Beragama, Berbangsa dan Bernegara

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – “No nation can achieve greatness unless it believes in something, and unless thatsomething has moral dimensions to sustain a great civilization.”

Perkataan seorang cendekiawan dan politisi Amerika Serikat John Gardner rasanya layak menjadi pembuka dari catatan ini bahwa masyarakat takkan mampu menopang sebuah peradaban dalam kurun waktu bila tidak menggenggam sebuah keyakinan kolektif yang memiliki dimensi moral. Keyakinan kolektif yang berasal dari nilai-nilai luhur yang tertanam disetiap induvidu.

Selaras dengan hal itu, bangsa Indonesia adalah bangsa yang masyarakatnya memiliki kematangan akan nilai-nilai induvidu dan kolektif, bangsa yang besar karena bangsa Indonesia mempercayai sesuatu yang memiliki dimensi-dimensi moral. Bahkan Indonesia menjadi cerminan bagi negara-negara lain di dunia dalam melakukan aktivitas di berbagai bidang yang senantiasa menjunjung tinggi nilai.Tentu nilai tersebut terkandung dalam Islam yang termaktub didalam Al-Qur’an.

Keluruhan nilai yang terkandung didalam Al-Qur’an menunjukkan bahwa Islam dan Indonesia berjalan beriringan seiring tumbuhkembang masyarakatnya untuk kemudian saling mengisi, saling menopang demi peradaban Indonesia itu sendiri. Sejak dulu Indonesia dengan masyarakatnya yang memiliki etika, ramah, toleran dan gotong royong ialah sifat memanusiakan manusia, begitu pula dengan Islam, ajaran monotheisme yang berfokus pada tauhid dengan pencapaian jalan naik menuju entitas luhur dan abadi, menuju kepada yang benar dan Sang pemilik kebenaran itu sendiri, harus diiringi dengan sifat kasih atas nama kemanusiaan, merupakan ajaran kedamaian, Islam yang membebaskan sehingga menjadi pusat keseimbangan hidup serta menjadi rahmat bagi semesta, Al-Anbiya’ (21:107). Kedua entitas ini dapat berjalan tanpa bertentangan bahkan mampu menopang masyarakat menjadi yang beradab dan agamis.

Maka apabila indonesia memiliki bekal yang kuat terhadap moral hingga mampu mempesona dunia, kemudian seiring perjalanan sejarah yang memanjang pancasila lahir dari pikir dan laku para cendekiawan dan pendiri bangsa, jelas merupukan produk orisinil bangsa indonesia, jati diri bangsa yang layak di hadapkan pada dunia.

Nyatanya di dalam Pancasila tidak ada nilai-nilai yang bertentangan dengan ajaran agama, pesan-pesan yang ditawarkan mampu beriringan dengan nilai universal agama. Bagi kita yang akrab dengan pemikiran al-Ghazali, as-Syatibi, Izzudin bin Abd Salam, al-Qaffal, Ibnu Asyur, Allal al-Fasi, ar-Raysuni dan lain-lain ketika kita melihat semangat nilai yang terkandung dalam Pancasila dengan nilai universal Islam lewat kacamata pemikiran mereka niscaya akan sampai pada kesimpulan bahwa kedua entitas tersebut sesuai dengan maqasid al-syariah.

Indikator Keberagamaan

Pancasila menjadi indikator bagi masyarakat Indonesia sebagai umat beragama dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara, menjadi ukuran apakah keberagaman kita di ruang publik sudah dijalankan benar atau tidak itu tergantung apakah nilai-nilai pancasila itu dalam kehidupan dijalankan atau tidak. Selama orang Islam belum mampu merealisasikan nilai-nilai pancasila di ruang publik selama itu pula berarti substansi nilai Islam tidak pernah dijalankan dalam kehidupan.

