Jokowi, Greenpeace dan Prinsip Kemanusiaan yang Adil dan Beradab!

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Indonesia mau menjadi bagian dari solusi, bukan bagian dari problem dunia.

Presiden Joko Widodo bilang, “Indonesia akan dapat berkontribusi lebih cepat bagi net-zero emission dunia, pertanyaannya: seberapa besar kontribusi negara maju untuk kami? Transfer teknologi apa yang bisa diberikan? Ini butuh aksi, butuh implementasi secepatnya!”

Itu disampaikannya secara gamblang di depan forum bergengsi KTT COP26, Glasgow, 1 November 2021 yang baru lalu.

Dua pertanyaan penting Jokowi itu lebih terasa sebagai “tantangan-aksi” kepada negara-negara maju untuk segera beraksi, jangan cuma “NATO” (No Action Talk Only).

Mengajukan pertanyaan semacam itu dalam forum internasional tentu butuh kerendahan hati (bukan rendah diri lho ya!) serta keberanian yang luar biasa. Mengapa begitu?

Soal kerendahan hati tentu jelas dengan sendirinya. Seberapa besar kontribusi negara maju untuk kami? Ya, seberapa besar? Cobalah kalian sampaikan dengan gamblang dan rinci, jangan cuma omong. Dengan segala kerendahan hati kita menyampaikan pertanyaan (permohonan) ini. Kontribusi apa (what) dan seberapa besar (how much), lalu kapan (when)?

Kalau kalian semua masih mau bernapas dengan lega selama hidup di bumi ini, maka Indonesia yang saat ini juga dianggap menjadi (dijadikan) semacam “pabrik-oksigen” dunia, ya mesti dihargai juga dong. Dihargainya ya secara politis (apresiasi) maupun ekonomis (valuasi) juga dong.

Janganlah cuma jadi semacam ‘bad-samaritans’ (ala Ha-Joon Chang, ekonom Korsel yang menulis buku, ‘Bad Samaritans: The Myth of Free Trade and the Secret History of Capitalism’, 2008).

Sikon (situasi-kondisi) “persaingannya” khan memang sudah a-simestris kok. Maka, ayolah adil sejak dari pikiran. Bukankah begitu semestinya?

Jokowi tentu juga tahu bahwa ia bakal mesti menghadapi berbagai konsekuensi dengan pertanyaannya itu. Dan dalam hal ini jelas perlu keberanian untuk menanggung konsekuensi atau risikonya.

Sontak saja “keberanian” Jokowi untuk “menantang” negara-negara maju dengan dua pertanyaannya itu mendapat respon yang rupa-rupa dari berbagai kalangan.

Misalnya saja dari NGO (non-governmental organization) macam Greenpeace yang terkesan ikut-ikutan menekan. Jangan salah menduga lebih dulu, kita bukannya anti-Greenpeace, justru kita sangat menghargai “kontrol-sosial” yang dilakukan oleh NGO macam Greenpeace.

Kritik semacam itu memang perlu, hanya saja hendaknya argumentasi yang diajukan juga adil dan seimbang. Sehingga tidak terkesan jadi menyudutkan kebijakan serta aksi nyata yang mampu dan de-facto telah dilakukan oleh administrasi pemerintahan Presiden Joko Widodo selama ini.

Ambil contoh dari apa yang disampaikan Leonard Simanjuntak, Kepala Greenpeace Indonesia dalam situs resmi Greenpeace Indonesia. Tentang dua hal, soal rehabilitasi hutan mangrove dan deforestasi.

Pertama, tentang pernyataan Jokowi bahwa Indonesia disebut telah memulai rehabilitasi hutan mangrove seluas 600.000 hektar sampai di 2024. Leonard Simanjuntak mengritisi,

“Indonesia memiliki ekosistem mangrove terluas di dunia yaitu 3.489.140,68 ha (tahun 2015) yaitu 23% dari ekosistem mangrove dunia. Namun lebih dari setengah dalam kondisi rusak yaitu seluas 1.817.999,93 Ha. Sampai hari ini alih fungsi lahan gambut untuk tambak, pemukiman, illegal logging, perkebunan, infrastruktur di kawasan pesisir seperti reklamasi, jalan, pariwisata dan pelabuhan, masih terus terjadi. Kondisi ini diperburuk dengan pencemaran dari darat seperti limbah plastik, limbah rumah tangga, tumpahan minyak dan juga sedimentasi akibat rusaknya kawasan hulu sungai.

Rencana pemerintah untuk merestorasi hutan mangrove seluas 600.000 ha di tahun 2024 terdengar sangat hebat, tetapi jika dibandingkan luas hutan mangrove yang rusak di Indonesia yang telah mencapai 1,8 juta hektar, hal ini tidak ambisius mengingat hutan mangrove mempunyai fungsi ekologi yang sangat vital bagi kawasan pesisir yang saat ini sedang menghadapi ancaman krisis iklim.

Selain itu, hal ini sepertinya bertolak belakang dengan kebijakan utama Pemerintah Indonesia yang saat ini lebih mengutamakan laju investasi yang telah menyebabkan masifnya pembangunan kawasan industri dan infrastruktur di kawasan pesisir. Kebijakan utama ini akan mengorbankan dan merusak ekosistem mangrove yang masih ada, dan juga akan menghambat laju pertumbuhan mangrove yang sedang direhabilitasi karena rehabilitasi mangrove membutuhkan kondisi lingkungan yang baik.”

Sebuah studi dengan data yang sangat baik dari Greenpeace. Hanya saja disini tampak ada jalan pikiran menuju kesimpulan yang agak menyesatkan. Bahwa (menurut data tahun 2015) Indonesia punya lahan mangrove terbesar di dunia (hampir 3,5 juta hektar, artinya 23% ekosistem mangrove dunia!) dan sejumlah 1,8 juta hektar telah rusak.

