Pola Gerakan Mahasiswa

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Pola yang umum dalam gerakan massa selalu dimulai dari kelompok inti yang kohesif (melekat satu dengan yang lain, solid atau padu), baik berupa kelompok studi, perkumpulan mahasiswa, kelompok kohesif di sekitar masjid atau sampai pada komunitas pedagang. Dari kelompok inti yang kohesif ini, kemudian berkembang organisasi-organisasi swadaya seperti koperasi, pendidikan orang dewasa, organisasi massa sampai partai politik.

Kalau kita membaca tulisannya Aswab Mahasin (Direktur LP3ES) berjudul “Pola Gerakan Pinggiran“, yang diterbitkan oleh majalah Prisma.7. 1989, beliau mengatakan ada dua pola dalam setiap gerakan massa atau organisasi yang menjadi strategi dan taktik. Labih lanjut dikatakan, pola gerakan pertama adalah berusaha membangun solidaritas dan gerakan massa, seperti pada PNI-Soekarno, Partai-Partai Islam dan juga Partai Komunis Indonesia pada awalnya. Pola kedua adalah mengambil model partai baris depan, seperti PNI-Baru (Hatta-Sjahrir) dan partai sosialis. Ada juga anggapan bahwa pola ini juga diadaptasi oleh Partai Komunis Indonesia belakangan hari, dengan disertai aneka ragam organisasi front-nya.

Dari pola gerakan yang berbeda, antara pola gerakan pertama dengan pola gerakan kedua tentunya strategi dan taktik yang dipakai tentu berbeda pula. Perbedaan strategi itu juga terlihat kemudian dalam persaingan politik antara “kelompok pembangun solidaritas” dan “administrator” pada masa awal Republik Indonesia ini. Seorang tokoh Indonesianis dan Profesor ilmu politik dari Barat, Herbert Feith (1930-2001), mengatakan bahwa Rapat Akbar, Demonstrasi dan Agitasi adalah bagian yang khas dari strategi pertama atau dari pola pertama. Sementara, proses Tawar-menawar, Lobi-lobi dan Perundingan politik lebih merupakan ciri khas strategi kedua atau pola gerakan kedua.

Kalau kita lihat dengan pola gerakan mahasiswa atau organisasi mahasiswa saat ini, nyaris tidak terlihat dengan jelas adanya pola gerakan yang tersistem, ada pun dia tidaklah sebanding dengan banyaknya organisasi-organisasi gerakan mahasiswa Indonesia baik bersifat nasional maupun kedaerahan. Acuan pada pilihan strategi-strategi di atas kiranya masih bermanfaat untuk memahami gerakan mahasiswa sekarang. Jikalau kita telusuri kembali ke belakang, di awal masa Orde Baru, pola gerakan mahasiswa lebih dekat kepada pola pertama, dan hingga saat ini masih ada terlihat. Akan tetapi, kelemahannya adalah tidak lagi memandang orientasi yang jauh ke depan.

Gerakan mahasiswa Indonesia dewasa ini lebih berorientasi pada masalah mendesak dan jangka pendek, bukan tujuan jangka panjang seperti pada gerakan mahasiswa atau gerakan massa sebelumnya. Saat ini sering terlihat, gerakan mahasiswa menjadi gerakan spontanitas, reaksioner dalam menanggapi isu-isu yang berkembang. Aksi massa yang kurang teratur menjadi menonjol pada gerakan mahasiswa, mungkin sebagai akibat dari depolitisasi yang tidak lagi memungkinkan pembentukan gerakan yang sistematis. Gerakan yang tidak sistematis mengakibatkan anarkisme, dis-orientasi gerakan sehingga memberikan pandangan negatif yang tidak lagi mendapatkan simpatik malah anti-pati dari publik atau mahasiswa lainnya. Sehingga timbul pilihan lain, yaitu lebih baik diam (apatis) dan mengikuti aktivitas-aktivitas lain yang lebih menyenangkan (hedonis).

Rapat Akbar, Kongres atau Musyawarah Besar, Demonstrasi dan Agitasi dan Propaganda adalah cerminan dari pola pertama hingga sampai hari ini masih diterapkan oleh gerakan mahasiswa Indonesia, baik skala nasional maupun primordial. Akan tetapi, kita lihat sering terjadi penyimpangan, pemanfaatan dan mengambil kepentingan pribadi dari pola pertama, sehingga mengakibatkan lemahnya gerakan mahasiswa Indonesia dan tidak dipercayai banyak masyarakat.