Pancasila menawarkan keseimbangan hidup di wilayah vertikal (hablum minallah) maupun horizontal (hablum minannas) selaras dengan An-Nisa (4:36), maka Pancasila membantu orang Islam merealisasikan gagasan-gagasan etis Islam dalam kehidupan publik, sekaligus agama yang memuat pesan-pesan ilahiyah menjadi sumber nilai dari pancasila jadi keduanya saling membutuhkan. Pancasila merupakan perasan dari gagasan-gagasan universal, cita-cita moral agama sebaliknya pancasila sebagai indikator apakah keberagamaan kita sudah diwujudkan secara etis dengan baik diruang publik atau tidak.

Agama dan pancasila bagi masyarakat Indonesia saling berhubungan dan tak dapat dipisahkan serta keduanya saling menguatkan dan menopang peradaban, peleburan batas antara sejarah dan cita-cita bangsa yaitu dengan pancasila. Nilai-nilai agama hadir di muka bumi tentu beriringan dengan hadirnya manusia dan kemanusiaan itu sendiri, maka pancasila lahir ditopang dari substansi nilai-nilai universal yang disampaikan oleh manusia bermoral, beretika yang berpegang teguh pada visi spiritualitas.

Kita sepakat bahwa Islam bernilai langgeng artinya mampu beriringan dengan tumbuhkembang jaman, dinamika peradaban bahkan dalam era neo post-modern saat ini. Keterkaitan substansi nilai Islam di wilayah kebangsaan dan kenegaraantentu mendambakan tatanan negara yang memiliki visi berkelanjutan demi keberlangsungan hidup masyarakatnya. Apabila negara ingin bertahan dalam aliran ruang dan waktu maka jelas negara perlu memiliki basis spiritual.

Tidak ada peradaban yang bertahan dalam ruang dan waktu bila peradaban tersebut tidak lagi memiliki visi spiritualitas. Dalam hal ini kita perlu meminjam konsep dari Arnold Joseph Toynbee ahli sejarah, ia melakukan survey di lebih dari dua puluh peradaban, melakukan komperatif dan ia lihat peradaban mana yang bertahan dan yang tidak bertahan dalam waktu lalu ia simpulkan bahwa peradaban-peradaban yang bertahan dalam waktu itu sejauh peradaban-peradaban yang masih menyimpan visi spiritualitas diwilayah publiknya. Dia melukiskan dalam satu teori yang bernama “Radiasi Budaya”.

Peradaban itu berlapis, lapis terluarnya adalah sains teknologi, lebih dalam lagi estetika, lebih dalam lagi etika, paling dalam itulah visi spiritualitas. Toynbee menerangkan meskipun negara itu sains dan teknologinya mungkin tidak begitu maju, estetikanya belum matang serta etikanya mulai goyah namun selama masih ada visi spiritualitas negara tersebut masihmemiliki jantung pertahanan terakhir.

Tapi sebaliknya apabila dengan cara yang berbeda, visi spiritualitas yang merupakan jantung pertahanan terakhir dari suatu peradaban tapi peradaban yang paling bisa mempengaruhi peradaban lain adalah peradaban yang paling unggul dilapis terluar yaitu sains dan teknologinya. Jadi sekuat apapun visi spiritualitas selama peradaban tersebut tidak menguasai sains dan teknologi sampai kapanpun agama tidak akan berpengaruh pada peradaban lain.

Maka apabila orang Islam di Indonesia ingin berpengaruh di dunia, perkuat sains dan teknologi hanya dengan cara itu dia akan berpengaruh. Saya rasa itu salah satu cara terbaik untuk menafsir ayat “…niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah Mahateliti apa yang kamu kerjakan.” Al-Mujadalah (58:11).

Allah akan mengangkat derajat orang beriman namun tentu diarahkan untuk menjadi orang yang memiliki kematangan ilmu pengetahuanagar dia berpengaruh di dalam semesta ini karena ilmu pengetahuan merupakan alat manusia untuk mencari kebenaran, dalam proses pencariannya manusia terus bergerak. Manusia merupakan makhluk dinamis dan memiliki konsekuensi untuk terus bergerak, sebagai manifestasi ciptaan Tuhan pergerakan ini tentunya menuju pada arah progresif yang benar dengan kebenaran mutlak hanya milik Tuhan, Allah SWT.

