PPKM vis a vis CIVIL DISOBEDIENCE

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – “Kalau aku tidak mau, kalian mau apa?”, tantang Rakesh kepada petugas saat razia pengetatan PPKM mendatangi warung miliknya di jalan Gatot Subroto Medan. Rakesh melawan petugas yang menyampaikan pembatasan jam operasional.

“Saya nggak mau ikutin peraturan pemerintah. Aku nggak mau terima surat-surat itu,” ucap Rakesh menolak surat edaran dari pemerintah tentang PPKM.

Di Surabaya, warga menyerang petugas Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat. Mobil patroli dilempari, dirusak.

Petugas gabungan kerap menghadapi perlawanan pelaku usaha baik pedagang maupun pemilik UMKM kala menegakkan aturan PPKM darurat. Sosiolog Universitas Udayana Wahyu Budi Nugroho menilai perlawanan pedagang tersebut dilakukan karena situasi yang mereka hadapi saat ini.

Secara sosiologis, itu disebut sebagai penyimpangan situasional. Penyimpangan atau pelanggaran akibat desakan situasi dan kondisi tertentu. Pelanggaran akibat keterpaksaan menurut Wahyu.

Tindakan melawan aturan seperti yang terjadi di Medan, Surabaya dan daerah lain mulai muncul. Sebenarnya, perlawanan terhadap aturan pemerintah bukan hal yang baru. Hanya saja objek dan bentuk perlawanannya berbeda-beda.

Pemerintah sudah menyampaikan bahwa kebijakan PPKM ini bertujuan untuk menekan angka penyebaran Covid-19. Tapi kenapa kebijakan itu mendapat perlawanan? Khususnya dari pedagang dan pelaku UMKM. Mengapa juga masih ada yang tidak mau divaksin Covid-19?

Ada banyak faktor penyebabnya. Masih banyak masyarakat yang “tidak percaya” Covid-19 itu ada. Atau menilai bahwa wabah ini hanya konspirasi elite global.

Kelompok lainnya percaya Covid-19 tapi tetap melawan. Faktor keterpaksaan kalau menurut Sosiolog. Seperti kata Rakesh; “mau makan apa istri dan anakku yang lima orang itu kalau warungku tutup?”

Belum lagi kelompok yang “diam-diam” masih terbawa suasana politik Pilpres lalu. Atau kelompok “pemenang” yang kecewa karena tidak mendapatkan keinginannya.
Ada banyak cara publik melawan. Ada netizen yang mempublikasi rekaman video perlawanan Rakesh itu di media sosial. Mereka merasa terwakili. “Rakesh adalah kita”, begitu mereka mengamini sikap Rakesh. Tidak berani melawan langsung.

Sebelum ini, pembangkangan sosial juga terjadi saat Undang-undang Omnibus Law ditawarkan dan diketuk DPR.

Berbeda dengan polemik UU Omnibus Law, polemik kebijakan penangan Covid-19 ini sangat panjang; menahun. Kondisi ini berbahaya. Di tengah kita perang terhadap Covid-19, di situ pula ketidakpercayaan publik terhadap Covid-19 dan penangan pemerintah banyak dipertanyakan.

Arus informasi semakin kencang dan dan banyak pintunya. Selain televisi dan media cetak, informasi mengalir masuk dari telepon genggam, dari media sosial. Banyak informasi provokatif bebas sebar.

Masyarakat bimbang dan kebingungan. Susah bagi awam membedakan informasi benar dan palsu. Belum lagi pembahasan-pembahasan dan informasi di warung-warung kopi. Tumpang tindih.

Apalagi ternyata masyarakat lebih banyak yang menginginkan agar pemerintah menghentikan kebijakan PSBB maupun PPKM darurat. Demikian temuan dari hasil survey Lembaga Survey Indonesia. Survey tersebut dilakukan pada 20-25 Juni 2021 dan dipaparkan Direktur Eksekutif LSI Djayadi Hanan 18 Juli lalu.

LSI merilis temuan; 57,1 persen masyarakat merasa PSBB sudah cukup dan bisa dihentikan agar ekonomi segera jalan.

Tercatat, ada 57 persen responden yang meminta pemerintah menghentikan kebijakan PSBB dan hanya 38,8 persen responden yang menilai sebaiknya PSBB dilanjutkan agar penyebaran virus Covid-19 bisa diatasi.

