Strategi Prabowo Semata Berharap Coat-Tail Jokowi, Gak Bahaya Ta?

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

 

Oleh: Agung Wibawanto

Netizen tengah heboh merespon berita kemungkinan Gibran menjadi cawapres Prabowo. Ketimbang yang mendukung, ternyata jauh lebih banyak yang memberi sentimen negatif.

Menariknya, yang merespon negatif tidak hanya berasal dari pendukung Jokowi sendiri, bahan para haters dan juga civil society menyatakan tidak berkenannya.

Respon negatif tersebut menjadi beragam maksudnya. Ada yang mengatakan sebuah pengkhianatan, haus kekuasaan, dinasti politik, aji mumpung, blunder dan sebagainya.

Bagi yang senang, jelas karena keinginan agar Gibran mau menjadi cawapres bakal terkabul. Tapi ada juga yang senang karena Prabowo kalah kemungkinannya lebih besar. Selebihnya senang karena Jokowi-Megawati dianggap pecah kongsi.

Masing-masing curahan perasaan tersebut tentu dilandasi pembenaran dengan argumentasi beragam. Mestinya yang paling tahu dan paham mengapa Gibran berkecenderungan menerima pinangan menjadi cawapres koalisi Indonesia Maju adalah Gibran sendiri, dan atau mungkin juga Jokowi sebagai orangtuanya. Atau jika mengikuti teori konspirasi, ya karena Jokowi sendiri yang menyetingnya demikian.

Semua pendapat dan pandangan tersebut sah-sah saja sepanjang tidak menghakimi secara berlebihan. Netizen sebagai warga net awam bebas mengekspresikan apa yang mereka lihat, dengar, pikirkan dan rasakan.

Terlepas ada yang obyektif maupun subyektif, namanya juga opini. Jokowi sendiri setelah kembali dari lawatannya ke China dan Arab Saudi, menjawab wartawan soal Gibran cawapres dengan enteng.

“Ya orangtua kan hanya tugasnya mendoakan dan merestui, keputusan semuanya karena sudah dewasa. Jangan terlalu mencampuri urusan yang sudah diputuskan anak-anak kita,” ucap Jokowi.

Jokowi sendiri melimpahkan kepada koalisi IM ketika ditanya apakah Prabowo-Gibran pasangan yang cocok. Memang tidak ada ketegasan Jokowi akan posisi Gibran yang berarti akan dianggap melakukan pembangkangan terhadap instruksi partainya, PDIP.

Para pendukung Jokowi, terutama yang tidak mendukung Prabowo terpecah akan kecewa, marah, dan mengatakan Jokowi tidak fair dan tidak loyal, tapi ada pula yang masih meyakini bahwa ini semata strategi Jokowi.

Entah merupakan bentuk penolakan atas realita politik, atau sekadar untuk menenangkan hati saja. Ekspresi tersebut kemudian berseliweran di lini masa medsos, baik fb, Ig, twitter, tiktok ataupun grup wa.

Publik dan pemilih butuh kepastian politik, kepastian sikap, kepastian posisi (siapa yang bakal dianggap berseberangan dan siapa yang sefrekuensi). Kondisi seperti ini tanpa disadari sesungguhnya sangat melelahkan secara fisik dan mental bagi mereka yang memilih berpartisipasi aktif dalam proses pemilu 2024. Meski diakui juga banyak yang apatis dan skeptis, tidak peduli toh tidak mengubah hidup mereka.

Artikel ini tidak dalam posisi ingin meyakinkan pembaca, melainkan hanya memaparkan dan mungkin jika dianggap sebagai other opinion. Yang masih dibaca dan dipahami publik bahwa Jokowi memiliki dua soal yang baginya penting dalam proses transisi kepemimpinan di 2024.

Pertama soal keberlanjutan program dan kebijakan yang sudah dimulainya, dan; kedua, stabilitas politik. Jokowi membutuhkan kepastian kandidat yang kelak menggantikannya.

Sejauh ini sudah ada dua figur yang siap dan diyakini untuk itu, yakni: Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto. Bagi Jokowi, penting untuk menjaga keduanya terlebih kelak memenangi Pilpres (asal bukan Kubu Perubahan). Kedua, Jokowi telah menempatkan kelompok Islam fundamentalis atau garis keras, sebagai anasir yang dianggap bisa mengganggu stabilitas bangsa.

