“Nama Jalan”

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Opini seputar rencana penetapan nama Mustafa Kemal Attarruk, sebagai salah satu nama jalan di Ibukota Negara Indonesia marak diperbincangkan. Pro-kontra muncul bukan karena sikap politik umat Islam Indonesia yang berseberangan dengan sikap politik Rejep Tayyib Erdogan, yang konon pemerintahannya yang meminta nama itu dipasang sebagai imbal balik penggunaan nama Sukarno sebagai nama jalan di negaranya.

Kontroversi timbul karena “sisi gelap” dari sosok Mustafa Kemal saat berkuasa. “Sisi gelap” ini tidak usah dibahas panjang lebar, karena sudah jadi pengetahuan umum, misalnya; bahwa jasadnya itu waktu meninggal baunya busuk sekali, dan para pengusung keranda mayatnya seperti yang terlihat pada hari pemakamannya itu mesti mengenakan masker karena bau busuk yang menyengat itu.

Videonya banyak di youtube silahkan searching supaya catatan ini tidak perlu panjang-panjang membahas “sisi gelap” itu.

Kembali kepada “nama jalan”.

Kata orang, apa sih arti sebuah nama? Nama atau “ism” menurut para ahli filologi adalah sebuah “ungkapan untuk menyampaikan pengetahuan, (tentang sesuatu) yang diterapkan untuk menunjukkan sebuah substansi (zat), atau aksiden, atau sifat, dalam rangka mengenali/melakukan perbedaan (distingsi) lihat misalnya (Lane IV, h. 1435).

Secara terminologi filsafat disebut “konsep”. Sehingga “nama” menunjukkan kemampuan manusia menyusun defenisi secara logis dan karena itu juga menunjukkan kemampuan manusia untuk menyusun pemikiran konseptual.

Demikianlah arti dari sebuah “nama”. Sehingga menetapkan nama Mustafa Kemal Attaaruk menjadi nama jalan di Ibukota Negara atau dimanapun di republik ini, tentu secara sadar telah meletakkan sebuah konsep, telah menyampaikan sebuah pengetahuan tentang zat (yang bau busuk waktu), atau sebuah aksiden tentang “sisi gelap” atau sifat dari totalitarianisme politik Mustafa Kemal saat berkuasa.

Dengan begitu, siapapun yang menyetujui penggunaan nama itu sebagai nama jalan, mesti dipahami sebagai memiliki kesukaan terhadap karakter dari Mustafa Kemal itu.

Memang ini ujian bagi pihak manapun yang terkait untuk berani mengatakan Tidak!! Bahwa kemudian akibatnya nama Sukarno di Turki juga ditiadakan sebagai nama jalan, (jika itu terjadi), ya tidak masalah. Tapi saya kira itu tidak akan terjadi.

Penolakan terhadap sisi gelap Mustafa Kemal, bukan berarti menolak permintaan pemerintah Turki untuk hadirnya nama pahlawan negeri mereka sebagai nama jalan. Banyak nama lain yang bisa menggantikan nama Mustafa Kemal itu, antara lain Sultan Mehmet, atau Sultan Salahuddin Al-Ayyubi sang penakluk Yerussalem.

Saya kira banyak yang bergembira bila nama Sultan Salahuddin Al-Ayyubi itu yang digunakan nama jalan. Karena ada aksioma, ada aksiden yang memiliki sisi positif yang baik untuk diteladani.

Ingat bahwa waktu Sultan Salahuddin al-Ayyubi itu menaklukkan Yerussalem sama sekali tidak terjadi perlakuan buruk terhadap Yahudi dan Nasrani, bahkan pada masa itulah bersemainya hubungan baik agama Islam, Yahudi dan Kristen di Palestina. Pelajaran itu bukankah baik dan positif?

Tentu juga ada pandangan bahwa Sultan Salahuddin Al-Ayyubi itu pengagum Rasulullah Muhammad SAW, dan suka bikin acara Maulid.

Oleh : Hasanuddin
Ketua Umum PB HMI 2003-2005

- Advertisement -

Berita Terkini