Taliban Kuasai Kabul, Jadi Ingat Pilkada DKI 2017

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Pasukan kelompok Taliban dikabarkan menguasai Kabul, ibukota Afghanistan. Seketika jagat raya media sosial pun menjadi heboh menjadi pembicaraan utama di hampir seluruh pelosok negeri. Perdebatan pun tak urung terjadi. Bagi kelompok pendukung Islam garis keras (baca: radikal), ini adalah kemenangan kecil kaum muslim (tentu saja kaum muslim di sini adalah kaum muslim beraliran maut). Atau mereka anggap sebagai setitik air di tengah Padang tandus.

Mereka bergembira dan senang menunjukkan bahwa ternya bisa juga mengambil-alih dan menguasai sebuah pemerintahan di sebuah negara bernama Afghanistan. Cara berjuangnya bukan melalui teknik simpatik merebut hati dan pikiran rakyat Afghanistan, bukan sama sekali. Sebaliknya mereka melakukan dengan perang bersenjata (fisik) serta menyebar rasa ketakutan dikalangan masyarakat sipil sehingga masyarakat tidak berani melawan balik.

Dengan tidak melawannya masyarakat juga dunia internasional disebabkan teror hingga ketakutan yang dialami, membuat aksi mereka untuk merebut pemerintahan menjadi lebih mudah. Ketika pemerintahan yang sah di Kabul menyerah, maka Taliban segera mengklaim pengambil-alihan kekuasaan dan menerapkan kebijakan dan peraturannya yang wajib dipatuhi siapa pun. Hal lain, kelompok Taliban ini mendasarkan gerakan politiknya ini dengan menggunakan agama.

Bahwa apa yang mereka perjuangkan adalah tuntunan akidah dalam keyakinan agama yakni Islam. Mereka selalu menganggap bahwa pemerintah terdahulu gagal dan sudah menyimpang dari tuntunan yang seharusnya, maka dengan alasan itu pula mereka “terbius” siap menaklukan bahkan menyingkirkan dan menghabisi siapa saja yang menjadi penghalang jalan mereka.

Padahal, negara tersebut memiliki undang-undang yang harusnya dipatuhi ketika seseorang ataupun sekelompok orang ingin berkuasa menjadi presiden ataupun anggota dewan di parlemen. Itu secara hukum konstitusi yang sah. Demikian pun dalam ajaran agama. Tidak ada larangan sama sekali untuk menjadi penguasa ataupun pemimpin, namun jadilah pemimpin yang berjuang di jalan yang benar.

Yang mendapatkan kekuasaannya dengan cara yang benar. Tidak dengan menebar ketakutan di kalangan masyarakat dan sesama saudaranya sendiri (sesama muslim). Tidak kemudian merasa berhak membunuh dan mengambil alih tugas dan kewenangan malaikat pencabut nyawa. Tidak dengan kekerasan. Kecuali memang “perang” di medan tempur secara fair. Konsep mereka (Islam garis keras) kan sudah jelas.

Mereka miliki keyakinan sendiri dan memaksa siapapun untuk mengikuti keyakinan seperti itu. Jika bicara yang lain atau bertentangan maka dianggap musuh atau lawan yang patut dihabisi (gak banyak omong, langsung bedil mati). Tidak perlu ada keadilan bagi kaum “kafir” menurut pandangan mereka. Kalau sudah begitu gimana? Repot ini dunia hukum yang mengatur rasa keadilan dan bagi para pencari keadilan.

Kenapa pula kemudian saya menjadi teringat dengan peristiwa sejarah pilkada DKI di tahun 2017 ya? Ada kemiripan yang terjadi di sana. Ada kesamaan cara dan strategi. Bukan dengan aksi simpati membuat program yang bagus dan berupaya menarik simpati masyarakat pemilih, namun dengan car menebar rasa ketakutan hingga pemilih merasa harus memilih calon dari kelompok mereka.

Mereka memilih bukan karena suka tapi memilih karena takut. Itu yang terjadi. Demikian pun dengan jargon dan dalil-dalil agama yang digunakan sebagai penguat aksi mereka. Sekali lagi, masyarakat awam yang mengikuti gerakan ataupun aksi mereka bukan karena percaya ajarannya, namun lebih karena rasa takut diasingkan, dipersekusi, bahkan diberi sanksi fisik seperti penganiayaan.

Contoh aksi itu adalah: melarang men-sholat kan jenazah yang tidak mematuhi mereka, menolak orang yang berbeda pandangan untuk sholat di masjid mereka, mencap kafir dsb. Aksi dan gaya serta strategi seperti pilkada 2017 ini sempat dicap berhasil dan akan dijadikan sebagai pola untuk pelaksanaan pilpres 2019. Mereka begitu teguh dan yakin memenangkan pilpres juga pileg 2019 dengan konsep yang sama seperti pilkada DKI 2017. Benarkah?

Tenyata tidak. Tidak mudah membuat kemiripan antara DKI dengan daerah-daerah lainnya di Indonesia. Terlebih bangsa ini memiliki sebuah nilai yang tidak dimiliki oleh DKI maupun negara-negara lain yakni Pancasila. Bangsa ini sudah tertanam kuat akan nilai-nilai bhinneka tunggal Ika. Toleran dan saling menghargai antar kelompok masyarakat dari berbagai macam latar belakang adat budaya dan agamanya.

Tidak ada satu pun golongan yang lebih dominan lebih baik dan lebih berkuasa daripada golongan lainnya. Bangsa ini bukan untuk satu golongan tapi untuk semua rakyat Indonesia. Dari itu, peristiwa di Afghanistan maupun pilkada DKI 2017 yang lalu bisa menjadi pembelajaran bagi kita rakyat Indonesia bahwa bangsa ini terlalu berharga untuk diserahkan kepada satu golongan saja. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang sudah digariskan majemuk ataupun heterogen.

Namun demikian, jangan mencari-cari atau pun membesar-besarkan perbedaan tapi carilah kesamaannya. Bahwa kita sama-sama cinta damai yang butuh akan persatuan dan kesatuan. Jika semangat dan komitmen ini sudah tertanam kuat, maka jangankan FPI, HTI, ISIS maupun Taliban, bahkan kekuatan seluruh dunia pun tidak akan ada yang mampu membubarkan Indonesia. Sekali lagi, sepanjang kita bersatu.

Oleh : Agung Wibawanto

Artikulli paraprak
Artikulli tjetër
- Advertisement -

Berita Terkini