Black Campaign, Indikator Rusaknya Moral Dalam Berdemokrasi

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM, OPINI – Pemilihan Umum (Pemilu) sebagai ajang pesta demokrasi 5 tahunan akan digelar pada 14 Februari tahun 2024 mendatang. Keputusan ini ditetapkan berdasarkan Rapat dengar pendapat DPR RI bersama pemerintah dan penyelenggara pemilu pada 24 januari 2022 lalu. Dengan demikian, tahap demi tahap persiapan pemilu sudah bisa dilakukan. Dalam pemilihan umum nanti, masyarakat akan memilih presiden dan wakil presiden serta anggota legislatif (DPD RI, DPR RI, DPRD Provinsi, dan DPRD kabupaten / Kota).

Ajang pemilihan umum ini menjadi kesempatan berharga bagi masyarakat untuk memilih pemimpin pilihannya secara langsung, dengan datang mencoblos ke Tempat Pemungutan Suara (TPS). Pemilihan umum ini sudah dimulai sejak tahun 1955 dengan sistem proporsional. Maksudnya, kursi yang tersedia dibagikan kepada partai politik (organisasi peserta pemilu) sesuai dengan imbangan perolehan suara yang didapat oleh partai politik itu. Hingga 2019 lalu, pemilu dilaksanakan secara langsung. Masyarakat dilibatkan langsung dalam memilih pemimpinnya.

Menjelang hari H pelaksanaan pemilu, situasi perpolitikan disuatu negara biasanya berlangsung hangat. Tak terkecuali Indonesia. Menjelang 14 Februari 2024, pemberitaan mengenai siapa bakal calon yang akan maju, diususng oleh partai mana, serta koalisi seprti apa yang akan dibentuk sudah ramai terdengar. Tentu ini tidak menjadi masalah. Ini menandakan bahwa euforia pesta demokrasi itu akan berlangsung dengan meriah. Kemeriahan ini, bukan hanya dirasakan oleh peserta pemilu, tetapi juga masyarakat sebagai pemilih.

Promosi (Kampanye) calon presiden dan wakil presiden, serta calon anggota legislatif akan masif kita lihat. Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum menyatakan bahwa kampaye pemilu adalah kegiatan peserta pemilu atau pihak lain yang ditunjuk oleh peserta pemilu untu meyakinkan pemilih dengan menawarkan visi, misi, program dan/atau citra diri peserta pemilu. Kampanye biasa dilakuakan melalui media poster, baliho, spanduk, banner maupun menggunakan media sosial (Facebok, Instagram, Twitter dan sebagainya). Setiap pendukung akan menampilkan kelebihan dan prestasi dari calon yang didukungnya. Serta membuat alat peraga yang unik dan menarik sehingga mejadi pusat perhatian khalayak ramai. Proses ini tentu harus dilakukan dengan baik dan sportif, bukan dengan Kampanye Hitam (Black Campaign).

Black Campaign atau biasa disebut kampanye hitam merupakan kegiatan menuduh pasangan calon atau kelompok lawan politik dengan tuduhan palsu atau belum terbukti kebenarannya atau melalui hal-hal yang tidak relevan terkait kapasitasnya sebagai pemimpin. Seorang politisi atau simpatisan biasanya menggunakan isu SARA (Suku, Agama, Ras dan Adat) dalam menjatuhkan lawan politiknya. Dengan tujuan untuk menaikkan elektabilitas dari calon yang didukung, dan menjatuhkan reputasi dari lawan politiknya. Setiap perhelatan pesta demokrasi, black campaign selalu mejadi bahan diskusi dan kajian. Seolah ini sudah menjadi budaya dalam dunia perpolitikan.

Aksi Black Campaign ini dilakukan dengan berbagai motif. Seperti, membuat sebaran dalam bentuk poster, pamflet dan sebagainya yang berisikan tuduhan palsu terhadap lawan politik. Kemudian, menggunakan media sosial karena media sosial ini menjadi media penyebar informasi yang masif digunakan hari ini. Aksi-aksi seperti ini tentu merusak moral dalam tatanan demokrasi kita. Menggunakan kebebasan berpendapat diruang publik dengan merugikan orang lain.

Indonesia adalah negara demokrasi, yang artinya rakyatnya memiliki kebebasan menyatakan pendapat dimuka umum. Namun demikian, kebebasan yang dimiliki harus dibentengi dengan norma-norma yang berlaku. Seperti norma agama dan sopan santun. Setiap tindakan yang dilakukan tidak dibenarkan jika itu merugikan orang lain, termasuk dalam berkampanye. Ketika kampanye hitam ini dilakukan, akan banyak persoalan yang ditimbulkan, seperti terjadinya perpecahan ditengah masyarakat. Sehingga indahnya nilai-nilai demokrasi tidak akan dirasakan.

Untuk meminimalisir aksi Black Campaign ini tentu banyak hal yang dilakukan. Pendidikan politik kepada masyarakat umum misalnya. Pendidikan politik kepada masyarakat awam sangat penting dilakukan. Berpolitik bukan hanya sekedar datang ke TPS untuk mencoblos. Tetapi lebih daripada itu. Masyarakat harus memiliki kecerdasan, literasi politik harus dimiliki oleh masyarakat banyak. KPU dan stackholder yang lain sebagai penyelenggara pemilu harus memberikan edukasi kepada masyarakat, bagaimana bersikap dan bertindak dalam ajang pesta demokrasi kali ini. sehingga masyarakat tidak salah langkah dalam menghadapi pesta demokrasi ini.

Selain itu, masyarakat harus cerdas berteknologi. Melihat perkembangan teknologi yang sangat masif hari ini. Masyarakat dengan sangat mudah untuk mengakses berbagai informasi, baik melalui media cetak maupun elektronik. Informasi yang beredar dalam berbagai media kadang tidak semua bisa dibuktikan kebenarannya. Yang menjadi perhatian terbesar hari ini adalah berita Hoaks (berita bohong). Penyebaran berita Hoaks yang masif hari ini sangat memberikan efek negatif pada perhelatan pesta demokrasi kita. Banyak pihak yang dirugikan ketika informasi-informasi bohong itu terus berkembang. Dengan literasi digital yang baik ditengah-tengah masyarakat, maka penyebaran berita Hoaks sebagai bentuk black campaign akan terhindar. Peran generasi muda yang melek akan teknologi sangat dibutuhkan untuk memutus mata rantai penyebaran Hoaks ini.

Terlepas dari begitu banyak persoalan yang terjadi dalam menghadapi pesta demokrasi ini, tentu kita sebagai generasi muda yang terdidik berusaha untuk meminimalisir terjadinya persoalan tersebut. Kita tentu berharap, perhelatan akbar 5 tahunan ini berjalan dengan lancar dan damai. Sehingga menghasilkan pemimpin yang berkualitas untuk bangsa Indonesia dimasa yang akan datang.

Penulis : Zulfadli Akbar
Penulis adalah Anggota Biasa HmI Cabang Padang)

- Advertisement -

Berita Terkini