Ken Setiawan: Pengusung Khilafah Ala Hizbut Tahrir Hanya Bualan dan Ilusi Kaum Khilaf

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM, Jakarta – Pendiri Negara Islam Indonesia (NII) Crisis Center Ken Setiawan mengatakan bahwa para pengusung khilafah telah terjebak pada romantisme sejarah, mereka menjadikan doktrin khilafah sebagai solusi satu-satunya dalam merespons modernitas.

“Mereka bermimpi jika khilafah tegak di Indonesia maka akan tercipta kondisi aman dan kondusif, pendidikan dan kesehatan gratis, tidak ada riba dan tidak ada maksiat, mereka katanya melindungi pemeluk agama lain dll, walaupun faktanya, pengasong khilafah saat ini pakai bank riba dan jangankan yang beda agama, yang satu agama saja dikafirkan bila berbeda paham,” kata Ken pada Kamis (20/5/2021).

Bagi Ken, para pengusungnya tak lebih hanya kelompok para pengkhayal ulung, bualan dan ilusi kaum khilaf yang sikap dan tindakannya selalu melangit.

“Para pengusung khilafah ingin menghidupkan sistem politik masa lalu yang diklaim sebagai sistem politik Islam, datang dari Tuhan, dan solusi satu-satunya. Mereka dengan lantang mengatakan bahwa Islam di bawah naungan khilafah Islamaiyah berada pada masa keemasan,” sambungnya.

Dilanjutkan Ken, klaim keemasan Islam itu ternyata hanya dijadikan slogan semata, tanpa diiringi dengan usaha dan kerja-sama dan dialog dengan budaya/peradaban lain. Yang terjadi justru malah sibuk mengasingkan diri sendiri dari putaran kemajuan dunia.

“Romantisme sejarah adalah ilusi paling besar dari gerakan khilafah. Hidup di masa sekarang tetapi diukur dengan ribuan tahun masa lalu. Selain faktor historisitas yang bermasalah, setidaknya ada dua faktor lagi yang membuat gagasan khilafah menjadi ilusi besar, yakni faktor doktrin dan aktualitas,” jelas Ken.

Para pengusung khilafah selalu mengatakan bahwa dalam nash ada anjuran untuk mengikuti satu sistem politik Islam yang disebut khilafah. Tetapi ketika ditanya, ujar Ken, mana dari nash itu yang menyatakan demikian, tidak ada jawaban sama sekali.

“Paling banter, disodorkan dalil tentang ke-khalifah-an manusia. Tentu ini bertolak belakang, sebab doktrin kekhalifahan manusia bukan berarti menunjukkan bawah khilafah –sebaimana digagas kaum HT—adalah suatu kewajiban. Keduanya sangat berbeda,” ujarnya.

Dalam konteks aktualitas, para pengusung khilafah menjadi manusia pengkhayal besar. Mereka seolah-olah hidup di satu wilayah yang tidak tersentuh oleh dinamika sejarah. Dinamika itu adalah kenyataan bahwa sejarah itu bergerak ke depan. Termasuk di dalamnya sistem politiknya.

“Era sekarang tentu harus menggunakan sistem politik kekinian yang sesuai dengan masanya. Bukan malah menarik masa kini untuk masuk ke dalam masa lalu –yang masa lalu itu belum tentu lebih baik dari sistem politik masa kini,” lanjutnya.

Selain itu, sambungnya, dalam aktualisasinya para pengusung khilafah itu tidak bisa membedakan mana wasilah (sarana) dan mana gayah (tujuan). Bagi mereka khilafah adalah keduanya sekaligus. Padahal dalam sejaranyah, khilafah tak lain hanyalah wasilah, alat untuk mencapai kesejahteraan dan kemaslahatan manusia (gayah).

Menurut Ken, agar kita keluar dari kotak ideologi sejarah yang membelenggu, kita perlu mengadopsi sejarah apa adanya, sejarah yang penuh dengan dinamika, kompleksitas, dan bukan hitam putih.

Sejarah bukanlah lembaran kertas putih nan indah yang tidak ada cacat, sejarah khilafah juga penuh dengan pertikaian, perang berdarah darah, saling menjatuhkan, sejarah tidak seindah yang imajinasikan oleh para pengusung Hizbut Tahrir dan tidak secantik yang dinarasikan juru kampanyenya.

“Sejarah khilafah bukanlah sejarah malaikat tanpa dosa. Ia adalah sejarah manusia, ada khilaf, dosa, cacat, dan kekurangan,” jelas Ken.

Bahkan faktanya negara yang katanya menegakan khilafah justru hancur luluh lantak berantakan seperti negara Suriah, lalu ada negara yang aman damai seperti Libya dengan 90 persen masyarakat yang mendukung dan mencintai presidennya, hanya karena 10 persen masyarakatnya mendukung khilafah dan memberontak, kini Libya porak poranda, kekerasan dimana mana, penjarahan, pembunuhan terjadi hampir setiap hari, bahkan kepastian untuk hidup pun tak ada.

Apakah kita ingin seperti Libya dan Suriah ? Kalau tidak ingin negara kita hancur seperti Suriah dan Libya maka kita yang waras jangan diam, lawan, bentengi keluarga dan lingkungan dari bahaya propaganda pengusung khilafah.

“Mereka itu pemberontak berkedog agama dan akan menggeser konflik yang terjadi di Suriah ke negara kita, mereka akan mensyuriahkan Indonesia,” tutup Ken. (red)

- Advertisement -

Berita Terkini