PPKM Darurat, Program Gagal yang Salah Kaprah

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – PPKM Darurat terlihat tidak memiliki efek tekan terhadap penderita Corona. Karena fakta di lapangan memang jauh lebih buruk dari yang terpampang dalam data. Kelangkaan ruang isolasi di rumah sakit, oksigen, obat-obatan, menunjukkan ketidaksiapan pelaksanaan program itu.

Bahkan sebelum PPKM Darurat dilakukan, saya nyari rumah sakit buat isolasi keluarga yang terindikasi Covid-19 saja tidak ada yang kosong. Memang gejalanya tidak terlalu berat. Tapi demi mencegah kejadian buruk, upaya itu saya lakukan. Akhirnya isolasi mandiri di rumah.

Yang kemudian lucu adalah aksi menyekat jalan. Ini entah ide bodoh dari mana. Jalan disekat juga percuma, orang akan cari jalan lain. Kecuali semua jalan disekat. Baru tidak ada mobilitas sama sekali.

Mungkin orang-orang ini bergaya mau sok niru lockdown. Tapi rada-rada banci. Maklum, duit buat insentif rakyat tidak ada. Maka gayanya aja mirip lockdown, tapi sembakonya cuma ratusan ribu. Itu pun jumlahnya tidak seberapa.

Akhirnya ya rakyat juga yang susah. Penumpukan arus lalu lintas terjadi di jalan yang terbuka. Mereka muter jauh agar sampai di titik yang sama. Sudah buang bensin, buang waktu pula.

Kemudian soal vaksinasi juga begitu. Ternyata ada 80 juta lebih vaksin yang ditumpuk. Yang diedarkan baru 50 jutaan.

Kemarin itu saya nyari vaksin aja seperti orang ngemis. Saya pikir, vaksinnya belum ada. Ya wajar agak susah dikit nyari vaksin. Antri kayak antri sembako seharian. Ternyata vaksinnya ditimbun. Ini juga entah ide bodoh dari mana.

Mungkin dengan menimbun itu mereka merasa tenang. Vaksin masih banyak. Lha ya wajar jika kemudian penularan menggila, rumah sakit kolaps, oksigen langka.

Ini lho soal sederhana sebenarnya: kepekaan. Gak perlu cerdas-cerdas untuk sampai ke titik ini. Kalau pembantu presiden itu pernah hidup susah, mereka akan mengerti PPKM itu membunuh secara pelan-pelan. Dan program ngawur ini juga ternyata tanpa persiapan.

Kemudian yang juga kacrut adalah soal pengelolaan. Ada banyak kabar tentang pemerasan yang dilakukan oknum, terhadap mereka yang datang dari luar negeri. Orang-orang ini dipalak oleh manajemen hotel dan oknum Satgas Covid-19 di bandara.

Dalam aksi pemerasan ini ternyata BNPB dan Kemenlu turut berdosa. Ade Armando menceritakan kasus pemalakan ini dengan rinci di Cokro TV. Kemarin saya baca, sanggahan BNPB atas kritik Ade Armando itu juga ngawur. Asal ngeles. Lempar tanggung jawab.

Intinya, ternyata tidak ada mekanisme pengawasan di sana. Program penanganan Covid-19 dijalankan tanpa check and balance. Akhirnya tercipta arogansi dan kesewenangan di lapangan.

Misalnya ada prilaku menyimpang seperti pemalakan di bandara itu, mau lapor ke mana? Ada RS yang jahat, mau lapor ke mana? Ada menteri atau kepala daerah bikin kebijakan ngawur, mau lapor ke mana? Ada aparat atau Pol PP barbar, mau lapor ke mana?

Tidak ada sistem pengawasan. Maka yang dilakukan pembantu presiden ya hanya aksi simbolik di depan kamera. Menunjukkan bahwa mereka telah berbuat sesuatu. Tapi efektif tidak? Ya masa bodoh. Penting kan kelihatan kerja.

Orang-orang yang tidak pernah hidup susah itu membuat kebijakan ala mindset kapitalis mereka. Tidak ada yang mikir rakyat. Ya wajar kalau kemudian kebijakannya tidak pro rakyat.

Saya lihat kemarin presiden blusukan malam-malam membagi sembako. Lha ini menteri dan kepala daerahnya pada ke mana? Apa perlu membahayakan orang nomor satu di negara untuk melakukan sebuah aksi sosial?

Mestinya mereka ini peka. Turun ke lapangan. Jadi pengawas kebijakan. Bukan hanya bisa koordinasi, koordinasi, koordinasi. Sudah setahun Corona masih juga koordinasi. Kerjanya kapan?

Saya gak ngerti lagi mau ngomong apa. Kalau kebijakan PPKM yang tak berguna ini diperpanjang juga, ya memang kebangetan. Kalau gitu kita hanya bisa pasrah saja. Soalnya Pilpres juga masih lama. Nunggu datangnya pemimpin dan kebinet baru yang lebih peka.

Oleh : Kajitow Elkayeni

- Advertisement -

Berita Terkini