Lalu pertanyaannya, siapa yang dulu telah merusaknya? dan apakah sekarang oleh administrasi Jokowi (2014-2019 plus 2019-2024 nanti) telah ada upaya yang serius untuk merehabilitasinya? Ini khan pertanyaan yang mudah dijawab. Begini,

Dari 1,8 juta hektar yang telah rusak, ditargetkan sampai 2024 restorasi atau rehabilitasinya mencapai 600 ribu hektar (sekitar 33%). Maka cara pandangnya adalah, bahwa arah kebijakan administrasi Jokowi yang seperti ini (merehabilitasi) adalah sejalan dengan misi Greenpeace sendiri. Sehingga kebijakan Jokowi ini mestinya terus dilanjutkan sampai rehabilitasinya bisa mencapai 100%. Bukankah begitu semestinya?

Kedua, adalah soal rehabilitasi lahan kritis. Presiden Jokowi menyebutkan, Indonesia juga telah merehabilitasi 3 juta lahan kritis antara 2010-2019. Leonard Simanjuntak (Greenpeace) mengritisinya dengan narasi:

“Capaian ini perlu dipertanyakan ulang mengingat terdapat peningkatan laju deforestasi seperti yang disebutkan sebelumnya di atas. Padahal Indonesia sudah berkomitmen untuk menekan laju deforestasi. Walaupun ada klaim penurunan laju deforestasi dari pemerintah dalam 2 tahun terakhir, angka itu menjadi kurang berarti karena adanya pergeseran area-area terdeforestasi dari wilayah barat ke wilayah timur (Papua).

Nasib komitmen moratorium sawit yang tidak jelas sampai saat ini menjadi sinyal perlunya peningkatan target perbaikan tata kelola hutan. Hasil analisis Greenpeace Indonesia dan The Tree Map menemukan seluas 3,12 juta ha perkebunan sawit ilegal dalam kawasan hutan hingga akhir tahun 2019, setidaknya terdapat 600 perusahaan perkebunan di dalam kawasan hutan, dan sekitar 90.200 ha perkebunan kelapa sawit berada di kawasan hutan konservasi.

Letak perkebunan kelapa sawit dalam kawasan hutan paling luas berada di pulau Sumatera (61,5%) dan Kalimantan (35,7%). Dari kedua pulau tersebut, terdapat dua provinsi dengan ekspansi sawit terbesar yaitu provinsi Riau (1.231.614 ha) dan Kalimantan Tengah (821.862 ha). Kedua provinsi ini menyumbang dua pertiga dari total nasional.”

Ini lagi, studi dan data Greenpeace sangat bagus, hanya saja cara pandangnya jadi terkesan insinuatif (jadinya menyesatkan) jikalau kesalahan policy tentang pembukaan lahan-lahan perkebunan sawit yang “asal-asalan” seperti itu dibebankan pada administrasi Jokowi.

Bisnis sawit ini besarannya ibarat kapal induk yang raksasa. Untuk mengerem (menghentikannya) perlu jarak (waktu) tempuh yang tidak singkat. Semua sebetulnya sudah tahu soal ini, namun jadi terkesan politis kalau “kesalahan” masa lalu ini ditimpakan secara semena-mena ke pundak administrasi Jokowi. Iya khan.

Ini menyangkut soal ijin-ijin yang telah diberikan oleh administrasi pemerintahan terdahulu (tak usah disebutkan siapa, nanti ada yang ngambek lagi).

Kita semua masih ingat film pendek Harison Ford, “Years of Living Dangerously”, yang bercerita tentang deforestasi di Indonesia, kebakaran hutan dan tentang pembukaan kebun sawit yang brutal di era pemerintahan terdahulu (lagi, tak usah disebutkan era siapa, nanti ada yang ngambek).

Sudahlah, singkat cerita, Indonesia sedang bebenah diri. Ya bebenah diri! Kita sudah sadar bahwa sebagai warga dunia (warga bumi) yang baik, kita juga mesti “menyumbang” oksigen sebanyak-banyaknya bagi seluruh makhluk hidup di bumi ini. Ini prinsip internasionalisme yang dirumuskan dalam sila Kemanusiaan yang adil dan beradab.

Fakta bahwa kita punya hutan dan ekosistem lingkungan yang bisa berkontribusi banyak sudah jelas. Dan jelas pula bahwa selama ini ada pihak-pihak (local maupun interlocal, sic!) yang telah ikut mengeksploitasinya dengan tidak adil. Ini sedang terus diperbaiki.

Maka sekarang, di tengah upaya kita bebenah diri, kita pun bertanya kepada mereka yang ikut menikmati produksi oksigen dari hutan-hutan kita, “…seberapa besar kontribusi negara maju untuk kami? Transfer teknologi apa yang bisa diberikan? Ini butuh aksi, butuh implementasi secepatnya!”

Ini butuh aksi, butuh implementasi secepatnya. Untuk itu butuh kolaborasi! Ya, kerja sama dari semua pihak dengan pikiran yang bersih dan hati yang jujur. Tidak dilumuri kepentingan ala ‘bad-samaritans’.

Kita pun mendukungnya. Ini bukan soal berpihak pada oligarki, tapi ini soal kemanusiaan yang adil dan beradab! Prinsip internasionalisme yang digaungkan Bung Karno sejak dulu.

07 November 2021

Oleh : Andre Vincent Wenas, MM., MBA.,
Pemerhati Ekonomi-Politik, Direktur PERSPEKTIF.

- Advertisement -

Berita Terkini