Negara Multi Agama

Dalam hal visi spiritualitas, Indonesia memiliki ragam keyakinan, lantas bagaimana menguatkan visi spiritualitas ditengah negara yang multi agama? Teringat pidato 1 Juni 1945, Bung Karno menjelaskan, didalam masyarakat Indonesia yang multi agama hendaklah semua orang bertuhan tapi bertuhan menurut agamanya masing-masing, dengan cara yang leluasa bertuhan dengan cara berkebudayaan yang lapang dan toleran.

Dalam menjalanlan keberagamaan Bung Karno memiliki konsep “Ketuhanan Berkebudayaan” hal ini menegaskan hendaknya umat beragama hidup dalam konteks kebangsaan secara berkebudayaan. Kebudayaan inilah yang melahirkan berkeadaban, saling menghornmati tidak ada diskriminasi, intimidasi dan dengan leluasa (lapang-toleran).

Ia mencontohkan bahwa Nabi Muhammad SAW dan Nabi Isa AS telah memberikan bukti cukup tentang verdraagzaamheid, tentang menghormati agama-agama lain. Pandangan Bung Karno tersebut dalam asas Ketuhanan yang Maha Esa didalam relasi politis-muamalahnya, hendaknya dikembangkan dengan semangat Ketuhanan Berkebudayaan. Yudi Latif dalam Tulisannya “Ketuhanan yang Berkebudayaan” dalam buku Negara Paripurna: Historitas, Rasionalitas, Aktualitas Pancasila, Asas Ketuhanan telah melalui perdebatan panjang para pendiri bangsa yang kemudian mufakat pada sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa.

Cara mengembangkan yang lapang dan toleran yaitu dengan bergerak meninggi. Dikisahkan dengan baik oleh Yudi Latif saat Orasi Kebudayaan dalam peringatan Haul Cak Nur ke-13 tahun 2018, bahwa gerak meninggi ini seperti manusia yang berada di dasar hutan yang bisa dilihat hanyalah sekelompok pohon-pohon besar yang berbeda jenis, ukuran, umur warna dari pohon tersebut, sedangkan gerak meninggi ialah proses manusia berada diwilayah yang lebih tinggi sehingga melihat pohon-pohon tadi hanyalah satu kesatuan hutan yang utuh tidak ada perbedaan didalamnya.

Menilik analogi tersebut kita memahami bahwa manusia berfokus pada kesatuan dan hidup dengan bingkai persamaan, adapun kesamaan dalam konteks beragama ialah hidup dengan nafas berketuhaan yang Esa.

Bergerak meninggi telah ditafsirkan Soekarno sebagai gerak berketuhanan yang Esa. Kita tidak bisa menyantumkan kata “Esa” tanpa meminjam istilah dari Buddhisme yang makna Esa tersebut bermakna suatu keadaan spiritualitas dimana manusia mengalami fase kekosongan atausunyataatau fase manusia mampu terlepas dari hiruk pikuk duniawi.

Apabila kita masih terblenggu dengan unsur keduniawian maka kita berada dalam fase “duka” yang berarti kegelapan spiritualitas, maka manusia harus bergerak menuju fase kenosis, fase pengosongan yang menurut budaya jawa diistilahkan dengan manunggal sehingga orang-orang jawa mengenal kalimat “manunggaling kawula gusti” atau Ma’rifat menurut Islam, Muksa menurut Hindu dan Sunyata menurut Buddhisme.

Pancasila Jalan Tengah

Manusia dengan hak asasi dan kemerdekaan induvidu adalah entitas yang prinsipil, dengan keyakinan kepada Tuhan Yang Esa merupakan dasar bagi manusia, Al-Ikhlas (112:1-3). Maka kemerdakaan iduvidu atas induvidu yang lain menjadi batas dari kemerdekaan itu sendiri.