Kemudian, 55 persen responsen kurang bersedia divaksin dengan alasan takut efek samping (tidak aman). Walaupun 68,6 persen percaya bahwa vaksin Covid-19 mampu mencegah penularan.

Menengok Musabab Pembangkangan Sipil

Istilah pembangkangan sipil (civil disobedience) dikemukakan oleh Henry David Thoreau (12 Juli 1817 – 6 Mei 1862). Filsuf Amerika itu terkenal dengan esainya yang berjudul “ketidaktaatan sipil” (civil disobedience). Sebuah argumen untuk ketidaktaatan kepada keadaan tidak adil. Judul aslinya “perlawanan terhadap pemerintah sipil” (resistance to civil government) yang ditulis pada 1848.

Di dalam esainya, Thoreau menekankan, individu tidak boleh mengizinkan pemerintah untuk mengesampingkan atau menghilangkan hati nurani mereka. Oleh karenanya mereka memiliki kewajiban untuk menghindari pemberian persetujuan semacam itu, untuk memungkinkan pemerintah menjadikan mereka agen ketidakadilan.

Agak berbeda dengan Thoreau, John Rawls, dosen Universias Harvard dalam tulisannya tahun 1971 mendefisikian pembangkangan sosial sebagai gerakan tanpa kekerasan dan dilakukan dengan hati-hati dengan tujuan untuk membawa perubahan dalam hukum atau kebijakan pemerintah.

Menurut Rawls, pembangkangan publik adalah gerakan yang dilakukan oleh warga secara terorganisasi, yang bisa jadi melawan hukum, dan digunakan untuk mengoreksi hukum atau kebijakan publik. Defenisi ini diklaim sebagai defenisi yang lebih diterima secara luas.

Dari Thoreau dan Rawls di atas, kita menyimpulkan bahwa pembangkangan sipil lahir dari kumpulan keresahan yang sama dalam kelompok masyarakat. Ketika keadaan tidak sesuai harapan, orang akan berusaha untuk melakukan perubahan.

Seperti kata Heraclitus pada abad ke-5 SM; “Everything flows and nothing stays”. Semuanya mengalir dan tidak ada yang tetap. Begitulah kira-kira hukum yang berlaku secara universal di dunia ini. Perubahan adalah keniscayaan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Segala aspek kehidupan manusia tidak pernah bisa mengelak dari hukum perubahan ini.

Kembali ke persoalan gejala pembangkangan sipil terhadap kebijakan PPKM Darurat, ini harus jadi perhatian serius.

Pemerintah harus ambil sikap hati-hati. Semua tentu menginginkan perubahan. Hidup yang lebih baik, tenang, damai, tenteram, adil makmur.

Kita bisa merasakan suasana kebatinan pemerintah. Dihadapkan pada dilema. Bagaimana menyiasati percepatan penanganan Covid-19 sekaligus pemulihan ekonomi nasional.

Begitu juga pemerintah, mesti menyelami kegundahan masyarakat yang berjuang mencari nafkah di tengah himpitan ekonomi efek pandemi. Mesti menemukenali kesusahan rakyatnya. Merangkul bukan memukul.

Kita semua, pemerintah dan masyarakat, harus bergandeng tangan. Berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah.

Sikap sebagian masyarakat yang membangkang dengan kebijakan pemerintah harus dimaknai sebagai masukan untuk bahan evaluasi dan proyeksi.

Para elite, tokoh masyarakat, pemangku kebijakan, pemuda, mahasiswa, buruh, tani, nelayan, pengusaha, pedagang kecil dan seluruh lapisan masyarakat juga harus mawas diri. Jangan sampai terpancing dan terlibat dalam tindak kekerasan. Suasana ini harus dihadapi dengan kepala dingin.

Semua pihak harus menciptakan kondisi aman dan nyaman. Pemerintah harus memastikan masyarakat diperlakukan dengan adil.

Kita semua tidak menginginkan kerusuhan (chaos) akibat wabah ini. Jika kerusuhan terjadi, kita semua kalah. Kita semua rugi.

Gejala pembangkangan sosial ini masalah serius. Negara harus jeli. Kita semua harus waspada. Jangan sampai “pemain samping” memanfaatkan situasi ini untuk kepentingan yang tidak baik.

Oleh : Samsir Pohan
Medan, 19 Juli 2021

- Advertisement -

Berita Terkini