Wara Sinuhaji, Edy Rahmayadi Menjawantahkan Diri dari Trah Putri Hijau

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM, Deli Serdang – Sejarawan Wara Sinuhaji menjelaskan antara fakta dan mitos, sebelum ada kerajaan melayu di wilayah Sumatera Timur itu, kerajaan aru yang berpusat di Desa Deli Tua, Kecamatan Namorrambe, Kabupaten Deli Serdang, artinya sebelum ada kerajaan Deli.

Setelah masuk Islam, baru ada kerajaan Deli, kalau kita berbicara dengan melayu dan Karo, ia mengatakan Karo yang duluan. Melayu itu identik dengan Islam, kalau tidak ada Islam tidak ada melayu, makanya melayu bukan konsep etnik, tapi konsep budaya.

“Siapa saja bisa menjadi melayu asalkan dia menjalankan adat istiadat dan bahasa melayu serta Islam. Jadi orang melayu tidak ada yang tidak Islam,” ungkapnya saat ditemui mudanews.com beberapa waktu lalu.

Ia menambahkan, melayu terbentuk setelah portugis menghancurkan Bandar Melaka sehingga Raja-raja Melaka bertaburan lari ke Pesisir Pantai Sumatera, ada yang ke Riau, Sumatera Timur. Kemudian mereka menjalin hubungan dagang dengan masyarakat pedalaman.

“Masyarakat pedalaman saling mempengaruhi satu sama lain, makanya banyak orang Karo menjadi jawi atau menjadi melayu, masuk Islam,” papar Wara.

Ia menceritakan, itulah cikal bakal melayu di Sumatera Timur dengan masyarakat pendatang yang muncul dari luar di pesisir yang saat  itu di abad ke XV dan XVI sudah mulai membangun pendekatan-pendekatan hubungan dagang dengan masyarakat pedalaman.

“Anak-Anak muda sekarang selalu menginterprestasikan bahwasannya seoalah-olah pada abad ke VX sudah ada pesawat udara, padahal belum ada,” jelasnya.

Wara menjelaskan, jalur transportasi yang penting itu adalah sungai. Nah kalau kita lihat sungai dari muara sungai masuk ke pedalaman. Menelisik dari sejarah itu, orang-orang yang menjadi Sultan dan Raja itukan jagoan atau preman, dia yang menguasai posisi strategis dunia jalur niaga (perdagangan), mulai dari muara sungai terus ke pedalaman.

“Bacalah buku John Anderson kaum orientalis yang disuruh oleh pemerintah inggris untuk melakukan survei dan penelitian di wilayah Sumatera Timur,” lanjutnya.

Artinya mereka itu datang kemari bukan seperti kita yang hanya melancong atau jalan-jalan. “John Anderson sebelum datang mengsurvei terlebih dahulu, sebelum pasukan masuk untuk menguasai menjadikan kolonalisasi,” ujarnya.

“Makanya John Anderson itu, masuk dari pesisir, dialah orang pertama yang bertemu dengan keturunan Sultan Deli di Labuhan,” jelas dia.

Singkat cerita, John Aderson pun melihat rumahnya, lebih cantik rumah John Anderson daripada Sultan Deli itu. “Atapnya pun dari rumbia, senjatanya cuma kelewang, tapi Sultan Deli lah jagoannya, penduduk pun belum ada 10 rumah tangga,” jelasnya.

“Walhasil, itulah kita lihat sebelum masuk kerajaan-kerajaan Islam. Artinya disini ada sebuah kerajaan Aru. Itulah yang berpusat di Desa Deli Tua Kecamatan Namorambe,” ungkap Wara.

Kerajaan Aru bermacam-macam, ada di Langkat dan Barumun. “Pertemuan Sungai Barumun dan Sungai Binanga, disitu juga dikatakan pusat kerajaan Aru juga dan ini kita kaitkan dengan banyaknya bertebar Candi Hindu-Budha yang dihancurkan saat perang Banderim oleh Sultan Tambusai.

