Menyelami Batin Indonesia: Melalui 176 Kisah Nyata Yang Difiksikan dalam 176 Puisi Esai, 176 Penulis, 34 Provinsi, Aceh Hingga Papua

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Banyak dari kita di masa kini tak lagi tahu. Tak lagi bisa menebak. Apa arti kata itu?

Slave Catcher! Itulah kata yang tertulis berulang- ulang dalam salah satu novel paling berpengaruh dalam sejarah: Uncle Tom’s Cabin.

Apa itu slave catcher? Apa kerjanya? Mengapa ia penting? Apa arti slave catcher bagi peradaban era itu?

Pengarang novel ini adalah Herriet Beecher Stowe. Ia pertama kali menerbitkan novel di tahun 1852.

Herriet secara detail menggambarkan potret dan suasana batin zaman itu: era perbudakan. Ini era sebelum budak dilarang di tahun 1863. Presiden Abraham Lincoln melarang perbudakan sebelas tahun setelah terbitnya novel itu.

Membaca novel itu, kita seolah melakukan perjalanan waktu 250 tahun lalu. Mustahil kita mengetahui suasana batin era itu jika tak melalui karya sastra atau dokumen sejarah.

Melalui novel Herriet pula, salah satunya, kita tahu profesi yang bernama slave catcher.

Ia tenaga ahli di zaman itu. Kerjanya tak lain dan tak bukan menangkap budak yang melarikan diri. Slave catcher mengembalikan budak yang tertangkap kepada majikan. (1)

Bayaran seorang slave cather cukup tinggi untuk ukuran era itu.

Apa daya sistem perkebunan di abad 15-19 memerlukan tenaga kerja murah. Tak ada yang lebih murah ketimbang budak. Bahkan sang budak bisa dimiliki, dijual kembali, diperkosa, disiksa, jika perlu dibunuh.

Jika ada kesempatan dan keberanian, seorang budak yang kuat memilih melarikan diri. Mana ia tahan melihat Ayahnya dicambuk atau kupingnya digunting. Mana Ia kuat melihat ibunya, kakaknya, adiknya atau istrinya diperkosa dihadapannya sendiri.

Budak yang kabur, yang lari, yang buron, menjadi bagian tak terhindari dari sistem perbudakan itu sendiri.

Akibatnya, sebuah profesi harus dikembangkan agar bisnis perkebunan stabil. Yaitu profesi menangkap budak yang kabur.

Seorang slave catcher yang kapasitasnya rendah, Ia perlu memiliki anjing pelacak. Setelah mendapat kabar seorang budak kabur, Ia hanya meminta pakaian atau berang budak itu yang masih ada di dalam camp.

Ia mengarahkan anjing pelacaknya mencium bau sang budak yang tersisa di barang itu. Segera sang anjing punya panduan melalui bau. Anjing menjadi cekatan memburu budak, bersama tuannya.

Tapi seorang slave cather kelas tinggi, Ia cukup ditemani seekor kuda. Instink perburuannya lebih tajam. Ia sudah memahami peta lokasi. Sudah ia duga arah yang akan ditempuh oleh budak yang kabur.

Ia juga peka membaca jejak langkah di tanah. Atau melihat jejak orang yang melintas dari rumput yang diinjak. Atau tahu arah pelarian hanya dari ranting daun yang patah setelah dilalui budak.

Dalam novel Herriet, slave catcher itu bernama: Tom Loker. Ia dikenal ahli pelacak. Berdarah dingin. Juga kejam.

Bersama timnya Marks, Ia meyakinkan pemilik budak Haley. Budak bernama Eliza segera Ia tangkap. Bahkan Tom Loker berencana menjual Eliza sebagia pelacur jika tertangkap.

Betapa karya sastra menjadi medium yang kaya untuk memahami satu masyarakat, untuk menghayati satu masa, yang jauh sekalipun, 250 tahun lalu.

-000-

Novel Herriet menjadi pengantar yang baik untuk kisah nyata yang difiksikan dalam 176 puisi esai di Indonesia.

Bagaimana cara kita memahami, menyelami kekayaan budaya, peristiwa besar di masa lalu, tata nilai, dari 270 juta populasi Indonesia di 34 provinsi, 17.504 pulau yang tersebar, dengan 225 budaya?

Buku sejarah atau ilmu budaya hanya dapat memberikan data, penggmbaran suasana keberagaman itu.

