BEM SI Bukan Pahlawan Kesiangan dan Lebay

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Sebuah pernyataan datang dari seorang Ketua Umum HMI Cabang Jakarta Selatan, Safarianshah Zulkarnaen, yang mengatakan bahwa Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) yang melaksanakan aksi di Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Senin (27/9) kemarin sebagai pahlawan kesiangan. Saya tidak tahu pasti apakah Safa ini benar-benar Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam atau–meminjam singkatan dari Rocky Gerung–Himpunan Mahasiswa Istana? Jujur, saya kurang sependapat dengan penilaiannya terhadap BEM SI yang menyampaikan aspirasi mereka.

Dikutip dari jpnn.com, Safa mengatakan bahwa BEM SI adalah aliansi mahasiswa yang serba terlambat menyikapi keadaan, termasuk soal TWK KPK. Ia menilai gerakan BEM SI adalah sebuah kegagalan mahasiswa merespon keadaan. Selanjutnya, ia juga mengatakan bahwa gerakan BEM SI salah alamat karena menyampaikan aspirasinya di Gedung KPK. BEM SI dinilai kurang kreatif dan dianggap serampangan, karena mengirim ultimatum kepada Presiden Jokowi. Dan senada hal lainnya, sehingga Safa menyebut aliansi tersebut pahlawan kesiangan.

Menurut saya, BEM SI tidak terlambat, karena soal pemecatan secara halus orang-orang berintegrasi di KPK lewat KPK belum selesai. Kita ketahui sendiri pemberhentian akan dilaksanakan besok, 30 September 2021, sedangkan gerakan BEM SI pada Senin kemarin, dan ultimatum tersebut mereka (BEM SI) sampaikan ke Istana, 3×24 jam sebelum mereka aksi di Gedung KPK.

Jadi, mereka tidak terlambat merespon keadaan. Kita ketahui sendiri, dalam sebuah gerakan harus ada momentumnya, baik itu ada momentum yang diciptakan sendiri, ada karena kondisi dan situasi, dan soal pemberhentian KPK adalah momentum gerakan dari awal TWK hingga pemberhentian besok. Gerakan BEM SI bukanlah sebuah kegagalan gerakan mahasiswa, tapi bukti mahasiswa masih ada kritis dan berani menyampaikan aspirasinya, meminta keadilan pada beberapa pegawai KPK yang berintegritas agar tidak diberhentikan. Ultimatum itu, sah-sah saja mereka kirimkan kepada Presiden Jokowi, selaku Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan.

Saya pikir, Safa ada rasa tendensius kepada BEM SI yang melaksanakan gerakan. Saya tidak tahu apakah Safa adalah ikon aktivis mahasiswa saat ini? Atau dirinya aktivis Himpunan Mahasiswa Istana (HMI)? Dan gerakan mahasiswa yang bergabung di BEM SI lebih konkret dan kreatif dibanding hanya gerakan orasi keliling via Zoom.

Saya meragukan pengetahuan keaktivisan Safa sebab mengatakan bahwa BEM SI salah alamat saat melakukan unjuk rasa di Gedung KPK. Ia (Safa) mengatakan BEM SI bisa aksi di Istana Negara. Kemudian ia meragukan bahwa solusi dari gerakan BEM SI tersebut. Nah, terkait hal ini, jika benar memang aktivis, ia pasti tahu Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum.

Di UU tersebut, pada pasal 9 ayat (2) poin a menyebutkan bahwa Istana Negara yang merupakan Istana Kepresiden adalah salah satu daerah yang dikecualikan sebagai tempat berunjuk rasa atau demonstrasi. Jadi, di sini Safa gagal paham, bahkan salah satu contoh bukti kegagalan seorang mahasiswa. Jika Safa mengatakan bahwa gerakan yang diperankan BEM SI kemarin adalah sebuah sejarah perjuangan gerakan mahasiswa yang buruk, maka penilaian Safa lah yang buruk. Saya tidak menduga sebegitunya kualitas seorang Ketua Umum HMI, yang konon katanya lihai dalam literasi atau dalam dunia tulis menulis.

Jika ada yang memandang bahwa gerakan BEM SI dengan pandangan buruk, maka sebenarnya pandangan kita lah yang buruk. Sebab, setiap orang berhak atau sekumpulan orang berhak untuk menyampaikan aspirasi atau pendapat mereka. Soal benar dan salah, ada ranah masing-masing untuk membuktikannya.

Apa salahnya mereka (BEM SI) menuntut sebuah yang menurut mereka adanya ketidak-adilan. Mereka tidak patut dinilai pahlawan kesiangan. Bahkan gerakan mereka mengultimatum Presiden Jokowi tidak patut disebut lebay, sebagaimana yang disebutkan Sekretaris Pusat Badan Eksekutif Mahasiswa Nusantara (Sekpus BEM NUS) Ridho Alamsyah dalam sebuah media online. Sebab soal ultimatum adalah soal permintaan. Sehingga sah-sah saja jika rakyat meminta kepada Kepala Pemerintahan dan Kepala Negara agar menegakkan sebuah ketidak-adilan, dalam hal ini terjadi di dalam lembaga KPK.

Saya jadi heran, mengapa BEM SI yang berdemonstrasi, tapi HMI Jaksel (mungkin PB HMI, dalam hal ini Dipo), Ketua Umum Badko Sumut periode expired Alwi Hasbi, dan BEM NUS yang kebakaran jenggot? Mengapa mereka yang tampak kebakaran? Dan mengapa sibuk buat klarifikasi sana-sini membela Istana?[]

Oleh: Ibnu Arsib (Pegiat Literasi di Sumut)

 

- Advertisement -

Berita Terkini