Ia mengungkapkan, selama ini Edy Rahmayadi mendapatkan tanah setelah menjadi Gubernur Sumut, sebelum itu, apa tahu Edy Rahmayadi, mungkin itu dipahaminya, ada laporan-laporan yang diterima dari bawahannya, sehingga dia membangun kawasan Wisata atau tempat tinggalnya.

“Karena dia menjawatahkan keturunan putri hijau itu, sehingga ia berusaha menguasai lahan dan situs putri hijau itu. Selama inikan begini, Edy Rahmayadi kita tahu bahwa ia keturunan Aceh, dalam konteks Pilkada 2018 lalu, ia mengidenfikasikan diri seolah-olah dialah melayu, itu hal yang biasa dalam konteks kekuasaan itu, kalau kamu mempelajari sejarah politik dan kekuasaan, itu hal yang biasa,” jelasnya.

Wara menambahkan, jadi artinya, karena dia sudah mengidentifikasi dirinya menjadi orang melayu, Edy Rahmayadi mencoba mencari tokoh-tokoh legendaris dikalangan masyarakat melayu supaya diterima masyarakat.

“Dan harus diingat, kalau kita berbicara tentang putri hijau, bukan hanya milik melayu, tapi milik Karo dan Aceh juga, putri hijau ini persinggungan beberapa suku,” ungkapnya.

Makanya, lanjutnya, kalau di Karo, pecahan-pecahan atau peninggalan putri hijau ini ada dua yakni di Sukanalu dan Sibaraya, sedangkan di Deli Serdang di Deli Tua. Kalau di Aceh dipercayai orang itu ada monumen dan cagar budaya milik putri hijau terkecuali di daerah Karo dan Melayu nya meriam puntung yang sekarang ada di Istana Maimun.

“Kalau di Sibaraya, disana dulunya ada rumah adat zaman revolusi, ada dibumbungan (atap-red) rumah itu, ada satu gulungan rambut, masyarakat percaya ketika itu, bahwa itu rambut peninggalan putri hijau,” bebernya.

Pada masa revolusi, kemudian rambut itu habis, karena dimasa revolusi siapa saja bisa menjadi pejuang. Maka diyakini oleh masyarakat rambutnya sakti atau anti tembak.

“Tapi itu secara psikologis sebuah menumbuhkan kepercayaan diri. Tapi disitu ada situs peninggalannya yang dirawat masyarakat, termasuk Pemandian Pancur Gading ini pemiliknya orang karo sekali (Sibaraya),” jelasnya.

Begitulah orang karo asli pertama di dataran tinggi. Inilah cerita yang diyakini oleh masyarakat tidak bisa kita ungkapkan kalau tidak ada bukti faktual. Apakah itu benar atau tidak, tapi masyarakat menganggap itu suatu kebenaran. “Kalau kebenaran dianggap rakyat, maka itu dianggap sebagai peradaban atau budaya. Itu harus kita menjunjung kalau sudah rakyat menganggap suatu kebenaran,” sambungnya.

Ia membeberkan, dari dulu dari literatur yang saya baca, misalnya seorang sastrawan ingin menulis atau membuat drama, ada saja kejadian-kejadian klinik dan itu nyata.

“Pernah di Brastagi Karo, ketika saya kecil dimainkan orang sandiwara, bru putri hijau main di teras rumah, bisa kampung keling dibalik Gundaling sana banjir, satu keluarga mati dan pernah juga buat film putri hijau dipenatapan matinya Gundaling termasuk sutradaranya. Begitulah, pasti ada saja kejadian yang unik atau aneh,” bebernya.

Dengan demikian, Wara mengatakan, dalam konteks dunia politik itu hal yang biasa, apalagi Edy Rahmayadi sudah sukses, ia menjawatahkan dirinya sebagai melayu, mungkin dari trah keturunan putri hijau sehingga berusaha menguasai situs yang ada di sekitaran Taman Edukasi Buah Cakra, Desa Deli Tua, Kecamatan Namorambe. Berita Deli Serdang, red

- Advertisement -

Berita Terkini