Gibran Cawapres, Suka Tidak Suka Harus Diterima Sebagai Realita Politik

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

by Agung Wibawanto

Mudanews.com – Terjawab sudah pertanyaan besar publik yang tersaji melalui drama politik beberapa hari belakangan ini. Yakni Gibran menjadi bakal Cawapres Prabowo di kontestasi Pilpres 2024. Tidak ada yang salah dengan peristiwa tersebut, dalam arti tidak ada aturan hukum yang dilanggar. Hanya saja banyak “sensasi” dan perdebatan yang tersaji dalam drama tersebut.

Saya sudah mengulas beberapa sensasi mulai dari Jokowi yang terlalu “baik hati” kepada orang yang sesungguhnya sudah dia “pangku”, yakni Prabowo dan Budi Arie (Projo). Kenapa saya sebut dipangku, Prabowo karena jelas sebelumnya dia adalah lawan Jokowi dua periode. Sedangkan Budi Arie merupakan relawan Jokowi yang sempat “ngambek” serta mengancam membubarkan diri saat Prabowo ditarik Jokowi ke kabinet. Sehingga kedua mereka perlu dipangku.

Namun dalam perjalanannya hingga hari ini, Jokowi terkesan terlalu menuruti keinginan mereka. Jika dalam istilah Jawa, sudah dipangku kok ngelunjak? Lihat saja Budi Arie dari Wamen diangkat sebagai menteri, lalu bersama komunitas relawannya melakukan musra memaksa memilih Prabowo sebagai bakal capres dari Projo. Alasannya nama Prabowo menempati urutan pertama disusul Ganjar.

Begitupun hasrat berkuasa Prabowo yang tidak pernah padam, terkesan diakomodir oleh Jokowi (melebihi yang diberikan Jokowi kepada Ganjar). Hingga segala sesuatu yang berbau Jokowi diklaim oleh Prabowo, sampai soal nama koalisi Indonesia Maju dan yang terakhir membajak Gibran untuk dijadikan bacapresnya. Sebelumnya, Gerindra sempat turut mengajuan gugatan uji materi batas usia minimal melalui sidang MK dan dikabulkan.

Cerita yang sudah lewat tersebut tentu membuat banyak pihak yang terluka dan justru bisa dianggap memunculkan sentimen negatif kepada pasangan Prabowo-Gibran nantinya. Efek negatif kepada Jokowi sendiri menjadi kurang baik karena dianggap haus kekuasaan dan sebagainya. Soft landing yang diharapkan Jokowi di akhir jabatannya, bisa berbalik sebagai crash landing.

Banyak pendukung Jokowi sendiri yang kemudian merasa kecewa. Belum lagi ada beberapa nama bacapres Prabowo yang sudah digadang sebelumnya seperti Eric Thohir, Khofifah, Ridwan Kamil harus dikalahkan oleh nama pendatang baru yang mendapat karpet merah. Belum lagi dengan partainya Gibran dan Jokowi sendiri, PDIP. Bagaimana perasaan PDIP? Meninggalkan persoalan konflik psikologi di sana.

Jika awalnya Gibran mengaku loyal, tegak lurus PDIP serta bersedia mengkampanyekan Ganjar, bahkan sudah mendapatan posisi Wali Kota Solo, tapi ternyata dibajak Gerindra dan Gibran pun menyetujui. Masihkah ini disebut hanya strategi bidak catur? Hanya Gibran dan Tuhan yang bisa menjawab. Publik tahunya dari peristiwa yang sudah dipertontonkan.

Kini kita lihat bagaimana peluang pasangan Prabowo-Gibran sendiri. Dilihat dari personal atau figur, pasangan ini bisa dikatakan bagai langit dan bumi dari segala sisi. Mulai dari usia, karakter, pengalaman dan kompetensi. Bisa saja beralasan komplementer atau melengkapi. Tapi tidak terlalu jauh juga. Gap yang besar akan menyulitkan dalam komunikasi terlebih pengambilan keputusan.

Saya sulit membayangkan dwi tunggal yang sangat berbeda profilnya ini akan memimpin bangsa besar seperti Indonesia. Banyak yang menduga langkah ini sebagai batu loncatan Gibran saja, karena jika menang, dipastikan Gibran sebagai wapres tidak akan ngapa-ngapain, kalah dominan ketimbang Prabowo. Barulah di 2029 Gibran akan tampil sebagai capres didukung koalisi Indonesia Maju. Itu spekulasi target Gibran.

Bagaimana jika pasangan ini kalah? Dalam UU Pemilu, bagi kepala.daerah aktif yang akan menjadi peserta pemilu diharuskan mundur dari jabatannya. Peserta pemilu yang dimaksud selama ini adalah sebagai caleg, bukan capres ataupun cawapres. Namun merujuk dari ketentuan presiden yang akan mencalonkan diri pada periode keduanya tidak diharuskan mengundurkan diri, maka kemungkinan Gibran juga tidak harus mengundurkan diri sebagai Wali Kota Solo.

Dia cukup mengajukan izin kepada Presiden sebagai kelengkapan persyaratan pendaftaran ke KPU, lalu pada saat kampanye mengajukan cuti. Hal yang pasti, jika Gibran tidak mundur sebagai Wali Kota Solo dan kemudian kalah pilpres, maka ia bisa menjabat kembali hingga tahun 2026. Hanya saja, dipastikan Gibran sudah bukan kader PDIP lagi. Suasana kebathinan di Solo seperti itu tentu sangat berbeda dengan sebelumnya.

Sepertinya Gibran akan mengalami penurunan legitimasi sebagian besar pemilih Gibran yang berasal dari PDIP. Karena juga seperti yang disampaikan ayahnya sendiri, presiden Jokowi, pekerjaan apapun itu dan dimanapun, yang utama adalah (membangun) trust. Jika kepercayaan bisa didapat, maka tujuan ke depan akan semakin mudah. Tapi jika trust itu hilang, membangunnya kembali tidak akan mudah.

Mungkin butuh waktu yang sangat lama. Itulah pertaruhan hidup terutama di dunia politik. Terakhir, mengutip yang dikatakan Mahfud MD bahwa keputusan MK final dan mengikat, suka tidak suka. Jujur saya tidak suka dengan pilihan politik Gibran ini, tapi bagaimanapun harus diterima sebagai realita dan fakta politik, sepanjang tidak ada pelanggaran hukum di dalamnya.

Yang saya anggap ideal dan elegan itu jika Gibran tidak terburu-buru ikut kontestasi pilpres. Mungkin masih bisa belajar menyelami dunia politik dengan menjabat Wali Kota ataupun Gubernur hingga 2034 barulah ikut Pilpres. Dan tetap loyal kepada partainya (seperti ayahnya, Jokowi). Itu lebih rasional dan dapat diterima semua kalangan. Semua orang akan lebih respek dan nama baik Jokowi pun tetap terjaga. Tabik.

- Advertisement -

Berita Terkini