Islam Mahjubun bil Muslimin, Islam Dikaburkan oleh Kalangan Orang Islam Sendiri

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Indonesia memiliki jumlah ratusan etnik yang hidup di atas ribuan pulau, menggunakan ratusan bahasa daerah (vernaculars), ratusan budaya, dan berbagai agama besar atau kepercayaan lokal. Pada level makro nasional mayoritas penduduk di Indonesia adalah Islam, dipeluk oleh berbagai macam kelompok etnik.

Agama Islam tidak dijadikan syarat kriteria untuk adanya sebuah bangsa. Begitu juga agama Kristen, Hindu atau Budha. Demikian pula kriteria bahasa, bahasa daerah Jawa adalah bahasa kelompok etnik terbesar di Indonesia, tetapi bahasa Jawa tidak digunakan sebagai bahasa persatuan, akan tetapi Bahasa Indonesia yang dipakai untuk Bahasa persatuan secara makro nasional.

Tampak perbedaan dapat membentuk persatuan, dan persatuan dapat terbentuk dari perbedaan. Keseimbangan yang cukup “halus dan sulit” (delicate) yang tetap terjaga, tetap harmonis selama ini.

Persatuan tanpa perbedaan mengakibatkan penindasan kultural dan hegemoni. Perbedaan tanpa persatuan menyebabkan terjadi Balkanisasi  dan kehancuran negara-bangsa. Perbedaan dan persatuan harus hadir-bersama (coexist) dalam suatu keseimbangan yang “halus” (delicate) dalam sebuah negara.

Terdapat dua implikasi penting terhadap keragaman yang luas ini; pertama, ada banyak kelompok agama yang menjadi minoritas permanen dan kedua terdapat keragaman intra-regional yang signifikan dalam hal konfigurasi mayoritas-minoritas. Dengan demikian orang Islam yang mayoritas dominan di Indonesia, mulai membentuk minoritas-minoritas dikarenakan perbedaan aliran dan hal tersebut mengakibatkan terjadinya irisan minoritas di tengah mayoritas.

Perubahan komposisi minoritas di tengah mayoritas di penganut agama Islam sering dikaitkan dengan kekuatan dan pengaruh politik, dan setiap melemahnya kekuatan numerik minoritas dapat dilihat sebagai ancaman dominasi kelompok mayoritas. Oleh karena itu, kelompok minoritas Islam membuat pembatasan yang terkesan ketat atas mayoritas dan juga terkesan exclusif.

Dan berakibat munculnya suatu identitas baru yang merujuk kepada identitas diri sebagai anggota dari suatu kelompok minoritas dari agama Islam.

Hasil dari sifat exclusife minoritas tersebut mengakibatkan terjadinya peristiwa-peristiwa yang disebut SARA (suku, antara golongan, ras, dan agama), yaitu konflik antara golongan, dan juga melebar ke antara partai-partai politik, antara pemeluk agama, bahkan di intra-se agama.

Seringkali terdengar sebutan untuk kelompok minoritas agama Islam tersebut dengan sebutan Islam Arab.

Belakangan ini sebutan Islam Arab dikaitkan dengan etnis arab di Indonesia, bahwa masyarakat sering terjebak dalam memahami Islam arab, sebagai ekspresi sosio-keagamaan dari kelompok tertentu.

Yang lebih parah lagi, ada beberapa orang dari etnik arab Indonesia yang sering memperhadapkan Islam dengan Islam Arab sebagai cara mendefinisikan dirinya sebagai keturunan Nabi SAW, untuk memperkuat identitas Islam arab, namun melalui jalur-jalur yang tidak tepat.

Inilah diantaranya yang juga berkontribusi terhadap terciptanya kebencian terhadap Islam Arab.

Disisi lain juga muncul irisan minoritas islam lain yaitu islam pribumi yang mengatakan bahwa Islam arab tidak pas dan harus di asingkan atau harus pindah ke Timur Tengah, yang mengatakan semua kekerasan berasal dari Arab dan harus dikembalikan ke Arab, ini pandangan atau pendapat yang sama keblingernya dengan kelompok minoritas Islam Arab.