Tawar-menawar, lobi-lobi, dan perundingan politik adalah bagian daripada pola gerakan kedua yang juga pada saat ini (Era Reformasi) sudah dipakai oleh beberapa gerakan mahasiswa atau organisasi gerakan mahasiswa walaupun di antara sesama mahasiswa masih terdapat perbedaan pendapat tentang perlukah digunakannya metode pola gerakan kedua. Sebagian kelompok dari mahasiswa masih memegang pola pertama dan tidak menyepakati pola kedua dalam gerakan mahasiswa.

Akan tetapi, ada juga sebagain kelompok yang memegang kedua-duanya tergantung melihat situasi keadaan. Antara pola pertama dan pola kedua tidak ada yang salah di dalamnya, tetapi terkadang kita menemukan ada sebagian kelompok yang menyelewengkan kedua pola tersebut, yang tujuannya adalah untuk mencari keuntungan dan atau kepentingan pribadi dari gerakan yang dilakukan.

Menurut penulis, kedua-dua pola tersebut (kelompok pembangun solidaritas dan kelompok administrator) adalah sama-sama dapat dipakai oleh gerakan mahasiswa Indonesia. Hal ini dikatakan karena melihat kondisi Indonesia atau dunia saat ini, di mana sudah terpengaruh oleh arus globalisasi dan modernisasi yang ditandai pesatnya perkembangan segala hal dalam semua aspek yang serba ketergantungan pada kecanggihan tekhnologi.

Pola pertama dan pola kedua tentunya dapat menghasilkan perubahan untuk yang lebih baik, tinggal bagaimana dalam menjalankan kedua konsep tersebut atau strategi-strategi yang dibicarakan tadi dengan benar dan tidak mengambil kepentingan pribadi yang menyusahkan orang banyak. Dengan singkat kita katakan, mahasiswa tetaplah menjaga idealismenya dalam setiap melakukan suatu gerakan untuk perubahan. Seperti yang dikatakan salah satu tokoh pergerakan Indonesia, Tan Malaka, harta yang paling berharga dalam diri pemuda atau mahasiswa adalah idealisme.

Idealisme harus terus dijaga dan dipertahankan oleh setiap mahasiswa dalam gerakan-gerakannya. Seperti apa yang dikatakan oleh aktivis mahasiswa tahun ’60-an, Soe Hok Gie apabila idealisme pemuda atau mahasiswa redup, maka makin banyak korupsi. Mahasiswa berperan sebagai agent of change dan agent of control social baru dapat direalisasikan apabila terus menjaga idealismenya.

Jika kita menyesuaikan dengan kekinian, pola gerakan mahasiswa tentu tidak boleh menjauhi sarana dan prasarana zaman canggih saat ini: zaman kecanggihan tekhnologi dan irformasi. Media sosial online hari ini dapat menjadi media pola gerakan mahasiswa. Jika dahulu sering mengorganisir massa denga terjun langsung ke jalan untuk melaksanakan aksi-aksi protes, tidak dapat kita pungkiri bahwa hari ini dapat dilakukan aksi-aksi protes terhadap sebuah kedzaliman dengan media sosial online yang ada.

Di era saat ini, agitasi dan propaganda pun lebih mudah untuk dilakukan dibanding sebelum zaman internet. Akan tetapi, hal ini rentan dengan penyebaran isu-isu bohong (hoaks) yang membuat gerakan mahasiswa ke arah yang salah, terjadi penipuan dan bahkan dapat menjerat dirinya ke ranah hukum. Sehingga di sini kita perlu pemahaman dan kekritisan yang kuat. Kesimpulan kita butuh pola gerakan yang kritis terhadap sesuatu pun. Sehingga pola gerakan mahasiswa saat ini adalah gerakan mitra kritis, bukan mintra kolaborasi. Mahasiswa harus selalu mengkritisi, bukan memasukkan dirinya dalam kepentingan penguasa atau pemerintah dalam baju kolaborasi.*

Oleh: Ibnu Arsib (Pegiat Literasi dan Mahasiswa FH UISU Medan).

- Advertisement -

Berita Terkini