Sadarilah Diri dan Jangan Mencaci

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Ruang keberagamaan kita baru-baru ini kembali terganggu, seorang ulama dihina secara verbal. Sesaat kemudian sang ulamapun membalas hinaan dengan cara yang lebih kurang sama. Sejatinya persoalan ini sudah selesai dalam prinsip Al-Qur’an, sebagaimana diterangkan di dalam Q.S al-Baqarah: 194, “…maka siapa saja yang menyerang kamu, maka seranglah dia seimbang dengan serangannya terhadapmu…”.

Awal mulanya sang ulama dihina dan dilecehkan dengan kata yang tidak baik, kemudian sang ulama membalas dengan juga menghina dengan kata yang juga tidak baik. Maka secara prinsip al-Qur’an, sang ulama telah tepat, dan seharusnya masalah sudah selesai apabila tidak dilanjutkan dengan masalah tambahan lainnya. Logika terbaiknya tentunya yang harus dilakukan adalah saling memaafkan meskipun timbul pertanyaan siapa yang akan memulai?

Sejenak mari kita renungkan satu peristiwa yang pernah terjadi di era Rasulullah SAW. Kala itu, Khalid bin Al-Walid, seorang jendral besar muslim–yang telah banyak memberikan kemenangan demi kemenangan kepada Rasulullah dan umat Islam– berselisih dengan ‘Abdurrahman bin ‘Auf –salah seorang sahabat generasi awal yang pengorbanannya terhadap Rasulullah dan Islam telah dicatat dengan mulia di dalam Al-Qur’an.

Khalid bin al-Walid kemudian mencaci atau memaki ‘Abdurrahman bin ‘Auf, bisa jadi karena kuasa emosi yang lagi mengalahkan dirinya. Peristiwa itu terdengar oleh Rasulullah yang sontak bereaksi dan memarahi Khalid dengan sabdaya: “Jangan kalian caci sahabat-sahabatku!, karena seandainya salah seorang di antara kalian berinfak dengan emas seukuran gunung Uhud sekalipun, niscaya tidak akan bisa menandingi satu atau setengah mud dari yang telah diinfakkan oleh mereka (para sahabatku)”.  Hadis ini diriwayatkan Imam al-Bukhari dan Imam Muslim yang bersumber dari Abu Sa’id al-Khudri.

‘Abdurrahman bin ‘Auf merupakan seorang sahabat dan Khalid juga adalah sahabat Nabi Muhammad. Akan tetapi, Nabi Muhammad lebih membela dan mengunggulkan ‘Abdurrahman bin ‘Auf berdasarkan pengorbanan, amalan dan dedikasinya kepada Nabi dan Allah yang tentunya lebih banyak unggul secara kualitas maupun kuantitas dibandingkan Khalid bin al-Walid. ‘Abdurrahman diketahui lebih dahulu mempercayai Nabi Muhammad dan mengorbankan seluruh yang dia miliki hanya untuk Sang Nabi, maka tak pelak dia pun menempati salah satu kursi mulia di antara as-Sabiquna al-awwaluna.

Sedangkan Khalid bin Walid, memeluk Islam sesudahnya, sehingga menjadikannya berada di bawah level ‘Abdurrahman bin ‘Auf. Keputusan dan pertimbangan Rasulullah tentunya tepat dan dia lebih mengetahui apa yang terbersit di dalam hati para sahabatnya dan apa yang tergores dari perbuatan mereka.

Apa yang tampak pada kita saat ini, kewajaran yang bisa dibenarkan untuk juga memilih membela sang ulama berdasarkan dedikasinya selama ini terhadap agama Islam. akan tetapi, sebelum lebih jauh, mari kita pelajari pesan dari sebuah hadis Rasulullah yang diriwayatkan Imam Bukahri untuk kita: “Mencaci seorang muslim merupakan tindakan yang fasiq, dan membunuhnya adalah bentuk kekafiran”.

Hadis ini membela seseorang yang telah bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah. Bahkan seorang ‘Umar yang tegas dalam ucapan dan tindakan pernah mengajukan keberatan terhadap keputusan Abu Bakar yang memerintahkan pasukan umat Islam untuk memerangi penduduk Bani Tamim yang berhenti mengirim zakat ke Madinah (peristiwa ini tercatat dalam buku-buku sejarah Islam salah satunya tulisan Muhammad al-Khadri Bek, Itmam al-Wafa’ fi Sirah al-Khulafa’).

