Konflik Ukraina: Perang Putin Lawan Pengecut Barat

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM, Opini – Mengamati perang di Ukrainia sangat menarik. Rusia menampilkan strategi baik retorik, maupun aksi nyata. Barat (NATO) adalah aliansi para perusuh. Hanya gertak sambal. Terkait konflik Ukraina, yang dikedepankan Barat adalah retorika kosong, mengancam, dan penerapan sanksi ekonomi.

Pengalaman panjang Rusia sejak Perang Dunia I, Perang Dunia II, menjadi catatan tentang kekuatan Rusia. Revolusi Bolsheviki adalah reaksi terhadap tekanan Eropa. PD II menunjukkan patriotisme Rusia, ketika Jerman dihabisi Rusia, meski dengan korban jutaan warga Rusia. Konflik Afghanistan berakhir karena hancurnya USSR, Uni Soviet.

Amerika Serikat menyerang Vietnam, kalah. Di Somalia tentara Amerika dihancurkan oleh milisi pimpinan Farah Aideed. Dalam perang 18 jam di Mogadishu, 18 tentara AS dan dua tentara PBB tewas serta 73 orang luka-luka. Dua helikopter Black Hawk rontok dihancurkan oleh roket milisi. Operasi gagal total. Pasukan AS ditarik dari Mogadishu.

Perang di Irak juga hanya menghasilkan ISIS –yang didukung oleh AS. ISIS dihajar oleh Rusia. Suriah gagal dihancurkan oleh Turki dan AS. Hasilnya? Bashar Al Assad tetap berkuasa. Para teroris dan ISIS masih bercokol di beberapa kota di Suriah. Namun, kedatangan pasukan Rusia membuat pemerintahan Assad tetap berdiri kokoh.

Kedatangan pasukan Rusia di Venezuela juga menguatkan Presiden Maduro. Preteks AS untuk menghancurkan Presiden Maduro gagal total. Karena Rusia bercokol dan membantu Maduro. AS hanya pernah menang perang melawan Grenada, dengan 7,600 pasukan, melawan para rangers (bukan tentara) pada 25 Oktober 1983.

Serangan ke Grenada untuk menutupi pemboman Barak Marinir AS di Beirut yang menewaskan 241 tentara AS. Serangan ini pembalasan akibat campur tangan Israel dan AS yang melakukan pembantaian di Sabra dan Shatila yang menewaskan 400 orang pengungsi Palestina, yang bercampur dengan milisi PLO pada 16-18 September 1982.

Vladimir Putin, mantan agen KGB, paham betul perilaku AS dan NATO. Ketika Rusia turun langsung, maka AS akan lingkang-pukang kalah. Paling akhir adalah Libya. Sejumlah 7,000 paramiliter bayaran asal Rusia, mendukung pembelot anak didik AS Khalifa Haftar. Pemilu Presiden Libya Desember 2021 pun gagal dilaksanakan karena kemungkinan Haftar akan menang. Karena AS dan Barat takut Khalifa menang.

Politik Putin adalah politik strategi memahami kelemahan politik retorika AS. Putin dengan entengnya memainkan politik-perang retorika, dengan ditindaklanjuti strategi menang perang.

Di mata Putin, AS dan Barat hanya akan menerapkan sanksi ekonomi ketika terdesak. Secara militer AS tidak akan pernah berani head-to-head melawan Rusia. AS hanya menang perang di film Hollywood. Lawan Vietnam kalah telak.

Sementara AS hanya strategi perang-retorika tanpa wujud patriotisme perang. Karena pasukan AS kebanyakan hanyalah organ pasukan US Security guards – bukan tentara kombatan. Maka banyak ditemui pasukan AS banyak yang menangis, lari terbirit-birit di Afghanistan, atau nongkrong di barak militer.

Akibatnya, milisi Hizbullah di Beirut dengan mudah, dalam sekali serangan menewaskan 241 pasukan AS yang lagi ngumpet di barak di siang bolong. Banyak orang Indonesia bangga mengira para bekas WNI yang menjadi tentara AS adalah tentara beneran. Bukan. Hanya sekelas anggota cadangan atau satpam.

Retorika politik perang Putin mengadali Biden. Biden berteriak mengancam Rusia, dengan sanksi. Membela Ukrainia, yang dipimpin oleh bekas pelawak Volodymyr Oleksandrovych Zelensky, yang mengira Putin sedang menulis scenario film.

Zelensky tidak paham Putin menulis sejarah di Suriah. Di 2014 Putin mengambil kembali Krimea yang pernah diberikan oleh Uni Soviet pada 1954. AS dan NATO hanya memberikan sanksi ke Rusia. Tidak berani lawan Rusia.

Kini, secara hukum Rusia diminta oleh Donbas (Republik Luganks / Luhanks dan Republik Donetsk) untuk membantu pertahanan dua negara tersebut). Alasan politik Putin membela territorial dua republik Donbas membuat Biden dan NATO, sekaligus pelawak Zelensky kehilangan arah retorika politik.

Sementara Rusia menyerang secara mendadak instalasi militer, bandara Hosmotel dekat Kyiv, dengan dalih melumpuhkan kemampuan militer Ukraina. Rusia mengancurkan 83 target militer di darat, termasuk merebut pangkalan udara Ukraina di luar kota Kyiv.

Biden hanya bisa menyebut serangan Rusia ke Ukraina akan mendapatkan sanksi dan konsekuensi serius, yang sampai detik ini tidak terbukti. AS mengirimkan 7000 tentara ke Jerman, bukan ke Ukraina. Dipastikan tentara NATO tidak akan dikirim ke Ukraina.

Pada saat yang bersamaan pasukan pemberontak di dua republik mengusir tentara Ukraina. Penduduk Kharkiv berlindung di metro bawah tanah menghindari jadi korban pemboman Rusia, yang telah menewaskan 57 orang. Kanselir Jerman Olaf Scholz menyerukan agar perang di Ukraina tidak melebar. Presiden Prancis Macron menyerukan Putin mengakhiri perang.

Praktis Ukraina ditinggalan sendirian, Zelensky memohon Barat dan Dunia membantu. Namun, senyatanya Ukraina akan mendapatkan serangan lanjutan untuk melumpuhkan seluruh kekuatan militer Ukraina. Retorika Zelensky yang merasa akan didukung NATO tidak terbukti; tentu menghancurkan moral rakyat Ukraina.

Bisa jadi Rusia akan mengenyahkan Zelensky yang bisa jadi akan kabur ke Eropa Barat jika pasukan NATO tidak masuk ke Ukrainia; yang akan menghindari kontak langsung dengan pasukan AS. NATO pun tidak akan berani menyerang Rusia. Perhitungan Putin mengatasi retorika NATO, Biden, Macron, Boris Johnson, dan negara seuplik Singapura (yang suatu saat nanti akan dihapus petanya ketika Indonesia menjadi kuat). Hal yang sangat ditakuti oleh AS dan Barat.

Oleh: Ninoy Karundeng

Artikulli paraprak
Artikulli tjetër
- Advertisement -

Berita Terkini