Organisasi Profesi Pasca UU No. 17 Tahun 2023: Membangun Rumah Besar yang Nyaman dan Bermakna bagi Anggota

Breaking News
- Advertisement -

 

Oleh : Anton Christanto Dewan Pertimbangan Pengurus Perhati-KL cabang Solo 2025-2028

Era Baru Organisasi Profesi

Mudanrws.com OPINI – Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan merupakan tonggak sejarah baru dalam perjalanan sistem kesehatan di Indonesia. Salah satu dampak paling besar dan langsung terasa adalah pergeseran paradigma dalam posisi dan fungsi organisasi profesi — khususnya profesi dokter, perawat, bidan, dan tenaga kesehatan lainnya.

Selama hampir lima dekade terakhir, organisasi profesi seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Perhimpunan Dokter Spesialis (misalnya PERHATI-KL) memegang peranan strategis dan dominan. Organisasi ini menjadi pusat identitas, pengawasan etik, pembinaan keilmuan, hingga pelindung martabat profesi dokter di Indonesia.

Namun, setelah berlakunya UU No. 17 Tahun 2023, kewajiban menjadi anggota organisasi profesi dihapuskan.
Status organisasi profesi berubah: dari lembaga quasi-regulator (yang memiliki kewenangan fungsional dan etik) menjadi organisasi kemasyarakatan (ormas) yang kedudukannya sejajar dengan organisasi lain di luar pemerintah.

Perubahan ini menimbulkan shock system di kalangan tenaga medis.
Sebagian menyambut dengan semangat reformasi, sebagian lain merasa kehilangan arah dan khawatir bahwa semangat profesi akan melemah.

Namun di balik kekhawatiran itu, ada peluang besar:
momentum ini justru menjadi saat terbaik bagi organisasi profesi untuk menata ulang dirinya — bukan sekadar sebagai “pengatur profesi”, tetapi sebagai rumah besar yang benar-benar dibutuhkan dan dicintai anggotanya.

Hilangnya Kewajiban, Munculnya Tantangan Loyalitas

Sebelum berlakunya UU Kesehatan 2023, keanggotaan organisasi profesi bersifat wajib.
Seorang dokter tidak dapat memperoleh surat tanda registrasi (STR) atau izin praktik (SIP) tanpa keanggotaan aktif di IDI dan perhimpunan spesialis terkait.

Kini, dengan sistem baru, keanggotaan menjadi pilihan sukarela.
Secara hukum, seorang dokter dapat memperoleh STR dan SIP tanpa harus menjadi anggota IDI atau PERHATI-KL.

Dampak praktisnya mulai terlihat:

Banyak dokter muda (fresh graduate) yang tidak lagi mendaftar menjadi anggota IDI.

Sebagian anggota lama menjadi pasif, tidak lagi membayar iuran, atau merasa tidak perlu mengikuti kegiatan organisasi

* Di tingkat spesialis, muncul tren baru: dokter THT–BKL lulusan baru mulai tidak mendaftar di PERHATI-KL, karena merasa tidak ada keharusan administratif untuk itu.

Kondisi ini menandai menurunnya ikatan emosional dan fungsional antara organisasi dan anggotanya.
Jika fenomena ini terus dibiarkan, organisasi profesi akan kehilangan basis sosialnya. Ia akan menjadi “menara gading” — besar secara struktur, tetapi kosong secara makna.

Erosi Kewenangan Organisasi Profesi

Dampak kedua dari UU No. 17 Tahun 2023 adalah berkurangnya kewenangan fungsional organisasi profesi.
Sebelumnya, organisasi profesi memiliki tiga fungsi utama:
1. Pembinaan kompetensi (melalui pendidikan berkelanjutan dan sertifikasi),
2. Penegakan etika dan disiplin profesi,
3. Perlindungan dan advokasi anggota.

Namun kini, fungsi-fungsi tersebut diambil alih atau dipersempit oleh Pemerintah dan lembaga yang dibentuk berdasarkan UU.
Contohnya :

* Penegakan disiplin dokter dilakukan oleh Majelis Disiplin Profesi (MDP) di bawah koordinasi Pemerintah.