Untuk itu sedikit mungkin ia mengeliminir kesertaan kelompok tersebut dalam proses pilpres. Sejauh ini, kedua soal tersebut nyata berhasil diwujudkan. Ganjar dan Prabowo masih berada on the track kontestasi, begitupun kelompok Islam fundamentalis tidak lagi terlibat dalam prosesnya. Jokowi tidak ingin terjebak dalam dukung-mendukung dua calon yang sudah “disiapkannya”.

Siapapun yang menang, yang penting salah satu dari dua kandidat tersebut. Terlebih sebagai presiden, Jokowi tidak akan mungkin eksplisit menyatakan dukungan kepada satu pihak.

Biasanya, yang bisa dilakukan secara pribadi adalah memberi kode-kode. Yang diketahui publik, Jokowi setidaknya memberi tiga kali “kode” secara jelas kepada Ganjar.

Pertama dengan menyebut istilah “rambut putih”. Kedua dengan membuatkan konsep baju identitas hitam putih garis-garis, dan terakhir mengatakan “Setelah dilantik…”

Sedangkan kepada Prabowo hanya sekali yang bisa dianggap sebagai kode keras, yakni ketika Jokowi mengatakan “Mungkin giliran pak Prabowo…” Namun dalam banyak kesempatan, Prabowo lebih mendapat porsi lebih berdampingan dengan Jokowi.

Hingga terakhir Prabowo meminang Gibran sebagai bacawapresnya. Apakah ini merupakan rencananya Jokowi? Ataukah ini pilihan politik pribadinya Gibran semata, atau sekadar bagian strategi pemenangannyan Prabowo yang berarti bakal menggembosi PDIP (partainya Gibran dan Jokowi)? Atau bahkan Jokowi tidak mengetahuinya, di luar rencananya?

Yang menarik, beberapa sumber di kalangan PDIP sendiri merasa enteng saja. Justru menganggap kubu Prabowo yang terkena jebakan betmen PDIP jika Gibran jadi bacawapres Prabowo.

Mereka menganggap elektabilitas Gibran hanya kuat di Jawa tengah, itupun juga faktor PDIP. Jauh lebih besar dan menyebar elektabilitas Erick Thohir, Khofifah ataupun Ridwan Kamil. Ketiga mereka sudah malang melintang sebagai tokoh tingkat nasional.

Dengan begitu, PDIP tidak terlihat terlalu resah apalagi hingga kebakaran jenggot. Jikapun ada lara, itu dapat dikapitalisasi sebagai bentuk simpati publik kepada PDIP karena dianggap dikhianati Gibran.

Sebaliknya, citra Gibran sebagai sosok politik muda yang santun dan loyal menjadi merosot jauh. Hal lain, PDIP bisa lebih terbebas tanpa bayang-bayang ataupun dugaan-dugaan mengistimewakan anak presiden.

PDIP bisa menunjukkan sebagai partai besar tanpa perlu coat tail Jokowi, seperti yang dilakukan kubu Prabowo. Publik tahu, Prabowo sangat butuh Jokowi effect yang mereka anggap cukup kuat untuk memenangkan kontestasi pilpres.

Strategi “menempel” Jokowi sudah dilakukan sejak awal, hingga merekrut relawan Projo dan meminang Gibran sebagai bacawapres. Jelas tujuannya menambah suara Prabowo, sekaligus menggemboskan pemilih Ganjar-Mahfud.

Jika komposisi kandidat capres-cawapres ini benar terjadi, maka tinggal menanti hari valentine tahun depan (14/2/2024) yang sekaligus hari pencoblosan sebagai pembuktian. Apakah tesis di atas benar? Yakni, Prabowo menang karena strategi coat tail Jokowi, atau sebaliknya.

Ganjar-Mahfud menang pilpres dan PDIP terunggul di pileg tanpa bayang-bayang Jokowi, sekaligus menunjukan strategi Prabowo salah. Kemudian, langkah Gibran bisa dianggap tragis dan sia-sia.

- Advertisement -

Berita Terkini