Kesadaran Kolektif adalah Syarat Perubahan

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Bisa jadi setiap diri yang ber-Islam dan ber-Indonesia pada saat ini berada dalam masa-masa yang dipenuhi dengan fitnah. Fitnah dalam pemaknaan ketidakjelasan antara yang hak dan batil sebagaimana Imam ath-Thabari menafsirkan Q.S. al-Anfal: 73, “Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagaian yang lain, jika kamu (kaum muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi fitnah (ketidakjelasan antara hak dan batil) dan kerusakan yang besar”, atau bisa juga dimaknai dengan cobaan atau ujian sebagaimana diutarakan dalam Q.S. al-‘Ankabut: 2, “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan saja untuk mengatakan: “kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji. Kedua makna di atas relevan dengan kondisi umat Islam Indonesia saat ini.

Tak jarang ketika seseorang menyimak argumentasi yang beredar di media massa –yang kebanyakan online– memuat dua argumentasi yang saling bertolak belakang antara satu pemuka agama dengan pemuka agama lainnya. Keduanya memiliki landasan pikir yang linear dan dalil yang mendukung, sehingga tidak sedikit dari para penyimak terjebak di antara benturan argumentasi mereka.

Penyimak yang merindukan penambahan pengetahuan dan keterbukaan pandangan akhirnya berujung pada kegelisahan tidak disini dan tidak disana. Apakah keadaan ini disebabkan oleh pemuka pertama yang bersalah, atau pemuka kedua yang bersalah atau keadaan penyimak yang memang lemah dalam pemahaman.

Ketika skema penyelesaian masalah dibentangkan dengan mempertanyakan siapa yang salah, maka tidak akan membawa kepada penyelesaian yang diharapkan. Setiap pihak tidak begitu saja akan membiarkan dirinya bersedia dilabeli dengan kesalahan, bahkan sebaliknya setiap pihak akan bertahan untuk menyatakan dirinya berada di wilayah kebenaran. Pada tahapan ini memang teori Konjektur dan Falsifikasi yang disusun oleh Karl Raimund Popper ditunda sejenak untuk digunakan, sama juga halnya dengan teori Dialektika Hegel disimpan dahulu dengan sedemikian rupa.

Lalu apa yang bisa dihadirkan ke permukaan untuk meredam benturan-benturan argumentasi yang berujung kepada ketidakjelasan dan keadaan carut marut. Tentunya tujuan dasariah bersama adalah menghentikan fitnah dengan semangat perubahan.

Perubahan tentunya bukan pekerjaan mudah yang bisa begitu saja terjadi dengan hanya berilusi. Allah telah menjelaskan prinsip utama perubahan melalui firman-Nya di dalam Q.S. ar-Ra’d: 11, “Baginya ada malaikat-malaikat yang mengikutinya secara bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya, dan sekali-kali tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia”.

Allah telah tegaskan bahwa yang memiliki kuasa untuk merubah keadaan umat manusia menjadi baik atau buruk hanya Allah, tidak ada selain Dia yang memiliki kemampuan merubah apa pun. Akan tetapi, Allah dengan kasih sayang-Nya melibatkan manusia ketika Dia memutuskan untuk merubah keadaan sekelompok manusia. Manusia diberi ruang keterlibatan untuk membujuk dan memohon Allah agar berkenan merubah keadaan mereka.

Perkenaan Allah untuk merubah suatu kaum bisa diminta dengan do’a dan beragam ibadah yang telah diajarkan Rasullullah saw. Namun perlu dipahami bahwa kekuatan yang ampuh untuk membujuk Allah agar berkenan merubah keadaan suatu kelompok adalah perubahan dari kelompok itu sendiri. Setiap individu dalam kelompok harus merubah dirinya dari pribadi yang buruk menjadi pribadi yang baik.

Imam al-Baidhawi mengungkapkan bahwa keadaan buruk yang menimpa suatu kaum pada hakikatnya disebabkan keburukan yang bersumber dari kaum tersebut berupa maksiat, perbuatan keji dan kefasikan. Dengan demikian, keadaan buruk yang terjadi menunjukkan bahwa kaum tersebut memang sedang dalam keadaan krisis kebaikan, sehingga dituntut untuk bersegera melakukan perubahan positif secara kolektif.

Perubahan secara bersama-sama hanya dapat dilakukan dengan membangkitkan kesadaran kolektif, karena kesadaran diri masing-masing adalah organ utama manusia yang tidak dapat menipu dirinya. Kesadaran merupakan kekuatan fitrah hati manusia yang apabila diizinkan untuk mengemuka, ia akan mengarahkan kepada kebaikan tanpa kebimbangan.

Saat ini, setiap diri yang secara bangga mengaku sebagai umat Nabi Muhammad dituntut untuk membangkitkan kesadaran kolektif yang dapat menghadirkan perubahan besar sehingga mampu membujuk Allah untuk merubah keadaan yang buruk ini menjadi keadaan yang berlimpah ni’mah dan ‘afiah.

Ingatlah bahwa, keburukan yang sudah menjamak pada suatu kaum akan menghancurkan seluruh individu pada kaum itu tanpa memilah si-saleh dan si-fasiq sebagaimana disampaikan oleh Imam al-Alusi dalam kitab tafsirnya dengan mengutip hadits yang diriwayatkan Imam Muslim bersumber dari Zainab bint Jahsy ketika bertanya kepada Rasulullah saw: “wahai Rasulullah, apakah kita akan dihancurkan meskipun ada orang-orang saleh di antara kita?”, Rasulullah menjawab: “Ya, jika telah banyak kemaksiatan”. Dengan demikian, mari membangkitkan kesadaran kolektif untuk melakukan perubahan positif agar Allah berkenan merubah keadaan menjadi lebih baik dan menghindarkan setiap diri dari kehancuran. SA181220.

Oleh : Sholahuddin Ashani, S.Fil.I., M.S.I.
Dosen Fakultas Ushuluddin dan Studi Islam UIN Sumatera Utara

 

- Advertisement -

Berita Terkini