PB HMI MPO akan Gelar Demo se-Indonesia, Ini Tiga Alasan Menolak Kenaikan BBM

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM, Jakarta – Menyoal dinamika kebijakan Pemerintah Republik Indonesia terkait harga Bahan Bakar Minyak (BBM), dan sebagai bentuk keberpihakan Himpunan Mahasiswa islam (HMI) Majlis Penyelamat Organisasi (MPO) kepada rakyat yang diprediksi akan mengalami dampaknya.

“Maka Pengurus Besar (PB) HMI menginstruksikan kepada seluruh fungsionaris kader HMI se-Indonesia untuk menggelar aksi massa di daerah masih-masing. Aksi tersebut dilaksanakan serentak dilaksanakan pada Rabu (07/09/2022),” kata Ketua Umum PB HMI MPO, Affandi Ismail, Sabtu (3/9/2022).

Pemerintah telah resmi mengumumkan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Pertalite, Solar subsidi dan Pertamax yang terhitung sejak Sabtu, 3 September 2022 pukul 14.30 WIB yang berlaku di seluruh wilayah Indonesia.

Dimana pemerintah telah menaikan harga BBM jenis Pertalite dari yang sebelumnya Rp7.650 perliter menjadi Rp10.000 perliter, kemudian Solar subsidi dari yang sebelumnya Rp5.150 per liter menjadi Rp6.800 per liter dan Pertamax dari yang sebelumnya Rp12.500 per liter menjadi Rp14.500 per liter.

Secara umum, pemerintah berasalan kenaikan harga BBM ini dilakukan untuk meminimalisir besarnya Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang digunakan untuk mensubsidi BBM. Presiden Joko Widodo pun mengungkapkan bahwa APBN telah menanggung beban biaya subsidi BBM sebesar Rp502 triliun per tahun.

Sehingga Jokowi khawatir APBN tidak kuat untuk menahan besarnya beban APBN yang digunakan untuk mensubsidi BBM tersebut, yang menurutnya terus membengkak hingga kisaran Rp200 triliun dan dapat mencapai total Rp700 triliun.

“Demikianlah dalih pemerintah untuk menaikan harga BBM mulai hari ini, dimana kenaikan ketiga jenis BBM tersebut dengan masing-masing mencapai Rp2.000 per liter. Rakyat harus kritis dengan kebijakan tersebut dan jangan buru-buru percaya,” kata Affandi Ismail.

Ditegaskannya, HMI sebagai salah satu kekuatan civil society di Indonesia dengan Tegas Menolak kenaikan harga BBM terutama untuk jenis Pertalite dan Solar subsidi. Tegasnya penolakan HMI terhadap kenaikan harga BBM ini tentulah sangat beralasan, di antaranya sebagai berikut:

1. Situasi ekonomi sebahagian besar rakyat Indonesia dalam kurun waktu 2 (dua) tahun terakhir ini dapat dikatakan masih sangat terpuruk diakibatkan oleh karut marut dan rusaknya tatakelola Pemerintahan hampir pada semua sektornya terutama di sektor keuangan, kemudian ditambah terpaan Pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia.

Tentu masih sangat segar di ingatan kita semua saat Pemerintah sendiri mengatakan bahwa sedang fokus pada agenda pemulihan ekonomi Nasional yang artinya menegaskan bahwa situasi ekonomi dan kesejahteraan rakyat Indonesia sedang dalam keadaan yang tidak baik-baik saja.

Jika melihat data dari Bank Dunia (World Bank) tahun 2021 jumlah rakyat/penduduk miskin di Indonesia berjumlah 138,9 juta jiwa dengan pendapatan di bawah Rp. 31.086,7/orang/hari (USD 2,09, jika nilai tukar rupiah per $ 1 = Rp. 14.899,25 per tanggal 2 September 2022) dan/atau di bawah Rp. 1.000.000/orang/bulan.

Mereka yang berpendapatan rendah tersebut antara lain terdiri dari kalangan petani, nelayan, buruh, tenaga honorer, usaha mikro, sektor informal, etc., dan tentunya sangat dimungkinkan jumlah penduduk miskin di Indonesia bertambah pada tahun 2022 ini.

2. Kenaikan harga BBM bersubsidi sudah pasti akan memberikan dampak buruk secara domino terhadap kemampuan rakyat kelas menengah ke bawah dalam pemenuhan kebutuhan hidup (sandang, pangan dan papan) mereka yang salah satunya dikarenakan ikut naiknya harga kebutuhan-kebutuhan pokok (primer) lainnya di pasar.

Jadi bukan sajadampak negatifnya yang secara langsung akan dirasakan oleh kelompok masyarakat yang telah disebutkan pada point 1 (satu) di atas, tetapi juga berdampak pada kebutuhan masyarakat yang proses produksi dan/atau distribusinya harus menggunakan BBM, sudah pasti akan mengalami kenaikan harga.