Dalam konteks berbangsa manusia berkelompok dan menjadi masyarakat, hidup beriringan dengan menggenggam keyakinan dalam memluk agamanya masing-masing. Dengan semangat kerukunan lakum dinukum waliyadinmenjadi bingkai kerukunan, Al-Kafirun (109:6). Tidak ada perbedaan atas nama kemanusiaan, melebur menjadi satu kesatuan untuk saling membangun dan menguatkan dengan iman dan ilmu pengetahuan (sejarah dan masa depan), melaksanakan sistem yang sudah dibangun para pendiri (founding father) dengan semangat gotong royong untuk kepentingan bersama, musyawarah dalam menentukan sikap bangsa kedepan, sesuai dengan pidato Bung Karno Tidaklah agama Islam mengatakan bahwa kepala-kepala negara, baik kalif maupun Amirul mu’minin harus dipilih oleh Rakyat? Tiap-tiap kali kita mengadakan kepala negara, kita pilih.” sesuai dengan firman Wasyawirhum fil amri, faidza ‘azamta fatawakkal ;ala Allah, Al-Imran (4:159)

Pancasila merupakan sebuah kesatuan gagasan yang terkonstruk menjadi sebuah pandangan hidup yang islami sejatinya menuju pada masyarakat madani dengan mengedepankan semangat bernegara yang moderat-islami. Antara negara agama dan negara sekuler Pancasila hadir sebagai jalan alternatif yang ideal untuk menuju masyarakat madani. Melalui beberapa nilai diantaranya tawasuth (pertengahan), tasamuh (toleran), tawazun (seimbang), i’tidal (konsisten, tegas, berlaku adil), juga dengan semangat syura (musyawarah), musawah (egaliter), ishlah (reformasi), aulawiyah (mendahulukan prioritas), tahadhdhur (berkeadaban) membantuk pembangunan masyarakat yang sustainable dengan semangat Nasionalisme tauhid menurut Bung Karno atau Darul ahdi wasy syahadah meminjam istilah Muhammadiyah, atau Darul mistaq meminjam istilah NU.

Melunasi Janji

Deklarasi kemerdekaan merupakan janji bangsa secara kolektif, langkah panjang untuk masyarakat saat ini yang 76 tahun Indonesia merdeka namun rangkaian peristiwa dengan melukai nilai-nilai moral masih sering terjadi. Sebagai penutup, kehidupan tidaklah sependek hidup diwilayah domestik. Al-Qassas (28:85) kita ketahui, melalui semangat cinta tanah air sudah menjadi tanggungjawab bersama dengan dukungan seluruh pihak baik masyarakat, pemerintah maupun penyokong semangat spiritualitas seperti para ulama untuk melangkah dengan nafas nasionalisme-islami.

Bila ditengah kehidupan masih terjadi konflik meski dalam skala kecil maka semangat spiritualitasnya masih dipertanyakan. Melalui perspektif primordial, sebagai manusia yang ditakdirkan lahir di Indonesia dengan anugerah iman dan islam selayaknya kita bersyukur dan ikhtiar tiada henti sebagai makhluk pengabdi semata-mata hanya mengabdi kepada Allah sekaligus menjadi bagian dari masyarakat yang senantiasa andil dalam pembangunan bangsa dan negara dengan keseluruhan berjalan istiqomah sesuai tuntunan yang benar dan kebenaran yang mutlak hanyalah milik Allah SWT, Almaidah (5:35).

Teruslah menjadi makhluk pembelajar dan menebar manfaat bagi sesama, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia” (HR. Ahmad, ath-Thabrani, ad-Daruqutni), sehingga Indonesia Tangguh Indonesia Tumbuh tidak menjadi jargon yang normatif belaka melainkan mampu dijiwai oleh setiap induvidu di penjuru wilayah NKRI sehingga terciptanya ruang hidup yang harmoni antara sejarah, saat ini dan masa depan (dunia) dan visi pasca hidup (akherat), antara kemerdekaan pribadi (induvidu) dan kebebasan kolektif (sosial), Al-Qassas (28:77).

Ruang hidup yang ideal sebagaimana dicita-citakan para pendiri bangsa, yang didambakan seluruh umat beragama, untuk kemudian bersama-sama mewujudkan masyarakat adil makmur yang diridhai Allah SWT.

Oleh : Dedi Setiadi

- Advertisement -

Berita Terkini