Kedatangan koloni Arab dari Hadramaut ke Indonesia diperkirakan terjadi dalam 3 gelombang utama.

Abad 9-11 Masehi

Catatan sejarah tertua adalah berdirinya Kerajaan Peureulak di Aceh Timur pada tanggal 1 Muharram 225 H (840 M).

Hanya 2 abad setelah wafat Rasulullah, salah seorang keturunannya yaitu Sayyid Ali bin Muhammad Dibaj bin Ja’far Shadiq hijrah ke Negeri Perlak. Ia kemudian menikah dengan Makhdum Tansyuri, adik dari Syahir Nuwi dari Negeri tersebut. Dari pernikahan ini lahirlah Alaiddin Syed Maulana Abdul Azis Shah sebagai Raja pertama Kerajaan Peureulak (840 – 864). Catatan sejarah ini resmi dimiliki Majelis Ulama Kabupaten Aceh Timur dan dikuatkan dalam seminar sebagai makalah ‘Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Aceh’ 10 Juli 1978 oleh (Alm.) Prof. Ali Hasyimi.

Abad 12-15 Masehi

Masa ini adalah masa kedatangan para datuk dari Walisongo yang dipelopori oleh keluarga besar Syekh Jamaluddin Akbar al-Husaini dari Gujarat yang masih keturunan Syekh Muhammad Shahib Mirbath dari Hadramaut. Ia besama putra-putranya berdakwah jauh ke seluruh pelosok Asia Tenggara hingga Nusantara dengan strategi utama menyebarluaskan Islam melalui pernikahan dengan penduduk setempat yang utamanya dari kalangan bangsawan Kerajaan Hindu.

Abad 17-19 Masehi

Abad ini adalah gelombang terakhir, ditandai dengan hijrah massalnya, para Alawiyyin Hadramaut yang menyebarkan Islam sambil berdagang di Nusantara. Kaum pendatang terakhir ini dapat ditandai keturunannya dengan marga yang umum dikenal sekarang seperti al-Attas, Assegaf, al-Jufri, al-Aydrus, Shihab, Shahab, al-Haddad, al-Habsyi, dan lainnya.Hal ini dapat dimengerti karena marga-marga ini baru terbentuk belakangan. Tercatat dalam sejarah Hadramaut, marga tertua adalah as-Saqqaf (Assegaf) yang menjadi gelar bagi Syekh Abdurrahman bin Muhammad.

Para pejuang kemerdekaan Indonesia telah berupaya membuat negara mengakui bahwa siapapun yang bertempat tinggal, berbudaya dan berbahasa Indonesia adalah warga negara Indonesia.

Sungguh membuat banyak gerah ketika kata “pribumi” dimunculkan guna mendiskritkan salah satu etnik, yang masih dipermasalahkan dan didebatkan, padahal Indonesia telah merdeka dari yang memberikan istilah tersebut. Mengerikannya lagi, istilah ini menjadi senjata pemecah yang digunakan sesama saudara Islam, sesama sebangsa sendiri yang harusnya saling kompak bersatu tanpa pandang atribut masing-masing. Hal ini semakin diperparah dengan makin meluasnya literasi digital, tapi tidak diikuti “literasi” moral, empati dan toleransi.

Mari semua berbaur dan menciptakan generasi yang bersatu sebagai perwujutan keutuhan Nusantara dan sebagai rakyat, ulama harus ikut menangani gejolak yang sedang terjadi untuk bisa kembali ke ekuilibrium dan harmoni dalam wadah Bhineka Tunggal Ika… Merdeka…aamiin

Oleh : R. Haidar Alwi
Presiden HAI dan HAC, Tokoh Toleransi Indonesia

Artikulli paraprak
Artikulli tjetër
- Advertisement -

Berita Terkini