dan manfaat bagi masyarakat local, serta terjaminnya kesejahteraan mereka yang lebih baik, belum secara jelas diatur dalam RUU itu. Oleh karena itu landasan UU Dasar 1945 yang mengacu pada Pasal 18B UUD 1945 berisi ayat 1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-undang, tidaklah cukup, harus gandeng dengan ayat (2) yang berbunyi “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup …

Ayat 2) ini, menjamin masyarakat hukum adat tidak terusir dari habitatnya, karena gempuran pembangunan IKN baru nantinya.

Kita ketahui, sekarang ini penduduk pendatang di Kalimantan Timur itu sekitar 70%, sedangkan penduduk asli Dayak sekitar 12%. Selebihnya Kutai dan Banjar.

Saya juga mengajukan pertimbangan pemikiran kepada Pansus, mengenai aspek skala prioritas. Sejauh mana tingkat urgensi adanya IKN baru, dalam suasana Pandemi Covid-19 yang pada tahun 2022 mendatang ini masih menghantui (virus Omicron), pertumbuhan ekonomi yang tidak mendukung, bahkan memerlukan effort stimulus untuk menggerakkan ekonomi mikro.

Variabel lainnya, yang juga harus dipertimbangkan, kondisi psikologi masyarakat kita atas persoalan utang yang terus membesar dan harus ditanggung masyarakat, serta sejauh mana manfaat langsung dirasakan masyarakat sebagai opportunity IKN baru.
Demikian juga dengan penentuan lokasi IKN belum membuka partisipasi masyarakat untuk penentuannya. Hal ini dpertegas oleh Menteri PPN/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa, dalam Kata Pengantar NA yang disusun, yakni; Penyusunan Naskah Akademik ini merupakan tindak lanjut dari Arahan Presiden untuk menyusun Rancangan Undang-Undang tentang Ibu Kota Negara. Arahan tersebut selaras dengan Pidato Kenegaraan Presiden di Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia pada 16 Agustus 2019 dan Pengumuman Pemindahan Ibu Kota Negara oleh Presiden pada 26 Agustus 2019 di Istana Negara.

Soal partisipasi masyarakat itulah salah satu alasan MK, menyatakan UU No.11/2020 tentang Cipta Kerja, dinyatakan “inkonstitusional bersyarat”.

Draft RUU itu juga, sesuai dengan acuan pada NA, mengatur bentuk pengelolaan IKN, oleh Badan Otoritas yang ditunjuk dan bertanggungjawab langsung pada Presiden. Badan itu sebagai pelaksana atas kebijakan yang ditetapkan Presiden dengan Keputusan Presiden dan sesuai dengan RI-IKN.

Lembaga Badan Otoritas itu biasanya ad hoc, dan bersifat sektoral/kawasan tertentu, tidak mencakup seluruh sektor. Persoalan akan muncul karena banyak regulasi peraturan perundang-undangan yang harus disesuaikan.

Bagaimana bentuk pengelolaan IKN yang ideal. Banyak pilihan dengan mengacu aturan penyelenggaraan pemerintahan yang sudah ada dalam UU tentang Penyelenggaraan Pemerintahan.

Pentingnya IKN baru

Dari NA, cukup alasan untuk adanya IKN baru bagi Indonesia, dan sudah lama direncanakan pada masa pemerintahan Presiden Soekarno. Walaupun berbagai alasan dan latar belakang yang diuraikan masih dapat diperdebatkan dasar argumentasinya.

Persoalan mendasarnya, apakah tepat dan mendesak, saat sekarang ini dibahas RUU IKN. Pemerintah dan DPR harus dapat menjelaskan rasionalitasnya dengan bahasa mudah dimengerti oleh masyarakat, dengan melakukan sosialisasi yang substansif. Berapa besar biaya yang tersedot baik dari APBN, swasta, maupun sumber lain yang dapat menjadi perangkap utang baru.

Isu lain yang sensitif, terkait asset milik negara yang ada di DKI. Mekanisme yang diatur dalam RUU itu ada dua cara, pemindahtanganan dan pemanfaatan oleh BUMN, atau dijual dengan tender. Mekanisme tender ini, sangat rawan dan berpotensi terjadinya pat gulipat.

Isu penting lain yang kita mintakan dibahas mendalam adalah yang tercantum pada Pasal 3 draft RUU IKN, ayat (2) berbunyi: “Pemindahan status Ibu Kota Negara dari Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta ke IKN […] dilakukan pada semester I (satu) tahun 2024 dan ditetapkan dengan Peraturan Presiden”.

Pasal 3 ayat (2) jelas terkesan dipaksakan. Karena hanya memerlukan waktu 2 tahun IKN harus pindah ke Kaltim. Banyak obstacle yang dihadapi, mulai dari dukungan anggaran, persiapan lahan yang harus matang, situasi politik menjelang Pemilu, kondisi ekonomi, kesiapan manusia (SDM), mobilitas manusia nya, dukungan transportasi, dukungan jaringan internet, semuanya itu masih merupakan list negative.
.
Belum lagi Pemerintah harus meyakinkan dunia, tentang Kalimantan sebagai paru dunia yang akan terganggu dengan pembukaan lahan yang ratusan ribu hektar. Apakah hal itu tidak menyulitkan Indonesia dalam dunia Global?

Sudah saatnya Pansus RUU IKN DPR RI, untuk berpikir ulang, mendalami semua faktor secara mendalam. Libatkan partisipasi masyarakat secara luas, karena Ibu Kota Negara merupakan simbol Negara, simbol Kesatuan dan Persatuan Bangsa, dan harus merasa dimiliki oleh seluruh rakyat Indonesia, bukan saja oleh segelintir elite dan kelompok kepentingan.

Tidak Perlu kesusu atau keburu-buru. Banyak contoh negara yang mempersiapkanya puluhan tahun. Yang penting keinginan yang dasarnya baik, untuk menyelesaikan persoalan DKI Jakarta yang daya pikulnya semakin rentan, proses persiapannya berkelanjutan. Jangan sampai ganti Presiden ganti arah dan ganti lokasi. Harus ada jaminan itu bagi siapapun penyelenggara negara. Jaminan keberlanjutan itu dapat dipastikan akan dapat berjalan, dengan hanya satu syarat: PROSESNYA MELIBATKAN PARTISIPASI MASYARAKAT.

Cibubur, 22 Desember 2021

Oleh: Dr. Chazali H. Situmorang, M.Sc 
Pemerhati Kebijakan Publik/Dosen FISIP UNAS

- Advertisement -

Berita Terkini