Buntut Kontroversi Wayang, Retna Dwi Estuningtyas: Sebagai Keturunan Dalang Saya Tidak Terima

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM, Jakarta – Kasus ceramah Khalid Basalamah (KB) yang menyatakan bahwa wayang tidak sesuai dengan tuntunan Islam (alias haram), dan sebaiknya dimusnahkan, ternyata masih berbuntut panjang. Meski KB sendiri sudah klarifikasi meminta maaf kepada komunitas pecinta wayang terutama masyarakat Jawa, namun efek dari pernyataannya tersebut berbuah kepada penghinaan yang dilakukan oleh mereka yang mungkin setuju dengan pendapat KB.

Seperti diketahui baru saja viral beberapa foto tangkapan layar Twitter dari sebuah akun bernama satrio70. Dalam foto layar tersebut ia memposting sebuah foto dua wayang golek berwajahkan Presiden RI ke 4, Abdurahman Wahid dan Habib Luthfi bin Yahya. Mereka digambarkan tengah berbincang. Akun tersebut menuliskan, meski pun wayang menggunakan wajah kedua tokoh tersebut, tetap saja haram hukumnya dalam Islam.

Postingan tersebut tentu saja membuat heboh para netizen. Ada yang mendukung namun lebih banyak lagi yang menghujatnya. Salah satu dari mereka yang menghujat adalah Retna Dwi Estuningtyas, seorang dosen jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam di Universitas Ibnu Chaldun, juga sebagai pelaku nguri-uri budaya Jawa. Menurut Retna, postingan tersebut sudah sangat keterlaluan.

“Pertama karena anggapan wayang hukumnya haram. Saya paham akun tersebut hanya mengikuti ceramah Si Khalid. Hal inilah yang saya khawatirkan akan terjadi. Seorang pendakwah menyampaikan ajaran yang salah lalu diikuti oleh jemaahnya. Sebagai jemaah, mereka bisa lebih ngawur karena tidak miliki ilmunya,” ucap Retna saat ditanyakan pendapatnya oleh media, Jumat (18/2).

Retna sangat menyayangkan seorang ustadz menyampaikan ceramah agama yang tidak dipikir panjang dahulu dampak akibatnya, “Bagaimana mungkin dinyatakan haram jika wayang digunakan sebagai media dakwah oleh para penyiar atau penyebar Islam di tanah Jawa yang dikenal sebagai Wali Songo,” jelas Retna. Hal itu, baginya, menujukkan KB tidak memahami sejarah perkembangan Islam dan juga kultur masyarakat di Jawa.

“Karena wayang lah, sehingga Islam tumbuh berkembang di bumi Nusantara ini, menjadi agama mayoritas. Untuk itu karakternya pun menjadi Islam Nusantara. Namun begitu, harus bisa dipisahkan mana yang ajaran atau tuntunan Islam dan mana pula yang sifatnya budaya tradisi,” tambahnya. Retna memandang tidak ada masalah antar keduanya (budaya dan agama) bahkan justru harusnya saling melengkapi.

“Islam tidak hanya agama bagi bangsa Arab saja, melainkan sudah menjadi agama bagi penduduk dunia. Islam memiliki karakter di negaranya masing-masing sesuai dengan kultur budaya negaranya. Jadi biarkan, jangan dipaksakan Islam harus serba kearab-araban. Yang terpenting ibadah dan keimanan pemeluknya. Masa gara-gara wayang lalu Islamnya menjadi luntur? Jikapun begitu ya bukan karena tradisinya melainkan keimanan orang tersebut yang lemah,” tuturnya lagi.

Hal lain yang dianggap Retna sudah keterlaluan adalah efeknya, “Inilah efeknya. Jemaah mengikuti ceramah yang salah lalu membuat postingan yang bagi saya sudah sangat menghina bangsa ini. Tidak pantas seorang Gus Dur diperlakukan demikian. Pun kepada Habib Luthfi. Sebagai seorang NU juga sebagai keturunan dalang, saya tidak terima!” Tandas Retna dengan nada keras.

Menurut Retna, jika dibiarkan, maka generasi bangsa ini akan menjadi generasi yang tidak memiliki respek dan rasa terima kasih kepada pemimpin bangsa maupun organisasi massa terbesar di Indonesia (NU), “Beliau-beliau itu guru-guru saya yang saya sangat hormati. Begitu juga orangtua saya selain sebagai pendidik juga seorang dalang di masanya. Tentu saya dan kami tidak terima dengan isi ceramah apalagi efek yang ditimbulkannya,” tutup Retna.

Retna mengatakan mempercayakan kepada aparat hukum agar bertindak cepat menerima dan memproses pelaporan yang sudah dilakukan oleh beberapa organ masyarakat. Jika bicara budaya, maka Retna lebih mengutamakan kebajikan sebagai jalan penyelesaiannya. Namun budaya Jawa meski penuh kesantunan, jika terus ditindas, maka akan melawan, “Kemuliaan hidup orang Jawa itu adalah harga diri. Titi wancine mangsamu katone wis bakal teko,” pungkasnya. (red)

- Advertisement -

Berita Terkini