Kebijakan Listrik Gratis dan Relaksasi Kredit Presiden Menuai Kritik

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM, Medan – Baru-baru ini, Presiden mengeluarkan sejumlah kebijakan untuk meringankan beban masyarakat yang terbebani akibat penyebaran virus corona atau Covid-19. Diantaranya adalah kebijakan gratis listrik bagi pengguna 450 VA dan pemotongan 50% bagi pengguna listrik 900 VA. Selain itu ada juga program kebijakan relaksasi kredit bagi masyarakat yang terdampak dari virus corona.

Nah, disini masyarakat itu memiliki ekspektasi maupun harapan besar bahwa kebijakan yang diambil pemerintah itu akan menyelesaikan sebagian besar persoalan ekonomi masyarakat miskin.

“Ide tersebut diawal memang menjadi solusi bagi masyarakat miskin saat berhadapan dengan tekanan ekonomi yang sulit seiring dengan penyebaran corona. Hanya saja, implementasi di lapangan memang tidak semudah seperti yang diharapkan. Pada saat pemerintah memberikan sejumlah solusi, masyarakat memiliki ekspektasi, justru eksekusinya malah tidak seperti harapan masyarakat, atau bahkan mungkin harapan Presiden Jokowi,” ujar Analis Pasar Keuangan, Gunawan Benjamin di Medan, Jumat (3/4/2020).

Saat ini, Benjamin mengungkapkan masyarakat kembali mengeluhkan program diskon 50% untuk pengguna listrik 900 VA. Dimana masyarakat pengguna listrik 900 VA yang memiliki kode R1M tidak berhak mendapatkan potongan, dimana huruf M itu diterjemahkan sebagai masyarakat mampu. Kebijakan ini akan menuai kontroversi.

“Ditengah wabah corona dan maraknya penutupan tempat usaha, banyak masyarakat yang dahulu statusnya mampu, saat ini menjadi tidak mampu. Karena pendapatan berkurang atau bahkan kehilangan pendapatan,” imbuhnya.

Relaksasi pinjaman

Kebijakan Listrik Gratis dan Relaksasi Kredit Presiden Menuai Kritik
Ilustrasi (net)

Hal serupa juga terjadi pada relaksasi pinjaman lembaga keuangan. Meskipun sejauh ini masyarakat awalnya juga bereuforia terkait dengan penangguhan pinjaman. Tetapi realita tidak seindah yang diharapkan diawal, mengingat bank atau lembaga keuangan (leasing) yang menentukan mana usaha yang layak mendapatkan relaksasi dan mana yang tidak, seiring dengan penyebaran covid 19.

“Karena berbicara bisnis, tetap saja Bank itu tidak mau rugi karena kebijakan relaksasi pinjaman itu. Jadi keinginan Presiden dan masyarakat disini tidak akan sepenuhnya 100% langsung dieksekusi oleh lembaga keuangan. Kebijakan ini juga akan menuai kontroversi ditengah masyarakat. Dikarenakan semua akan bisa dengan mudah mengklaim bahwa ketidakmampuan membayar cicilan dikarenakan covid 19. Bisa muncul moral hazard disitu,” terangnya.

Dan masalah covid 19 ini bisa membuat masyarakat mengeneralisir bahwa tidak ada satupun usaha saat ini yang tidak terpengaruh oleh covid 19, mulai dari konglomerat sekalipun hingga pedagang asongan. Belum lagi kalau lembaga keuangannya itu stastusnya BUMN. Ada frasa hukum “merugikan keuangan negara” yang bisa menjerat pemangku kebijakan di lembaga keuangan plat merah.

“Bentuknya itu seperti penghapusan tagihan utang debitur. Dan frasa itu juga bisa membebani lembaga keuangan kalau seandainya lembaga keuangan itu hanya menghapus buku atau write off. Dan yang pasti lembaga keuangan akan berpikir rasional supaya kebijakan yang dikeluarkan pemerintah ini tidak menggangu likuiditas perusahaan, apalagi kalau sampai mengakibatkan lembaga keuangan itu bangkrut,” ungkap dia.

Cara Mendapatkan Listrik Gratis 3 Bulan untuk Pengguna Token
Meteran Listrik

Benjamin menilai, pemerintah saat menelurkan kebijakan terkait penyelamatan kondisi ekonomi masyarakat, sepertinya belum berkoordinasi dengan perusahaan yang menjadi eksekutor kebijakan itu sendiri. Contohnya PLN, Bank dan lembaga keuangan lainnya. Sehingga disaat kebijakan sudah disosialisasikan, namun ternyata proses implementasinya ternyata tidak mudah dan begitu kompleks.

“Maka masyarakat yang memiliki harapan tadi juga akan kecewa. Dan saya yakin Presiden sendiri juga menilai bahwa kebijakannya ternyata tidak semudah itu bisa diterima oleh perusahaan yang menjadi eksekutor kebijakan,” lanjutnya.

Namun dia memahami, corona ini menjadi masalah pertama di dunia yang membutuhkan solusi yang  tidak biasa. Semua negara juga mengalami kepanikan. Masyarakat sebaiknya memahami bahwa negara manapun akan kesulitan dalam merumuskan kebijakan di saat seperti ini.

“Dan saya menyarankan pemerintah sebaiknya memiliki komunikasi kebijakan yang efektif. Jangan membuat masyarakat berharap lebih, yang nantinya jika tidak sesuai harapan, ini bisa mengganggu wibawa pemerintah. Belajar dari India, bagaimana mereka merencanakan lockdown namun tidak matang. Yang ada terjadi kerusuhan yang berpotensi memicu konflik sosial lainnya,” beber Benjamin. Berita Medan, Fahmi

- Advertisement -

Berita Terkini