Kepres 12/2020 dan Force Majuere dalam Perjanjian

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM 

Penjelasan singkat Force Majuere
Force Majuere : adalah suatu alasan untuk membebaskan debitur dari kewajiban membayar ganti rugi atas dasar wanprestasi yang dikemukakan oleh pihak kreditur dalam buku Hukum Perjanjian (hal, 55).

Terminologi “force majeur” juga tidak secara eksplisit dinyatakan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”).

Namun terdapat pasal yang sering digunakan sebagai acuan dalam pembahasan force majeur, yakni Pasal 1244 dan Pasal 1245 KUH Perdata yang berbunyi sebagai berikut :

Pasal 1244 KHU Perdata :

Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga bila ia tidak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksankannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh sesuatu hal yang tak terduga, yang tak dapat dipertaggugjawabkan kepadanya walaupun tidak ada itikad buruk kepadanya.

Pasal 1245 KUH Perdata :

Tidak ada penggantian biaya, kerugian dan bunga bila karena keadaan memaksa atau karena hal yang terjadi secara kebetulan, debitur terhalang untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau melakukan suatu perbuatan yang terlarang baginya.

Berdasarkan ketentuan tersebut, maka unsur utama yang dapat menimbulkan keadaan force majeur adalah :

Adanya kejadian yang tidak terduga ;
Adanya halangan yang menyebabkan suatu prestasi tidak mungkin dilaksankan ;
Ketidakmampuan tersebut tidak disebabkan oleh kesalahn debitur ;
Ketidakmampuan tersebut tidak dapat dibebankan risiko kepada debitur.
Karena luasnya kemungkinan keadaan atau situasi force majeur, maka para pihak untuk mendapatkan kepastian hukum biasanya mencantumkan klausula dengan daftar peristiwa yang dapat menjadi force majeur dalam perjanjian- perjanjian yang disepakati atau dibuat oleh para pihak.

Dan dalam perjanjian biasanya juga diatur mengenai konsekuensi dari adanya peristiwa force majeur, misalnya apakah menunda perjanjian atau dapat dijadikan sebagai syarat batal suatu perjanjian.

Covid-19 sebagai alasan Force Majeure

Menurut Subekti dalam buku Pokok-pokok Hukum Perdata (hal. 150), berdasarkan teori, terdapat 2 jenis force majeur:
force majeur absolut; dan
force majeur relatif.

Mariam Darus Badrulzaman dalam buku KUH Perdata Buku III: Hukum Perikatan dengan Penjelasan menerangkan bahwa force majeure absolut terjadi apabila kewajiban benar-benar tidak dapat dilaksanakan seluruhnya, misalnya ketika objek benda hancur karena bencana alam. Dalam hal ini pemenuhan prestasi tidak mungkin dilaksanakan oleh siapapun juga atau oleh setiap orang (hal. 37).

Force majeure relatif terjadi ketika suatu perjanjian masih mungkin untuk dilaksanakan namun dengan pengorbanan atau biaya yang sangat besar dari pihak debitur, misalnya harga bahan baku impor menjadi sangat tinggi atau pemerintah tiba-tiba melarang membawa barang objek perjanjian keluar dari suatu pelabuhan (hal. 37).

Akibat dari force majeur, menurut Asser dalam buku Pengajian Hukum Perdata Belanda (hal. 368 – 369) terdapat dua kemungkinan, yaitu pengakhiran perjanjian atau penundaan kewajiban.

Keputusan Presiden Tentang Penetapan Bencana Non Alam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) Sebagai Bencana Nasional.

Latar Belakang :
Pertimbangan penetapan Keppres 12 tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) sebagai Bencana Nasional adalah:
bahwa bencana nonalam yang disebabkan oleh penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) telah berdampak meningkatnya jumlah korban dan kerugian harta benda, meluasnya cakupan wilayah yang terkena bencana, serta menimbulkan implikasi pada aspek sosial ekonomi yang luas di Indonesia;
bahwa World Health Organization (WHO) telah menyatakan COVID-19 sebagai Global Pandemic tanggal 11 Maret 2020;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Keputusan Presiden tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) Sebagai Bencana Nasional.

Dasar Hukum :
Dasar Hukum Keppres 12 tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) sebagai Bencana Nasional adalah:
Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3273);

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 66, Tambahan Lemharan Negara Republik Indonesia Nomor 4723);

Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19);

Isi Kepres
Kesatu :
Menyatakan bencana nonalam yang diakibatkan oleh penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) sebagai bencana nasional.

Kedua :
Penanggulangan bencana nasional yang diakibatkan oleh penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dilaksanakan oleh Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-I9) sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) melalui sinergi antar kementerian/Lembaga dan pemerintah daerah.

Ketiga :
Gubernur, bupati, dan walikota sebagai Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-I9) di daerah, dalam menetapkan kebijakan di daerah masing-masing harus memperhatikan kebijakan Pemerintah Pusat.

Keempat :
Keputusan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Kesimpulan:
Bahwa kalimat Force Majuere dapat didefiniskan adalah keadaan memaksa yang dimana debitur terlepas untuk tidak melakukan isi perjanjian dikarenakan suatu keadaan yang diluar kemapuannya. (wanprestasi).

Bahwa terdapat dua kemungkinan akibat force majure, yaitu pengakhiran perjanjian atau penundaan kewajiban.

Bahwa di dalam klausula perjanjian harus dimuat suatu keadaan force majeure sehingga bisa terpenuhi unsur Pasal 1244 dan Pasal 1245 KUH Perdata.
Apabila tidak diperjanjikan klausula force majure maka menurut saya perjanjian tetap harus dilaksankan.

Penulis: Saddam Hussein SH MH, Mahasiswa S3 Fakultas Ilmu Hukum Universitas Padjajaran, Bandung.

- Advertisement -

Berita Terkini