Engkau adalah Sahabatku dan Umatku

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Suatu saat Rasulullah SAW berkata: “jangan kalian caci sahabat-sahabatku!, karena seandainya salah seorang di antara kalian berinfak dengan emas seukuran gunung Uhud sekalipun, niscaya tidak akan bisa menandingi satu atau setengah mud dari yang telah diinfakkan oleh mereka (para sahabatku)”.

Hadis ini diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim yang bersumber dari Abu Sa’id al-Khudri. Pada kesempatan lain, Rasulullah juga bersabda: “takutlah kepada Allah, takutlah kepada Allah perihal yang berkaitan dengan sahabat-sahabatku, jangan kalian jadikan mereka sasaran hinaan, siapa saja yang mencintai mereka, maka aku dengan cintaku akan mencintainya, siapa saja yang membenci mereka, maka aku dengan kemarahanku akan membencinya, siapa saja yang menyakiti mereka, maka dia telah menyakitiku, siapa saja yang menyakitiku maka dia telah menyakiti Allah, siapa saja yang menyakiti Allah, maka dikhawatirkan Allah akan menyiksanya”.

Hadis ini diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi dan juga Imam Ahmad dari Abdullah al-Mughappal. Begitu indah sebutan atau panggilan Rasulullah saw untuk Abu Bakar dan sejawat lainnya. Mereka memiliki panggilan yang mengangkat tinggi derajat mereka dalam strata kemanusian, yaitu sahabat.

Siapapun tidak dapat membantah bahwa Rasulullah layak untuk disebut sebagai raja, penguasa, ketua, presiden, sultan dan sederetan sebutan kepemimpinan lainnya. Dalam teori kepemimpinan, Rasulullah sudah memenuhi persyaratan baik dalam bidang teritorial, rakyat dan pengakuan dari wilayah-wilayah lain – bukankah ini kaedah dan syarat untuk menjadi pemimpin atau raja.

Akan tetapi, tidak pernah terbersit sedikitpun dalam dirinya untuk terobsesi menjadi raja. Pernah juga seketika, orang-orang kafir Quraisy menawarkan kepada Rasulullah untuk menjadi pemimpin kabilah Quraisy dengan syarat berhenti mendakwahkan Islam.

Rasulullah dengan tegas menolak tawaran mereka dan memilih menghadapi resiko pahit yang pasti akan menimpa dirinya dan tentunya sudah disaksikan dalam sejarah. Menjadi raja bukanlah target dan tujuan Rasulullah, akan tetapi men-tauhid-kan seluruh makhluk Allah yang menjadi tujuan utama. Tiada apapun yang lebih berharga bagi Rasulullah selain menjadi hamba dan kekasih Allah, tidak itu hartawan, raja, pesohor, selebriti dan segenap posisi elite yang digandrungi oleh manusia.

Rasulullah telah mewujudkan dirinya yang tidak terobsesi dengan kekuatan dan kekuasaan duniawi dengan tanpa sandiwara. Rasulullah tidak pernah memanggil Abu Bakar dan lainnya dengan sebutan anak buah, prajurit, anggota atau sebutan lainnya yang memposisikan mereka lebih rendah darinya. Dia memilih untuk memanggil mereka dengan sebutan ‘wahai sahabatku!’, ‘wahai temanku!’, ‘wahai rekanku!’, ‘ya shahabi!’. Sebutan yang begitu indah dan tentunya menyenangkan bagi orang-orang yang telah bersama dan menemani Rasulullah baik dalam keadaan susah maupun senang. Tak dapat dipungkiri, mereka memang orang-orang yang terpilih. Hingga kemudian Rasulullah saw berkata: “Allah telah memilihku dan telah memilihkan untukku para sahabatku”, sebagaimana diriwayatkan oleh Anas dan disadur oleh Ibn Taimiyah. Bagi Rasulullah, Abu Bakar dan teman-teman adalah sahabat dan bukan bawahan atau anak buah.

Di lain sisi, para sahabat yang diangkat derajatnya oleh Rasulullah dengan sebutan sahabat, tidak pernah sedikitpun berlaku sombong dengan melanggar batas ketaatan mereka kepada Rasulullah. Mereka menyadari benar realitas yang sesungguhnya bahwa mereka adalah manusia-manusia yang mendapatkan kemuliaan dari Allah untuk menyerahkan seluruh dimensi kehidupan mereka kepada Rasul-Nya.

Tidaklah mengherankan ketika Rasulullah membutuhkan sejumlah harta untuk persiapan dalam suatu ekspedisi, maka para sahabat bersegera untuk menyerahkan harta bahkan tanpa tersisa sedikitpun yang tertinggal di rumah. Kerap didengar pertanyaan yang dilontarkan kepada beberapa sahabat yang menyumbangkan seluruh hartanya karena Rasulullah, yaitu: “maka apa lagi yang tinggal untukmu?”, sahabat menjawab: “yang tinggal untuk kami hanyalah engkau dan Allah”. Jawaban tanpa sandiwara bahkan pencitraan. Jawaban yang memang hanya bisa dilakukan oleh orang-orang terpilih untuk mendampingi Rasulullah.

