Taliban Kembali Berkuasa, Kadal Gurun Bersorak Gembira

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Tragedi terjadi di Afghanistan. Melihat ribuan orang berebut masuk bandara, berdesak-desakan, memanjat jembatan menuju pesawat, hati kita terasa ngilu. Begitulah keadaan Afghanistan saat ini, ketika negara runtuh dalam sekejap.

Memang tidak terjadi pertumpahan darah dalam perebutan kekuasaan itu. Tapi teror yang sesungguhnya baru saja dimulai.

Taliban dikenal sebagai teroris bar-bar. Ada pedofil, maniak dan orang-orang kesurupan agama. Mereka menggunakan syariah sebagai alasan untuk menindas yang lain. Terutama perempuan. Ketika Taliban kembali berkuasa di Afghanistan, maka perempuan kembali hidup dalam ancaman.

Lihatlah bagaimana tingkah orang-orang bar-bar itu masuk ke dalam istana kepresidenan. Mereka duduk bersila di atas kursi. Namanya juga teroris. Melihat tingkah mereka saja sudah terasa ngeri.

Pasukan inti Taliban diperkirakan hanya 60.000 orang, sementara para penggembiranya mencapai 200.000 orang. Sedangkan penduduk Afghanistan itu 38 juta orang. Taruhlah jika ada satu juta saja laki-laki yang bersatu dan berjuang melawan Taliban, niscaya tidak semudah itu negara kalah.

Amerika dan sekutunya telah ada di Afghanistan selama dua puluh tahun. Menurut Amerika, mereka telah membakar uang lebih dari seribu triliun dolar. Uang itu digunakan untuk mempersiapkan pertahanan di sana. Melatih prajurit dan memberikan mereka senjata.

Tapi dua puluh tahun kemudian, uang yang begitu besar itu menguap begitu saja. Sia-sia.

Dalam catatan, ada 300.000 pasukan Afghanistan yang dipersenjatai selama ini, tapi mereka entah ke mana. Jangan-jangan, itu hanya angka yang direka-reka para pimpinan korup. Jumlah pasukan sebenarnya tidak sebanyak itu.

Mungkin mereka menduga, Amerika akan tetap menjaga mereka selamanya. Tapi tiba-tiba, suatu hari Amerika merasa lelah. Mereka angkat kaki dari sana.

Persoalan Afghanistan hanya satu, mereka tidak punya nasionalisme. Ketika pasukan Taliban datang ke perbatasan kota, tentaranya malah kabur. Penduduknya juga tak memiliki jiwa heroik untuk melawan teroris. Dan rasa patriotik itu memang tidak dibentuk ketika mereka punya waktu di alam merdeka.

Rasa aman membuat mereka lengah. Akibatnya, sendi negara begitu rapuh. Melawan teroris saja kalah.

Nasionalisme adalah jantung sebuah negara. Amerika yang digdaya saja kalah perang dengan negara miskin bernama Vietnam waktu itu. Karena senjata Vietnam adalah nasionalisme yang berkobar di dada rakyatnya.

Mereka bersatu padu. Mati satu tumbuh seribu. Mereka membangun markas bawah tanah. Perlawanan dilakukan terus-menerus sampai penjajah menyerah.

Untungnya, nasionalisme di Indonesia sangat tinggi. Ketika negara memanggil, misalnya sewaktu bersitegang dengan Malaysia, para pemuda datang mendaftarkan diri dengan sukarela.

Meskipun ada saja pihak yang hendak merong-rong nasionalisme itu di Indonesia. Mereka ingin menggantinya dengan ideologi padang pasir. Hormat bendera haram, jubah dan jenggot menjadi atribut kebanggaan.

Ketika Afghanistan jatuh ke tangan teroris, mereka malah bersorak kegirangan. Mungkin mereka mendambakan hal yang sama terjadi di Indonesia. Orang-orang sakit ini kalah dalam kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu mereka menginginkan kekacauan.

Kejatuhan Afghanistan adalah sebuah tragedi. Dan itu cukup sebagai pelajaran bagi kita di bulan kemerdekaan ini, tentang pentingnya nasionalisme. Jangan sampai Taliban-Taliban lokal berkeliaran dan merongrong rasa cinta tanah air. Karena jika sampai mereka berkuasa, Indonesia yang bhineka ini tidak akan ada lagi.

Oleh : Kajitow Elkayeni

- Advertisement -

Berita Terkini