‘Umar menentang pendapat Abu Bakar dengan mengucapkan: “Wahai Abu Bakar! Bagaimana engkau akan memerangi mereka sedangkan Rasulullah sudah bersabda: “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka mengucapkan La Ilaha illa Allah (tidak ada tuhan selain Allah), maka siapa saja yang mengucapkan La ilaha illa Allah telah terlindugi dirinya dan hartanya dari diriku kecuali dengan secara hak dan perhitungan (yang ditetapkan) di sisi Allah”, hadis Rasulullah ini diriwayatkan Imam al-Bukhari.

Akan tetapi, Abu Bakar memiliki ijtihad yang berbeda dengan menyatakan bahwa siapa saja yang memisahkan antara shalat dan zakat sesungguhnya posisinya sama dengan orang yang murtad, maka harus diperangi. Pada akhirnya, ‘Umar mengakui kebenaran pandangan Abu Bakar dan ekspedisi memerangi Bani Tamim dilakukan.

Bagi ‘Umar bin Khattab, kalimat La ilaha illa Allah menjadi pelindung seseorang dari tindakan kekerasan seorang atau kelompok umat Islam. Ketika seorang telah mengucapkan kalimat tahlil atau tauhid, maka diri dan hartanya berada dalam lindungan umat Islam, semakna dengan prinsip membunuh muslim yang lain adalah bentuk kekufuran. Hadis di atas menjelaskan bahwa kunci perlindungannya adalah hanya ucapan La ilaha illa Allah secara zahir, tanpa harus melakukan investigasi mendalam kesejatiannya.

Sebelum terlalu jauh mencaci dan memaki, sebaiknya kembalilah untuk menyadari diri. Karena meskipun diri seorang muslim wajib dilindungi dari bentuk kekerasan oleh sesama muslim lainnya, akan tetapi ada garis batas yang telah diperingatkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Bacalah dan resapilah sejenak hadis Rasulullah saw yang disampaikan oleh Imam an-Nawawi dalam kitabnya al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab berdasarkan riwayat dari Ibnu ‘Abbas : “Siapa saja yang menyakiti seorang fakih (ulama), maka sesungguhnya dia telah menyakitiku, siapa saja yang telah menyakitiku maka dia telah menyakiti Allah azza wa jalla”.

Dalam kesempatan yang berbeda, Rasulullah memperingatkan bahwa umat Islam yang menyakiti Rasulullah dan Allah dikhawatirkan akan menuai amarah Allah yang dapat berujung kepada penderitaan tak berperi. Rasulullah saw: “…siapa saja yang menyakitiku maka dia telah menyakiti Allah, siapa saja yang menyakiti Allah, maka dikhawatirkan Allah akan menyiksanya”. Hadis ini diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi dan juga Imam Ahmad dari Abdullah al-Mughappal ketika mengingatkan seseorang untuk tidak menghina dan mencaci sahabat Rasulullah.

Imam an-Nawawi menutup nasehatnya dengan ungkapan bahwa siapa saja yang menyakiti ulama, Allah akan menyiksanya dengan mematikan hati nurani. Ketika keadaan ini terjadi, tiada kebahagian sedikitpun yang dapat dirasakan dan dinikmati, maka siksaan apa lagi yang lebih sakit dari matinya nurani.

Dengan demikian, jangan abaikan kepedulian dan kasih sayang Rasulullah saw kepada umatnya. Janganlah kesombongan diri mengantarkan seseorang untuk berani mencaci dan menghina orang-orang yang menempati wilayah cinta Rasulullah.

Rasulullah sejatinya tidaklah akan marah, bahkan dia sangat khawatir ketika Allah memperlihatkan amarahnya kepada mereka yang menyakiti Rasul dan penerusnya (ulama). Amarah Allah tak dapat engkau bayangkan, maka sadarilah diri, mohon ampunan dan mintalah maaf karena kasih sayang Allah senantiasa mendahului amarahnya. Allah a’lam.

Oleh : Sholahuddin Ashani S.Fil.I., M.S.i.
Dosen Fakultas Ushuluddin dan Studi Islam UIN SU Medan

- Advertisement -

Berita Terkini