Karir Perempuan di Antara Sindrom dan Stereotip

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Jika kamu adalah seorang perempuan muda yang energik dan punya cita-cita tinggi ingin berkarir. Pernah enggak sih kamu merasa jika hubungan yang sedang kamu jalani sebenarnya jadi penghambat untuk kamu berkembang. Oleh karena pasanganmu membatasi ruang gerakmu. Ia menjadi amat over protectif, dan itu semua doi lakukan dengan motif tidak mau jika suatu hal yang tidak diinginkan serta membahayakan akan menimpamu?

Situasi hubungan romantika yang cenderung mengekang pasangan, jelas tidak memakai prinsip tumbuh bersama. Perkara tersebut dikenal dengan istilah toxic relationship. Berwalang hati berlebihan pada pasangan malah membuat hubungan tidak harmonis dan mematikan potensi kreatif orang yang kita cintai.

Tidak sedikit orang yang masih kukuh memandang perempuan sebagai figur yang lemah, bahkan pada kebanyakan kasus kekerasan terhadap perempuan, kesan masyarakat bahkan menyalahkan korban, dan tentu korbannya selalu perempuan.

Streotip sosok lemah dan rentan yang dilekatkan pada perempuan sudah pasti menjadi beban psikologis bagi perempuan dalam beraktifitas di ranah sosial.

Kekerasan terhadap perempuan memang banyak terjadi, bahkan di lingkungan pendidikan sekalipun. Salah satu rilisan Media IDN TIMES 28 Desember 2021”Kaleidoskop 2021: 18 Kasus Kekerasan Seksual di Dunia Pendidikan”.

Banyaknya kasus kekerasan terhadap perempuan tidak boleh menjadi pembenaran untuk menghalangi perempuan meraih cita-cita dan mengaktualkan potensi dirinya. Hal itu malah membuat kita secara tidak langsung telah ikut serta dalam mengucilkan peran dan tidak memberi kesempatan seorang manusia untuk berkembang hanya karena ia adalah seorang perempuan. Pola pikir yang belum berkembang menilai perempuan adalah sosok yang hanya tepat untuk beraktifitas di rumah, mengurus suami, merawat anak dan menghabiskan waktunya di dapur juga sumur sepanjang waktu.

Hari ini, produktifitas seorang pekerja tidak lagi dipengaruhi oleh jenis kelamin. Disebabkan jenis pekerjaan sudah semakin banyak dan alat produksi yang juga lebih canggih. Di era pertanian kuno barangkali pandangan tersebut masih agak sedikit relevan, itu juga tidak tepat sepenuhnya.

Kita bisa melihat langsung ada banyak perempuan di luar sana yang bekerja, menanggung kebutuhan keluarga dan membangun karirnya.

Stereotip ketinggalan zaman seperti itu jika dibiarkan tentunya akan menghambat para perempuan untuk berkembang dan meraih karir serta cita-cita yang diinginkan. Namun apakah hambatan yang menghalangi perempuan selalu datang dari luar dirinya?

Tentu tidak semua perempuan memililki karakter progresif dan berkeinginan kuat membangun karir serta menjadi sosok tangguh yang mandiri. Di luar sana juga terdapat tidak sedikit perempuan yang seperti menyerah saja dengan hidupnya. Kamu barangkali pernah melihat story whatsApp atau unggahan di instagram seperti “adek susah, pengen nikah aja”, yang diposting teman sosial mediamu yang juga seorang perempuan.

Jadi, selain stereotip lemah dan rentan yang dilekatkan masyarakat pada sosok perempuan. Asumsi, cara pandang dan penilaian seorang perempuan terhadap dirinya juga sangat mempengaruhi bagaimana ia menunjang karir dan membawa dirinya dalam lingkungan sosial.

Fenomena psikologi seperti itu jadi sebab yang membentuk pola perilaku perempuan tampil sebagai sosok yang tidak mandiri. Pola perilaku tersebut oleh Collete Dowling (1981) sebut dengan “Cinderella Complex Syndrom”.

Cinderella Complex sendiri bukan penyakit mental, istilah tersebut dipakai untuk menggambarkan pola perilaku tertentu yang didorong oleh kebiasaan.

Seperti dalam kisah Cinderella yang kita tahu melalui film animasi, dan juga dari buku- buku dongeng. Kisah tersebut menceritakan seorang perempuan cantik dan lemah yang tidak mampu keluar dari masalah hidupnya sampai akhirnya datang seorang pangeran gagah dan kaya raya menyelematkan dan mengangkat derajat sosialnya.

Meskipun tidak semua, tapi kebanyakan dari perempuan memang berpikir demikian, mensubordinasi diri serta mengaminkan stigma seorang perempuan sebagai makhluk yang lemah dan rentan.

Cinderella Complex membuat perempuan jadi tidak mandiri. Bahkan penilaian terhadap diri dan hidupnya digantungkan pada sosok pelindung yakni pasangan. Perempuan tidak menjadi pelaku aktif dalam mengambil peran yang penting untuk diri dan kehidupan sosialnya. Sebab dalam konsep Cinderella Complex, perempuan hanya menunggu datangnya seorang pria penyelamat untuk mengambil alih kendali atas hidupnya. Jadi perempuan tinggal menunggu saja dengan pasif untuk diselamatkan lalu menikmati hidup bahagia cukup dengan berdiri di belakang pasangannya.

Jika kamu saat ini terbiasa dan nyaman menjadi perempuan yang pasif. Sangat mungkin kamu telah mengidap Cinderella Complex. Maka dari itu untuk terbebas dari pola perilaku itu, kamu mesti mampu memotivasi diri dan berani mengambil tindakan sendiri dalam situasi apapun.

Namun hal paling pertama yang harus kamu lakukan adalah membangun rasa percaya diri. Kepercayaan diri sendiri sangat berkaitan dengan edukasi, meningkatkan kualitas diri merupakan langkah kongkret untuk menjadi figur yang mandiri. Dan yang paling penting, membangun sebuah hubungan dengan lawan jenis tidak hanya tentang menye- menye, tapi lebih dari itu adalah menemukan sosok yang mendukungmu menjadi orang yang terus berkembang menjadi lebih baik.

Oleh : Andhiyani Muhadi
Sekretaris MMI

- Advertisement -

Berita Terkini