Keputusan MK: Mengukur Peluang Gibran Maju Sebagai Cawapres Prabowo

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

 

Oleh: Agung Wibawanto

Sebagai mantan mahasiswa program magister hukum konstitusi, peristiwa hukum terkait keputusan MK beberapa hari kemarin bagi saya menjadi penting.

Pentingnya karena melibatkan institusi ataupun lembaga negara diantaranya MK dan KPU. Turunannya, ada pula nama Gibran, Wali Kota Solo sekaligus putera presiden Jokowi, yang terpaksa diseret-seret dalam kasus tersebut.

MK telah memutuskan perkara permohonan uji materi UU Pemilu dan PKPU terkait batas usia minimal peserta pilpres. Diketahui, MK mengabulkan sebagian permohonan dengan menambahkan frasa batas usia capres/cawapres minimal 40 tahun atau pernah/sedang menjabat kepala daerah. Di sini soalnya yang kemudian berkembang menjadi perdebatan kalangan pengamat hukum.

Pertama, MK seharusnya, sebagai lembaga yang memiliki kewenangan menguji materi UU, hanyalah memutuskan menerima atau menolak permohonan. Bukan mengubah, menambah ataupun membuat norma baru.

Yang dapat melakukan itu seharusnya adalah lembaga legislatif (DPR) sebagai pembuat UU. Sedang dikaji kemudian apakah MK tidak berlaku supra petitum.

Kedua, materi ini bisa dikatakan sangat politis, meski bisa juga berlaku umum. Dikaitkan nama Gibran yang diusulkan sebagai bakal cawapres Prabowo.

Namun karena Gibran masih berusia 36 tahun, maka diajukanlah permohonan gugatan batas usia minimal 40 tahun. Perkara usia sudah diputus untuk ditolak oleh MK, namun ada opsi usulan lain, yakni “pernah menjabat kepala daerah”.

Ketiga, sesungguhnya terjadi disenting opinion di antara 9 hakim yang masing-masing berdiri independen. Empat hakim menolak keseluruhan permohonan termasuk penambahan frasa “pernah atau sedang menjabat kepala daerah”.

Lima hakim yang menerima pun ada dua yang mengatakan yang dimaksud kepala daerah itu setingkat Gubernur. Jadi, hanya tiga hakim yang mengatakan termasuk bupati/walikota.

Keempat, implikasi dari isu Gibran yang terkait dengan materi gugatan batas usia minimal, menyebabkan posisi Ketua MK, sebagai paman Gibran atau adik dari presiden Jokowi, menjadi cukup resisten.

Ketua MK, Anwar Usman, dipandang tidak pantas memutus perkara terkait dirinya. “Dirinya” yang dimaksud, adalah keponakannya sendiri yakni Gibran. Adakah ini pelanggaran etika hakim konstitusi?

Implikasi yang lebih jauh, apakah produk hukum berupa keputusan MK tersebut (melihat ketidak-laziman yang terjadi), bisa dinyatakan sah atau justru inkonstitusional?

Permasalah tidak hanya sampai di situ, lalu bagaimana tindak lanjut keputusan MK tersebut? Keputusan MK yang sudah inkrah memang akan mengikat bagi pelaku (institusi) terkait dan tidak ada upaya banding.

KPU pun dalam hal ini sebagai pihak termohon telah menyatakan patuh dan segera melaksanakan keputusan MK. Apakah berarti Gibran sudah bisa dinyatakan boleh dan akan didaftarkan menjadi cawapres?

Dalam pandangan saya, secara de jure keputusan MK itu sudah berlaku, namun tidak secara administrasinya. Terdapat beberapa klausul yang mengatur tindak-lanjut keputusan MK terhadap sebuah produk undang-undang.

Produk UU yang usai di-uji materi oleh MK, jika dinyatakan dikabulkan gugatan uji materi, maka harus dikembalikan kepada pembuat UU tersebut guna direvisi dan dibuatkan nomer baru serta tercatat dalam lembar negara.

Setelah itu barulah diundangkan kembali. Cek UU 12/2011 Pasal 10 ayat 1 huruf d dan ayat 2 di mana disyaratkan tindak lanjut putusan MK dilakukan oleh DPR atau presiden.