* Sertifikasi kompetensi dilakukan oleh Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) dengan mekanisme yang tidak lagi sepenuhnya berada di bawah organisasi profesi.
Akibatnya, fungsi kontrol terhadap kompetensi dan etik yang selama ini dijalankan oleh organisasi profesi menjadi tergerus.
Organisasi profesi kehilangan sebagian otoritas formalnya, dan hanya bisa bertumpu pada kekuatan moral serta kepercayaan anggota.

Sentralisasi Baru dan Risiko Politisasi Profesi

UU No. 17 Tahun 2023 juga memperkuat peran Pemerintah sebagai pengendali utama sistem kesehatan nasional.
Hampir semua aspek — pendidikan, registrasi, sertifikasi, pelayanan, hingga disiplin profesi — berada di bawah kendali administratif Pemerintah.

Di satu sisi, tujuan UU ini adalah meningkatkan standar dan akuntabilitas sistem kesehatan nasional agar lebih terintegrasi dan efisien.
Namun di sisi lain, peningkatan kontrol Pemerintah membawa risiko baru:

1. Birokratisasi profesi medis, di mana setiap langkah dokter diatur oleh regulasi administratif yang panjang.

2. Politisasi profesi, ketika kebijakan kesehatan atau keputusan etik dapat dipengaruhi oleh pertimbangan nonprofesional, bahkan kepentingan politik jangka pendek.

Jika dibiarkan, kondisi ini dapat mengikis independensi moral profesi kedokteran.
Dokter akan kehilangan kemandiriannya sebagai profesi mulia (noble profession) yang berorientasi pada kepentingan pasien, bukan pada kekuasaan atau kebijakan.

Kebutuhan Akan Penegakan Etika yang Berkeadilan dan Independen

Dalam sistem baru ini, penting untuk menegaskan bahwa penegakan kode etik profesi tetap menjadi ruh dari profesi kedokteran.
Kode etik bukan hanya seperangkat aturan, tetapi perisai moral yang menjaga martabat profesi di mata masyarakat.

Namun agar penegakan etik memberikan kemanfaatan hukum, maka:

* Ia harus dilakukan oleh lembaga yang berwenang secara atributif (diatur oleh peraturan perundangan),

* Bersifat independen dari kekuasaan politik maupun administratif

* Dan bekerja dengan prinsip adil, objektif, dan berorientasi pada kemaslahatan dokter serta pasien.

Artinya, fungsi pembinaan dan pengawasan etika oleh Pemerintah harus tetap membuka ruang bagi kolaborasi dengan lembaga etik profesi seperti MKEK IDI, BKEK PERHATI-KL, dan Majelis Disiplin Profesi (MDP).
Sebab, hanya organisasi profesi yang benar-benar memahami konteks etik profesi dari dalam.

Keadilan dan Asas Pemerintahan yang Baik

Dalam kerangka keadilan, fungsi pembinaan dan pengawasan Pemerintah terhadap profesi harus bersifat independen dan proporsional.
Kebijakan tidak boleh mencampuri urusan etik dan moral yang menjadi domain profesi.

Menurut prinsip Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB), setiap tindakan Pemerintah harus:

* Proporsional terhadap tujuan yang ingin dicapai,

* Tidak diskriminatif,

* Transparan dan dapat dipertanggungjawabkan,

* Dan berorientasi pada kemanfaatan publik.

Dengan demikian, pembinaan dan pengawasan profesi oleh Pemerintah harus bertujuan menjaga marwah profesi dokter, bukan menguasainya.
Profesionalitas dokter tidak dapat diatur hanya dengan regulasi — tetapi harus tumbuh dari kesadaran etik dan tanggung jawab moral.

Dari Organisasi “Regulatif” ke Organisasi “Pelayanan”

Perubahan ini menuntut transformasi paradigma organisasi profesi.
Organisasi profesi tidak lagi bisa berdiri di atas otoritas “kewajiban keanggotaan”,
tetapi harus berdiri di atas kepercayaan dan kebutuhan anggotanya.

Artinya, organisasi harus berubah dari:

* “Mengatur anggota” → menjadi “Melayani anggota”,

* “Menuntut loyalitas” → menjadi

“Membangun kepercayaan”,

* “Berorientasi pada struktur” → menjadi

“Berorientasi pada manfaat.”

Perubahan paradigma ini adalah inti dari masa depan organisasi profesi.
Tanpa transformasi ini, organisasi akan ditinggalkan oleh generasi muda yang lebih kritis dan pragmatis.