Maka kemudian, pantaslah kalau Rasulullah menegaskan perlindungannya kepada para sahabat dan mewanti-wanti siapapun untuk tidak mencaci dan menghina mereka.
Kemudian apa panggilan untuk generasi muslim setelah generasi sahabat? Sama dengan keadaan para sahabat, Rasulullah pun tidak pernah memanggil generasi selanjutnya dengan istilah bawahan dan semisalnya.

Rasulullah memanggil kita dengan sebutan ummati, wahai umatku. Apa arti dari kata ummat dan mengapa Rasulullah memilih kata ini untuk menyebut kita yang mengikuti dan menyakini risalahnya. Kata ummat banyak ditulis di dalam ayat-ayat Allah di Alquran dalam beragam bentuk pemaknaan.

Pada tulisan ini dikutip pemaknaan kata umat yang berarti sekelompok manusia (jama’ah min an-nas) yang bertujuan memperoleh kebaikan atau diartikan juga dengan generasi (al-jayl). Kata ummat juga memiliki akar kata yang sama dengan kata umm yang berarti ibu dan kata imam yang berarti pemimpin.

Dengan demikian kata umat dapat dimaknai dengan sekelompok manusia yang dibimbing oleh seorang pemimpin dan berlaku bagi mereka kasih sayang seorang ibu. Bagi Rasulullah, umat Islam bukan hanya sekumpulan manusia yang harus tunduk dan patuh kepada dirinya, laksana boss kepada anak buah.

Rasulullah menjadikan kita bagian dari limpahan kasih sayangnya laksana ibu yang mengasihi anak-anaknya, sehingga kemudian menempatkan umat bukan hanya sebagai pengikut semata, bahkan lebih dari itu, umat Islam merupakan generasi Rasulullah.

Abdullah bin ‘Amru bin al-‘Ash mengabarkan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, bahwa suatu ketika Rasululah saw membaca ayat Alquran berkenaan dengan Nabi Ibrahim a.s. yang mengadu kepada Allah, “Ya Tuhanku, sesungguhnya berhala-berhala itu telah menyesatkan banyak manusia, maka siapa saja yang mengikutiku maka sesungguhnya dia termasuk golonganku, siapa saja yang menentangku maka sesungguhnya Engkau maha Pengampun dan Penyayang” (Q.S Ibrahim: 36).

Selanjutnya Rasulullah membaca ayat Alquran yang mengabarkan ketika Isa a.s. juga mengadu kepada Allah, “Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba-Mu, dan jika Engkau mengampuni mereka, maka sesungunya Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (Q.S. al-Maidah: 118). Rasulullah kemudian mengangkat keduanya tangan dan memohon kepada Allah sambil berurai air mata: “Ya Allah, selamatkanlah umat, selamatkanlah umatku! Lalu Allah berkata kepada Jibril: “wahai Jibril, temuilah Muhammad – dan Tuhan-Mu sejatinya lebih mengetahui – dan tanyakan kepadanya, apa yang membuat dirinya menangis?” Jibril menemui Rasulullah lalu mengajukan pertanyaan.

Rasulullah kemudian menjawab sebagaimana yang dikatakan Allah yaitu bahwa Allah sejatinya lebih mengetahui (apa yang membuatku menangis). Kemudian Allah berkata: “wahai Jibril, temuilah Muhammad dan katakan bahwa Kami akan membuatmu gembira melalui umatmu dan Kami tidak akan membuatmu bersedih”.

Kasih sayang Rasulullah yang mengalir kepada umatnya merupakan wujud paling murni di alam semesta ini didasari oleh fitrah kasih sayang seorang Ibu kepadanya anaknya. Kasih sayang yang tidak pernah luntur dan tidak pernah berbalut kepalsuan.

Sehingga kemudian Allah menyematkan penghargaan yang paling berharga bagi umat Rasulullah sebagai ummat wasat yang fungsinya adalah menjadi saksi terhadap seluruh perbuatan manusia di muka bumi dan Rasulullah menjadi saksi bagi kita, umat Islam, sebagaimana Allah wahyukan di dalam Q.S. al-Baqarah: 143, “Dan demikian pula Kami telah telah jadikan kalian ummat wasat agar kamu menjadi saksi bagi seluruh manusia dan agar Rasulullah saw menjadi saksi bagi kalian…”.

Maka dengan demikian, marilah berikrar bersama untuk tidak mengecewakan Rasulullah yang telah membuktikan kasih sayangnya kepada kita dengan benar-benar menjadi umat terbaik dari dan bagi seluruh manusia. Agar kelak, Rasulullah dengan bangga dan gembira mengatakan kepada kita: “Engkau adalah sahabatku dan umatku”.

Oleh : Sholahuddin Ashani, S.Fil.I., M.S.i.
Dosen Ilmu Tafsir Fak. Ushuluddin dan Studi Islam UIN Sumatera Utara

- Advertisement -

Berita Terkini