Itu artinya, ketika menyangkut muatan hukum baru maka wajib masuk ke ranah kerja atau kewenangan DPR dan/atau presiden. Cek pula pasal 75 ayat 4 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang berbunyi “Dalam hal KPU membentuk Peraturan KPU yang berkaitan dengan pelaksanaan tahapan Pemilu, KPU wajib, berkonsultasi dengan DPR dan pemerintah melalui rapat dengar pendapat”.

Di sini kembali terjadi kondisi yang tidak lazim. Di tengah KPU yang dikejar waktu agenda pemilu (pendaftaran pasangan capres/cawapres) 19-29 Oktober, KPU juga diharuskan melakukan “konsultasi” kepada DPR dan Pemerintah.

Sementara itu, DPR sendiri kini tengah reses hingga 30 Oktober 2023. Sebenarnya tidak diatur jelas soal teknis konsultasi tersebut, untuk itu KPU berinisiatif melakukannya melalui surat tertulis baik kepada DPR maupun pemerintah.

Mungkin karena kondisi ini pula yang menyebabkan kubu koalisi Indonesia Maju masih belum mendeklarasikan pasangan Prabowo sebagai bakal cawapres. Pasangan yang dimaksud adalah Gibran.

Gerindra beserta partai koalisi belum berani, selain juga pertimbangan Gibran sendiri yang sedari awal mensyaratkan tidak melanggar ketentuan hukum. Masih ada waktu sepuluh hari ke depan hingga batas akhir pendaftaran pasangan capres-cawapres.

Katakan dalam rentang waktu di bawah 29 Oktober 2023 PKPU sudah direvisi berdasar UU yang juga sudah disesuaikan dengan keputusan MK, apakah Gibran dipastikan menjadi bakal cawapres? Belum juga. Ada aturan hukum lain serta aturan etika politik yang harus dilalui Gibran.

Apa itu? Dalam UU Pemilu disebutkan bakal capres/cawapres yang sedang menjabat sebagai kepala daerah/wakil kepala daerah wajib mengajukan izin kepada presiden yang lalu perizinan tersebut diserahkan kepada KPU sebagai bagian persyaratan.

Gibran sebagai Wali Kota Solo harus menghadap atau membuat surat meminta izin kepada Presiden Jokowi yang nota bene ayahnya sendiri. Kembali, saya menyangsikan Jokowi akan memberi izin, atau bisa saja Jokowi tidak memberi izin.

Ini soal etika politik, sesuatu yang dipegang teguh oleh Jokowi. Ia tidak ingin meninggalkan legacy yang dianggap mencemarkan namanya dituduh haus kekuasaan dengan meloloskan anaknya ikut kontestasi pilpres.

Dalam kondisi normal alias tidak ada drama serta kesan dipaksakan, mungkin Jokowi dengan mudah memutuskan. Namun tidak pada saat ini. Publik pun sudah mencap jika Jokowi ingin melanggengkan kekuasaan melalui keputusan MK, di mana di situ ada adik iparnya.

Banyak pendukung fanatiknya yang kini mulai berbalik menyatakan tidak suka bahkan muak dengan semua previleage untuk memaksakan Gibran berkuasa. Kita tidak pernah tahu apa yang ada di dalam hati dan kepala Jokowi.

Sedangkan aturan etika politik yang harus dilalui Gibran adalah ketika menghadapi partainya sendiri, PDIP. Sebagai kader, Gibran paham betul wajib hukumnya mendukung untuk memenangkan pasangan Ganjar-Mahfud yang diusung PDIP.

Bukan malah turut berkompetisi dalam kontestasi pilpres. Jika Gibran nekad menerima pinangan Prabowo, maka dipastikan Gibran dinyatakan bukan sebagai kader PDIP lagi.

Mungkinkah Gibran mengorbankan atau menghianati PDIP yang sudah memungkinkannya menjadi Wali Kota Solo?

Hal yang sama sekali tidak pernah diajarkan ayahnya sendiri, Jokowi, sejak menjabat Wali Kota Solo tahun 2004 (2 periode) hingga Gubernur DKI Jakarta 2012 dan terakhir sebagai Presiden RI 2014 (2 periode).

Semuanya dilalui dengan tetap loyal kepada partainya, PDIP. Kembali untuk yang terakhir, saya tidak yakin Gibran memilih jalan ninja itu hanya sekadar ambisi kekuasaan semata.

Artikulli paraprak
Artikulli tjetër
- Advertisement -

Berita Terkini