Tapi kisah batin, cerita yang hidup dalam masyarakat jauh lebih mudah dicerna, menyentuh, dan tinggal lama dalam memori, jika ia diungkapkan dalam sastra. Persis seperti buku Uncle Tom’s Cabin Karya Harriet Beecher Stowe.

Inilah dasar komunitas puisi esai membuat kerja kolosal. Yaitu merekam kisah nyata yang difiksikan di seluruh provinsi Indonesia, 34 provinsi dari Aceh hingga Papua.

Saya memperkenalkan genre baru dalam sastra: puisi esai di tahun 2012. Apa itu puisi esai dan contohnya sudah dituangkan dalam buku Atas Nama Cinta.

Puisi esai itu semacam historical fiction. Atau lebih tepatnya: kisah nyata yang difiksikan. Puisi esai adalah puisi yang panjang. Ia semacam cerpen atau novel pendek dalam bentuk puisi.

Berbeda dengan puisi biasa, puisi esai banyak catatan kaki. Fungsi catatan kaki sebagai fasilitas tempat dipaparkan kisah sebenarnya dalam sumber berita.

Di era Google, catatan kaki dalam puisi esai memberi fasilitas tambahan kepada pembaca untuk melacak sendiri sumber berita, jika Ia ingin mendalami lebih lanjut.

Sampai tahun 2021 sudah terbit lebih dari 100 buku puisi esai. Bahkan di tahun 2020, puisi esai resmi diadopsi dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI).

Saya sendiri sebagai pengagas puisi esai di tahun 2021 mendapatkan penghargaan sastra tingkat ASEAN dari Malaysia. Puisi esai dianggap inovasi dalam sastra dan kini meluas ke negara Asia Tenggara dan Australia.

Buku yang saya beri pengantar sekarang bisa disebut hasil kerja kolosal. Program ini melibatkan 176 penulis. Setiap provinsi menyumbangkan 5-6 penulis. Mereka penyair atau jurnalis, aktivis, dosen, pengusaha, politisi, ataupun penulis esai.

Dari setiap provinsi digali lima atau enam kisah nyata yang asli tumbuh di provinsi itu. Para penulis di provinsi itu yang memilih sendiri kisahnya.

Mereka lahir dan tumbuh di sana. Mereka lebih tahu kisah mana yang unik, dan penting untuk provinsi itu.

Kerja kolosal ini sudah disusun dan direncanakan sejak tahun 2016. Kini di tahun 2021, lima tahun sudah kerja ini rampung untuk babak satu.

Sebanyak 34 buku puisi esai sudah diterbitkan. Semua buku itu bisa diakses di facebook Perpustakaan Komunitas Puisi Esai.

Masih ada lima tahun ke depan, 2021-2026. Sebanyak 34 puisi esai yang dipilih dari 176 puisi esai, 1 provinsi 1 puisi esai, akan difilmkan. Ini babak keduanya.

Kini 34 skenario untuk serial 34 puisi esai sudah pula selesai.

Buku yang diberi pengantar ini adalah ringkasan 176 puisi esai tersebut. Agar mudah diikuti, ringkasan dibuat per provinsi.

Begitu banyak pihak yang terlibat behind the screen, termasuk para editor. Khusus ringkasan 176 puisi esai ini, saya menggunakan editor tunggal: Nia Samsihono.

Seperti kerja inovasi yang lain, yang kontroversial, selalu ada penentangnya. Gerakan nasional puisi esai di 34 provinsi juga melahirkan pihak yang protest dan menghambat, berkampanye agar penyair jangan terlibat (2)

Tapi tak ada yang salah dengan gerakan puisi esai. Ia swadaya. Tak dibiayai pemerintah, pihak asing atau oleh pabrik rokok misalnya. Gerakan ini murni gerakan masyarakat, swadana.

Membaca ringkasan 176 puisi esai ini, kita menyelami batin Indonesia dari Aceh hingga Papua. Saya mencuplik beberapa saja.

-000-

Puisi esai dari Aceh karya D.Kemalawati: Setelah Salju Berguguran di Helsinski. Dikisahkan di sini hal yang unik dalam sejarah Aceh sendiri: fenomena Gerakan Aceh Merdeka.

Tahun 2005 Aceh memasuki sejarah baru. Ditanda tangani perjanjian Helsinki, yang menjadi judul puisi esai Kemalawati. Saat itu Gerakan Aceh Merdeka akhirnya kembali dalam pangkuan Negara Indonesia.

Namun drama baru justru dimulai. Perpecahan antara para eks elit dan pimpinan Gerakan Aceh Merdeka itu sendiri.

