Jokowi Kesal dan Menyesal Dukung Prabowo atau Salah Pilih Lawan?

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

 

Oleh: Agung Wibawanto

Ada sedikit terbersit dan mulai beredar pendapat masyarakat yang mengatakan, Jokowi menyesal memilih Prabowo untuk dijagokan capres.

Lho ada apa? Bukankah sepertinya Jokowi semakin mantap mendukung kubu 2? Apalagi di situ ada Gibran, anaknya sendiri, sebagai cawapres. Berikut penjelasan dari hasil omon-omon kalangan masyarakat bawah.

Konon awalnya, saat masih on the track bersama PDIP, Jokowi hanya ingin dua hal, yakni: 1. Penggantinya adalah orang yang akan dan mau melanjutkan programnya;

2. Jangan sampai kekuatan ekstrim kanan (FPI, HTI dll) menguasai pilpres. Just a simply plan. Kubu Nasdem yang mengusung Anies sudah dilemahkan dengan kasus Plate dan SYL. Rizieq cs pun tidak terdengar suaranya.

Mulai ada problem ketika Prabowo ngotot mau nyapres, padahal jika mau, Jokowi menawarkan Prabowo menjadi cawapres usungan PDIP. Rencana pun berubah.

Jokowi membuat plan A dan plan B. Tidak masalah Prabowo juga maju, toh orangnya Jokowi juga, dan Prabowo dianggap lebih mudah diatur ketimbang capres usungan PDIP. Siapapun yang jadi antara dua itu tidak masalah buat Jokowi.

Tapi rencana itu tidak semudah yang dirancangkan. Ada X factor yang membuat bubrah skenario Jokowi. Gibran, putera sulungnya, naik ke panggung politik nasional dan menjadi cawapres Prabowo.

Banyak rumor yang hadir menceritakan bagaimana Gibran bisa muncul ke permukaan. Sebenarnya juga sudah lama banyak petinggi partai yang datang ke Solo bertemu Gibran.

Artinya sudah digadang-gadang lama, tapi pada waktu itu Jokowi tidak setuju. Selain karena beresiko citranya akan turun, juga sulit secara rumusan hukumnya yang mengatur usia minimal.

Entah bagaimana, kehendak Gibran cawapres begitu kuat hingga membuat Jokowi tidak kuasa menahan. Dugaan paling kuat yang membuat Jokowi tidak kuasa adalah faktor Iriana, tidak yang lain.

Singkat cerita, Jokowi pun terpaksa atau dipaksa untuk memihak Prabowo-Gibran, yang telah lolos dari aturan hukum melalui jasa Anwar Usman, Ketua MK, yang juga adik ipar Jokowi.

Konsisi tersebut membuat Jokowi harus berhadapan dengan partainya sendiri, yang sudah memberinya dan anak-anaknya hak istimewa. Ini yang paling berat buat Jokowi.

Dia yang dikenal loyal dan tahu berterima kasih, kini harus menghianati partainya. Semula PDIP pun masih gondeli Jokowi dan Gibran, tapi lambat laun mulai terbiasa.

Pasangan Prabowo-Gibran sudah tidak bisa dibatalkan. PDIP pun mengambil sikap dengan menjaga jarak dengan Jokowi juga Gibran. Dari narasi yang dimunculkan Megawati tampak dia marah kepada Jokowi.

Kadung basah (pikir Jokowi), Jokowi pun membulatkan dukungannya kepada Prabowo, bukan ke Ganjar usungannya PDIP. Sejak itu, Jokowi mulai menggenjot Prabowo agar berpeluang besar untuk menang satu putaran.

Tidak ada skenario dua putaran. Jika dua putaran berarti bencana. Ia kerahkan seluruh kemampuan hingga akses yang dimiliki Jokowi baik sebagai pribadi maupun sebagai presiden.

Berpikir hitung-hitungan seharusnya mudah. Suara pendukung Jokowi ditambah pendukung Prabowo saja harusnya mencapai 50% lebih. Apalagi ditambah pendukung Gibran (kalangan muda), belum lagi mesin partai Gerindra, Golkar, PAN dan Demokrat. Tapi mengapa elektabilitasnya tidak mencapai 40% ke atas? Ini dikabarkan membuat Jokowi kesal. Pasti ada yang salah. Apa kira-kira?

