MUI: Wacana Penghapusan Pelajaran Agama di Sekolah Langgar UU

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM, Jakarta – Wacana penghapusan pelajaran agama di sekolah yang disampaikan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, bertentangan dengan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

“Pasal 12 (1) butir a Undang-undang tersebut mengamanatkan bahwa setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama,” ujar Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia Zainut Tauhid dalam keterangan tertulisnya, Rabu (14/6).

Menurut Zainut, dalam UU sudah ditegaskan bahwa pengertian satuan pendidikan yang dimaksud adalah kelompok layanan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan pada jalur formal, nonformal, dan informal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan.

“Jadi setiap siswa yang menempuh pendidikan baik itu di jalur formal, nonformal maupun informal itu berhak mendapatkan pendidikan agama,” ujarnya.

Dengan demikian, kata Zainut, pihak sekolah sebagai pengelola pendidikan jalur formal wajib memberikan pendidikan agama. Kewajiban tersebut tidak bisa disubstitusikan kepada lembaga pendidikan yang lain.

Untuk itu, Zainut meminta agar Muhadjir lebih bijak dalam mengeluarkan pernyataan yang bersifat sensitif dan rentan berpolemik.

Menurutnya, justru masih banyak persoalan pendidikan yang perlu mendapat perhatian seperti sarana pendidikan, ujian akhir sekolah hingga pelaksanaan kurikulum 2013 yang belum tuntas.

“Lebih bagus Pak Menteri fokus bekerja menyiapkan anak didik lebih berprestasi daripada terjebak pada polemik yang tidak produktif,” ujarnya.

Dalam rapat kerja dengan Komisi X DPR kemarin, Muhadjir menjelaskan aturan delapan jam belajar dan kaitannya dengan keberlangsungan Madrasah Diniyah.

Muhadjir pun membantah bahwa delapan jam belajar itu dapat mengancam eksistensi Madrasah Diniyah. Alih-alih mengancam, Madrasah Diniyah disebut dapat dioptimalkan menjadi sumber belajar siswa, atau diakui pelajarannya dari delapan jam belajar itu.

“Bahkan saya usulkan nilai agama yang di rapot siswa itu cukup diambil dari Diniyah itu. Begitu juga di gereja, pura, justru yang menilai mereka. Dikonversi jadi nilai yang ada di rapor,” kata Muhadjir.

“Kalau Diniyah ada di situ, mungkin pelajaran agama sekolah tidak diperlukan lagi. Kita ingin perkuat keagamaan dengan fungsikan gereja, pura, diniyah,” kata mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Malang itu.

Sebelumnya, Kepala Biro komunikasi dan Layanan Masyarakat Kemdikbud Ari Santoso menyebut penyataan Mendikbud tersebut bukan dalam upaya menghapus pelajaran agama di sekolah. Sejumlah pemberitaan di media menurutnya lepas dari konteks pernyataan tersebut.

“Upaya untuk meniadakan pendidikan agama itu tidak ada dalam agenda reformasi sekolah sesuai arahan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan,” kata Ari dalam keterangan tertulis.

Dalam pernyataan kemarin, Muhadjir justru berencana menjalin kerja sama dengan lembaga pendidikan di luar sekolah untuk lebih memantapkan pendidikan agama dengan ditambah pendidikan karakter. Hal itu sesuai dengan Peraturan Mendikbud Nomor 23 tahun 2017.

“Justru pendidikan keagamaan yang selama ini dirasa kurang dalam jam pelajaran pendidikan agama akan semakin diperkuat melalui kegiatan ekstrakurikuler,” kata Ari. (ka)

 

 

- Advertisement -

Berita Terkini