Sebagian dari mereka menjadi penguasa lokal. Ada yang terpilih menjadi gubernur, walikota dan bupati. Tapi sebagian yang dianggap garis keras, bahkan teroris, tetap mendekam di penjara.

Mereka yang moderat dan garis keras dalam Gerakan Aceh Merdeka dulu berada di satu front. Kini mereka berhadapan, minimal tak sejalan.

Drama dieksplorasi dari kacamata satu elit GAM yang masih di penjara. Ia, tokoh bernama Muda Balia, merasa di khianati oleh teman seperjuangannya sendiri.

Dari Provinsi Sumatra Selatan, ada puisi esai karangan Linny Oktavianny: Lagu Seorang Duta.

Ini puisi mengkisahkan budaya unik yang tumbuh di Sumatra Selatan, khususnya Kayu Agung. Hidup dan dihormati penduduknya saat itu: Kultur Robin Hood.

Ini kisah bandit tapi dihormati oleh komunitasnya. Ia mencuri dari orang kaya. Dan membagikan sebagian hasil curiannya kepada rakyat kecil dan kegiatan agama: termasuk sumbangan membangun mesjid.

Bandit ini juga mengembangkan etika. Mereka tidak boleh mencuri di kampung halaman sendiri: Kayu Agung. Dan mereka bekerja dalam tim.

Bandit ini berlaku semacam duta masyarakat. Mereka yang legenda mencuri di negara tetangga. Yang lebih rendah: mencuri di provinsi lain.

Komunitas mengetahui kerja bandit ini. Tapi mereka juga menyaksikan ketika para bandit itu berhasil mencuri di dunia luar sana.

Sebagian dana mereka gunakan untuk menyantuni anak yatim piatu. Atau dana diberikan untuk renovasi masjid.

Pulang mencuri, mereka kembali ke kampung halaman, sholat di mesjid, menjadi pengurus organisasi pengajian dan sebagainya.

Namun di era modern, tradisi Robin Hood ini mulai ditinggalkan. Puisi esai ini mengkisahkan tokoh bernama Wahid karena terdesak ekonomi kembali menjalani hidup sebagai Robin Hood itu.

Dari Provinsi Jakarta ada puisi esai karya Elza Peldi Taher: Manusia Gerobak.

Puisi esai ini menggambarkan realitas yang masih hidup di Jakarta: kaum gelandangan. Ia bahkan tak punya tempat tinggal, dan hidup di atas gerobak saja.

Atmo seorang pekerja keras di desa. Karena ia tak lagi punya sumber penghasilan di sana, Ia pun nekad pergi mencari penghasilan ke Ibu kota: Jakarta.

Ia terusir dari sana dan sini. Akhirnya bersama istri dan anak, Ia memilih berumah di atas gerobaknya sendiri. Dengan gerobak itu, Atmo membawa keluarganya ke aneka area yang aman.

Istrinya tak tahan. Suatu hari sang istri pergi entah kemana.

Bencana pun datang. Anak Atmo wafat. Ia tak mempunyai uang untuk membayar tanah kuburan. Tapi Ia ingin memakamkan anaknya dengan hormat.

Atmo berkehendak membawa mayat anaknya ke desa. Ia pun naik kereta api membawa mayat anaknya yang mulai membusuk.

Tentu saja Atmo ditolak pekerja kereta api. Kembali Ia gagal menguburkan anaknya.

Untunglah solidaritas kawan kawannya akhirnya mencari solusi. Mereka bersama menguburkan anak Atmo dengan hormat, memandikannya, dan melakukan ritus agama bagi pemakaman.

Dari Jawa Barat ada puisi esai Jojo Raharjo: Kawin Kontrak. Ini juga khas fenomena di Cisarua, Jawa Barat. Orang asing mengkontrak seorang wanita untuk menjadi istri, tapi istri hanya untuk jangka pendek saja.

Selesai jangka pendek itu, selesai pula perkawinan. Sama persis seperti seseorang mengkontrak sebuah ruko, atau mobil, atau perkakas mesin.

Layla nama gadis itu. Ia dari keluarga miskin. Pada bulan tertentu, setiap tahun, Cisarua dipenuhi wisatawan asing, terutama dari Timur Tengah.

Mereka ingin juga wisata seks. Namun mereka tak ingin zinah yang dilarang agama. Solusinya: menikah tapi hanya untuk jangka waktu tertentu saja. Seminggu. Atau Sebulan. Atau tiga bulan.