Ada 2 faktor utama, yakni: pribadi Prabowo dan mesin kerjanya, dan kedua, PDIP masih kuat di beberapa daerah pemilihan, katakan saja Jateng, Bali, DIY dan setengah di Jatim.

Berdasar omon-omon warga, Prabowo tidak pernah menang nyapres karena figurnya sendiri yang punya banyak titik lemah untuk diserang lawan. Track recordnya, karakternya dan gaya nya yang sulit untuk blusukan turun ke rakyat seperti Jokowi dulu.

Jokowi ingin Prabowo seperti dirinya tapi tidak bisa. Pilpres akan melihat figur, bukan partainya. Jika figurnya malas ke bawah malas menyapa rakyat, dipastikan kesulitan meraih simpati terutama rakyat di daerah-daerah.

Tim kampanye atau TKN pun tidak kreatif mengolah isu dan membuat event. Hanya bisa mengandalkan uang untuk membeli suara serta banyak pelanggaran yang justru menyulitkan diri mereka sendiri.

Jokowi sudah mencoba mengcover dengan turun langsung ke rakyat di daerah, juga membela Prabowo saat debat. Tapi publik mulai tidak percaya Jokowi.

Dulu, Jokowi bilang apapun akan banyak yang back up, mendukung, bahkan membenarkan jika ada yang menyalahkan. Tapi sekarang berbeda. Kepercayaan kepada Jokowi makin tergerus. Lihat pula, bahkan Iriana mulai jarang tampil di publik.

Ada sebuah video, tiba-tiba Iriana pergi meninggalkan Jokowi begitu saja saat memberikan penjelasan kepada media. Iriana seperti malu dan tidak kuat menghadapi media.

Selain faktor Prabowo dan timnya, Ganjar dan PDIP nya semakin masif dan militan turun ke rakyat, bahkan menginap di rumah rakyat. Ganjar diback up pula oleh Mahfud MD yang menyasar kaum atau kalangan agama (terutama Islam).

Istri dan anak Ganjar juga punya peran. Siti Atikoh membantu menggalang suara perempuan dan disabilitas. Sedang Alam masuk ke komunitas anak muda.

Semua mereka bisa bergerak sendiri berpencar sehingga membuat jaring lebih besar untuk menampung suara. Satu faktor lain yang tidak disangka justru kompetitor GAMA sendiri yakni Anies atau kubu AMIN. Mengapa?

AMIN ternyata bisa menjadi pihak yang digunakan “tangannya” untuk menghantam keras Prabowo. Strategi AMIN yang gaspol serang Prabowo yang dianggap petahana, tentu menguntungkan Ganjar dan pastinya merugikan Prabowo.

Debat ketiga kemarin sebagai analogi yang pas untuk menjelaskan. Terbukti Prabowo babak belur dan nilai positif justru diraih Ganjar. Jokowi menjadi kesal hingga perlu mengomentari.

Komentarnya sangat jelas memihak kepada Prabowo. Jika kondisi aman, ngapain Jokowi harus komentar akan substansi debat? Berbeda dengan Maruf Amin yang terlihat lebih negarawan dalam berkomentar, ia menolak atau menghindari bicara substansi debat, “Biar rakyat yang menilai,” ucapnya. Padahal anak Maruf Amin pendukung Ganjar. Omon-omon masyarakat kecil diakhiri dengan dugaan.

“Jangan-jangan Jokowi mulai menyesal memilih Prabowo untuk melawan PDIP?” Karena sebetulnya Jokowi sudah hafal strategi kampanye PDIP, bahkan ia belajar banyak dari sana.

Apa boleh buat, Prabowo tidak sanggup menerapkan cara yang diinginkan Jokowi (seperti yang dilakukan Ganjar). Baru kemarin saja Prabowo ke 3 daerah sekaligus dalam sehari. Tapi itu pun hanya di panggung kampanye.

Sementara itu semakin banyak pelanggaran yang dilakukan kubu 2. “Apa memang sengaja dikalahin sih paslon ini? Terlihat pelanggaran berkali-kali diumbar ke publik. Dan paslon seperti tidak serius hanya joget-joget, dan terakhir mewek-mewek massal,” ucap seorang warga. Jokowi jengkel lalu sengaja ingin membuat kalah Prabowo-Gibran? Wah, menjadi rumor baru yang viral nantinya.

- Advertisement -

Berita Terkini