Lalu jika demikian situasinya apakah mungkin 138,9 juta jiwa penduduk miskin Indonesia dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Benar ada Bantuan Langsung Tunai (BLT) BBM sebesar Rp. 600.000 untuk 4 (empat) bulan yang diberikan oleh Pemerintah kepada 20,65 juta Keluarga Penerima Manfaat (KPM) dan kepada 16 juta pekerja sebagai bentuk kompensasi atas naiknya harga BBM yang dialokasikan dari dana sebesar Rp. 12,4 triliun dari total penambahan dana bansos sebesar Rp. 24,17 triliun dan pertanggal 31 Agustus 2022 Presiden Jokowi sudah memulai penyaluran BLT BBM tersebut, di mana penyalurannya diberikan secara bertahap melalui kantor Pos di seluruh Indonesia.

Berdasarkan catatan yang telah dihimpun, perlu diketahui oleh publik bahwa pembagian BLT BBM yang dilakukan oleh Jokowi bersamaan dengan rencana kenaikan harga BBM yang disebut-sebut akan diumumkan dalam waktu dekat ini, bahkan kabarnya Jokowi telah memegang harga baru dari Pertalite dan Solar (Sumber : detikfinance 1 September 2022). Namun demikian pertanyaan fundamentalnya adalah apakah BLT BBM sebesar Rp. 150.000/bulan dengan pengalokasian per 2 (dua) bulan sekali tersebut mampu menopang daya beli masyarakat?

Rasanya akal sehat kita harus mengatakan tidak. Sebab kalau dihitung secara matematis artinya yang diterima oleh 20,65 juta KPM dan 16 juta pekerja hanya sekitar Rp. 5.000 per hari dari BLT BBM tersebut dan meskipun ditambah dengan pendapat rata-rata Rp. 1.000.000 per bulan dari 138,9 juta penduduk miskin Indonesia berdasarkan data World Bank di atas, maka pastinya masih tidak dapat menopang daya beli dan menjamin kebutuhan hidup masyarakat.

Maka dapat disimpulkan bahwa BLT BBM tidak lebih hanyalah alat (instrument) bagi Penguasa Rezim Jokowi guna meredam amarah rakyat Indonesia atas kondisi ekonomi yang semakin terpuruk saat ini.

3. Hal yang paling mengerikan sebagai dampak kenaikan harga BBM bersubsidi adalah ancaman akan terjadinya inflasi yaitu suatu kondisi di mana terjadi kenaikan harga barang dan jasa secara umum yang terjadi secara terus menerus dalam waktu jangka panjang. Sebagai contoh, dijelaskan bahwa jika terjadi kenaikan harga Pertalite dari Rp. 7.650/liter menjadi Rp. 10.000/liter atau naik sekitar 30% maka inflasi akan naik 3,6%, di mana setiap kenaikan 10% BBM bersubsidi, inflasi bertambah 1,2%.

Perlu diketahui bahwa inflasi yang dialami oleh Indonesia saat ini nyaris menyentuh angka 5% dan kalaupun harga BBM bersubsidi tidak mengalami kenaikan maka inflasi diprediksikan akan tetap bergerak menyentuh angka 6% pada akhir tahun 2022 ini. Artinya jika inflasi naik 3,6% sebagai dampak kenaikan harga BBM bersubsidi, maka secara total inflasi Indonesia akan mencapai 9,6%.

Seketika harga BBM bersubsidi naik maka para pelaku bisnis transportasi baik yang konvensional maupun yang online seperti pengusaha bus, travel, taxi, ojek dan sejenisnya akan dengan segera menaikan tarif jasa angkutannya.

Selain itu, pula seperti yang sudah disinggung pada point ke 2 (dua) di atas, sektor Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) dengan berbagai jenis produknya khususnya kuliner juga pasti akan melakukan penyesuaian harga karena lebih dahulu terdampak dan cukup sensitif terhadap perubahan harga BBM.

Kondisi yang telah digambarkan di atas linier dengan kemampuan daya beli masyarakat yang semakin melemah dan itu artinya jumlah masyarakat yang masuk dan kemudian terjebak di dalam kubangan garis kemiskinan akan semakin bertambah banyak. Tentunya situasi yang demikian ini tidak boleh dibiarkan oleh seluruh pihak yang berkepentingan atas stabilitas Negara Indonesia yang sangat kita cintai ini, tidak terkecuali masyarakat sipil yang masih hidup di bawah garis kemiskinan (wong cilik).

Kita tidak ingin melihat Indonesia menjadi negara bangkrut seperti Sri Lanka dengan krisis moneter dan krisis politik yang melanda salah satu diakibatkan karena inflasi yang begitu tinggi dan tidak terkendalikan lagiditambah kejahatan korupsi yang menggurita.

Namun bukan hal yang mustahil dengan melihat tatakelola Pemerintahan saat ini, situasi Indonesia juga bisa seperti Sri Lanka bahkan mungkin lebih parah daripada itu bila Rezim ini tidak segera berbenah sehingga membuat ketimpangan ekonomi di tengah-tengah masyarakat semakin lebar yang kemudian akan menjadi salah satu faktor yang dapat mendelegitimasi Rezim Jokowi itu sendiri.

“Sedikitnya 3 (tiga) alasan di atas itulah yang mendasari HMI menolak dengan tegas, sekali lagi, menolak dengan tegas kenaikan harga BBM yang dinilai akan semakin menyusahkan, menyengsarakan dan menambah penderitaan kurang lebih 50% dari populasi 270 juta jiwa rakyat Indonesia,” pungkas Affandi Ismail. (Arief)

- Advertisement -

Berita Terkini