Hal yang biasa di Cisarua. Ayah sendiri “menyerahkan” anaknya untuk kawin kontrak. Sang Ayah mendapat imbalan tertentu.

Tapi apakah sang Ayah menyadari derita psikologis anaknya? Apakah sang turis asing peduli rasa nyaman istri kontraknya.

Aneh tapi nyata.

Dari Bali kita membaca puisi esai karangan I Nyoman Agus Sudipta: “Kasta, Antara Cipta dan Cinta.”

Masyarakat Bali saat itu, juga sekarang, masih diwarnai oleh budaya kasta. Sebagian terlahir dari kasa tinggi Triwangsa (Brahmana, Ksatri dan Waisya). Sebagian lagi dari kasta yang dianggap rendah: Sudra.

Masalahnya di dunia modern, hubungan pribadi antara kasta terjadi dengan intens. Tokoh “Aku” dalam puisi esai ini, mengalami sendiri.

Ayahnya dari kasta Brahmana. Ibunya kasta Sudra. Betapa Ia, “Aku,” tak berada dalam posisi dihormati.

Apalagi jika yang menikah, wanitanya yang lebih tinggi. Maka sang wanita dianggap tergelincir. Suami yang datang dari kasta lebih rendah dianggap seperti hewan yang ingin naik status dengan dipangku oleh wanita yang kasta lebih tinggi.

Bahkan Adat Bali juga memiliki ritual melepas kasta. Bagi yang menikah dengan kasta yang lebih rendah beresiko Ia tak hanya kehilangan status kastanya.

Ia juga terancam kehilangan hak waris.

Bali kini tetap menjadi pusat parawisata dunia yang eksotis. Namun sistem kasta semakin dirasakan tak lagi adil bagi mereka terlahir dar kasta rendahan.

-000-

Dari Kalimantan Barat, kita tercekam membaca puisi esai Pradono: Jelaga Parit Setia.

Ini rekaman konflik berdarah yang terjadi berkali- kali. Yang berhadapan: rakyat etnis asli: Dayak, melawan suku pendatang Madura.

Lihat di Kabupaten Sambas. Lihatlah korban dan kerugian yang disebabkannya.

Korban akibat kerusuhan Sambas terdiri dari 1.189 orang tewas. Sebanyak 168 orang luka berat. Juga 34 orang luka ringan.

Soal properti: 3.833 rumah dibakar dan dirusak. Sebanyak 12 mobil dan 9 motor dibakar/dirusak. Tak ketinggalan 8 masjid/madrasah dirusak/dibakar.
Juga 2 sekolah dirusak, 1 gudang dirusak.

Lebih dari itu sebanyak 29.823 warga Madura mengungsi. Wahai, apa yang terjadi.

Parit setia yang menjadi judul puisi esai Pradono itu nama sebuah desa. Saat itu, tahun 1999, baru saja selesai sholat Idul Adha.

Karena konflik yang terakumulasi lama, suku Madura menyerang perkampungan etnik asli. Korban banyak jatuh di kalangan suku Dayak, etnik asli.

Asal konflik selalu komponen ekonomi. Suku pendatang, Madura, dianggap lebih berhasil. Namun penduduk pendatang dianggap kurang mengajak, dan bersosialisasi dengan suku asli.

Padahal, menurut suku Dayak, “Tanah ini tanah kami. Dari leluhur kami. Dibalas oleh suku Madura: Tidak! Ini tanah Tuhan. Kami juga berhak mengolahnya.

Namun suku Dayak terkenal dengan gelora primitifnya. Balas dendam terjadi. Dengan parang di tangan dan alat pembunuh kejam lainnya, mereka balik menyerang suku Madura.

Kekejaman luar biasa terjadi. Seorang anak terdiam dan terpana kaku. Ia melihat kepala Ayahnya terlepas dari badan, dibawa kesana kemari oleh mereka yang menyerang.

Dari Provinsi Sulawesi Tenggara, simaklah
puisi esai La Ode Gusman Nasiru “Kesaksian di Negeri Butuni.”

Di Sulawesi Tenggara, hadir kerajaan Buton atau Butuni sejak tahun 1365. Jejak kerajaan ini masih bergema dalam budaya masyarakat Buton.

Mereka yang lahir sebagai keturunan bangsawan, diberikan gelar La Ode, untuk pria. Dan gelar Wa Ode untuk wanita.

Ini bukan sekedar gelar yang dilekatkan dalam nama seseorang. Tapi terkait dengan gelar itu sebuah prestise kelompok.

Puisi esai Gusman Nasiru mengkisahkannya. Seorang pemuda bernama Hamid datang dari perantauan.

Iapun jatuh cinta pada seorang wanita. Sang wanita pun membalas. Masalahnya, wanita itu seorang Ma Ode. Ia berdarah bangsawan. Namanya tak hanya Widarni. Tapi Ma Ode Widarni.

Ayah Widarni tak bisa menerima Hamid. Seorang rakyat jelata hanya membuat prestise keluarga Wa Ode merosot.

Maka sang Ayah membawa anaknya ke luar negeri. Widarni bersekolah di Paris. Ia mendalami bisnis. Widarnipun menikah dengan pria asing.

Tapi hati Widarni selalu teringat Hamid, kekasih hati. Demikian pula Hamid. Namun cinta terhalang oleh gelar kebangsawanan.

Dari Papua; ada puisi esai yang ditulis oleh Alfonsina Samber. Judulnya: Prahara Tolikara.”

Hanya membaca judulnya saja, bagi yang memperhatikan, pastilah teringat peristiwa di Tolikara, Papua pada 17 Juli 2015.

Alfonsina mengurai peristiwa itu dalam puisi esainya. Awalnya miskomunikasi. Di hari yang sama, di lokasi yang sama, dua komunitas dari agama yang berbeda melakukan ritus agama.

Himpunan gereja di sana, saat itu membuat semacam surat edaran. Karena wilayah itu sedang digunakan untuk pertemuan komunitas gereja, maka dihimbau umat Muslim untuk tidak Sholat Idul Fitri di sana. Dan tidak lalu lalang di area itu menggunakan jilbab.

Tapi siapa yang kuat menghalangi umat menjalankan perintah agamanya untk sholat Idul Fitri. Dan mereka merasa bebas pula sholat di mesjid yang ada, dimanapun lokasi mesjid itu.

Polisi setempat mencari jalan tengah. Sholat Idul Fitri dibolehkan namun paling lambat sampai jam 8.00.

Kemarahan akibat sentimen agama sudah keburu tersulut. Pecahlah itu kerusuhan saling membakar dan melakukan kekerasan.

Namun insiden hari itu sebenarnya tak menggambarkan realitas Tolikara yang toleran.

Itu terbukti dengan peristiwa sesudahnya. Pemimpin kristen membantu Ustad Ali membangun kembali rumahnya yang dibakar. Mesjid juga dipugar kembali.

Menghadapi Idul Adha, hari raya setelahnya, pemimpin kristen mengirimkan beberapa kambing untuk ikut ritus agama Islam.

Demikianlah ragam puisi esai dari Aceh hingga Papua. Saya hanya menceritakan beberapa saja dari total 176 puisi esai itu.

-000-

Dari teks ke audio visual. Demikianlah pergeseran perilaku publik luas dalam mencerap pencerahan dan pengetahuan.

Terutama generasi milenial semakin bergeser kepada apapun yang audio visual. Saya selaku penggagas puisi esai juga sudah mencermati pergeseran itu.

Sudah selesai pula 34 skenario film yang memvisualkan 34 puisi esai yang dipilih dari 176 puisi esai. Satu skenario berdasarkan satu kisah nyata yang difiksikan dalam puisi esai.

Ini kali pertama dalam sejarah. Serial film dibuat berdasarkan serial puisi, tepatnya puisi esai.

Menghayati batin Indonesia, merasakan keberagamannya, keunikannya, tak hanya bisa dinikmati melalui 34 buku puisi esai. Tapi juga 34 serial film yang segera dibuat.

Dulu ada profesi “Slave Catcher,” penangkap budak yang kabur. Kini kita hanya perlu “Trend Catcher,” penangkap karya yang bisa menjadi trend.

Mengkisahkan batin masyarakat dalam puisi esai potensial menjadi trend.

Agustus 2021

Penulis : Denny JA

Catatan :

1. Profesi yang sudah sirna: Slave Catcher: pemburu budak yang melarikan diri

https://www.newsweek.com › u…’Underground Railroad’: How Slave Catchers …

2. Gerakan Nasional Puisi Esai ini juga menimbulkan aksi protes yang menyeru penulis untuk jangan berpartisipasi.

https://m.liputan6.com/lifestyle/read/3234319/muncul-petisi-tolak-proyek-antologi-puisi-esai-denny-ja

- Advertisement -

Berita Terkini