Rumah Besar: Metafora Organisasi Profesi yang Ideal

Organisasi profesi ideal bukanlah menara penguasa, melainkan rumah besar — tempat setiap anggotanya merasa memiliki dan dilindungi.

Rumah besar memiliki tiga makna penting:

1. Tempat pulang: di mana setiap dokter, muda atau senior, merasa aman dan diterima

2. Tempat tumbuh: di mana pengetahuan, etika, dan kesejahteraan berkembang bersama.

3. Tempat berjuang: di mana solidaritas sejawat menjadi kekuatan moral untuk melayani bangsa.

Rumah besar bukan dibangun dengan kekuasaan, tetapi dengan rasa memiliki dan kebersamaan.
Dan rasa memiliki hanya lahir dari pengalaman bahwa organisasi memberi manfaat nyata — bukan sekadar menuntut kewajiban.

Strategi Membangun Rumah Besar Organisasi Profesi

Agar organisasi profesi tetap hidup dan diminati di era baru, beberapa strategi perlu dilakukan secara sistematis:

1. Menempatkan Anggota sebagai Pusat Kebijakan

Setiap kebijakan organisasi harus dimulai dengan pertanyaan:
“Apakah ini bermanfaat bagi anggota?”

Kebutuhan anggota — bukan kepentingan pengurus — harus menjadi orientasi utama.
Misalnya: program pendidikan berkelanjutan (P2KB), advokasi hukum, dan kesejahteraan sosial harus nyata dan terukur.

2. Transparansi dan Akuntabilitas

Anggota ingin tahu ke mana arah organisasi berjalan, bagaimana dana digunakan, dan bagaimana keputusan diambil.
Laporan keuangan, hasil sidang, dan kebijakan harus dipublikasikan secara terbuka.

3. Digitalisasi Organisasi

Era digital menuntut efisiensi. Semua layanan — keanggotaan, sertifikasi, pelatihan, iuran — harus bisa dilakukan secara daring melalui sistem terintegrasi.
Organisasi yang lambat beradaptasi akan tertinggal.

4. Program Kesejahteraan dan Perlindungan Profesi

Organisasi profesi harus menjadi pelindung nyata, bukan simbolik.
Program asuransi tanggung gugat profesi, koperasi, beasiswa, bantuan hukum, hingga dana solidaritas sejawat harus diperkuat.

5. Kedekatan Sosial dan Emosional

Cabang-cabang daerah harus hidup.
Kegiatan sosial, ilmiah, dan kemanusiaan di tingkat lokal akan memperkuat ikatan antar sejawat dan menjadikan organisasi relevan di mata anggotanya.

6. Kaderisasi dan Regenerasi

Generasi muda dokter memiliki pola pikir dan gaya komunikasi berbeda.
Mereka harus dilibatkan dalam struktur dan diberi ruang untuk berinovasi.
Organisasi tanpa regenerasi akan kehilangan napas.

Tantangan di Lapangan: Fragmentasi dan Ketimpangan Wilayah

Salah satu masalah terbesar organisasi profesi di Indonesia adalah luasnya wilayah NKRI dan ketimpangan antar daerah.
Masalah anggota di Jawa tidak sama dengan di Papua.
Cabang besar seperti Jakarta atau Surabaya memiliki ribuan anggota aktif dan kegiatan ilmiah rutin, sedangkan cabang kecil di wilayah timur sering kekurangan sumber daya.

Akibatnya, pengurus pusat kesulitan memahami masalah nyata di lapangan.
Inventarisasi anggota tidak selalu akurat, komunikasi tersendat, dan banyak program pusat tidak “membumi.”

Karena itu, penguatan cabang dan pembentukan wilayah menjadi kunci.
Perhati-KL misalnya, membutuhkan struktur pengurus wilayah untuk menjembatani komunikasi dan koordinasi antara pusat dan cabang.
Dengan demikian, solusi dapat disesuaikan dengan kearifan lokal dan konteks daerah masing-masing.

UU Kesehatan dan Masa Depan Otonomi Profesi

Banyak pihak khawatir bahwa UU Kesehatan 2023 akan menghapus otonomi profesi.
Namun sesungguhnya, undang-undang ini tidak menghapus otonomi moral profesi, melainkan menantang profesi untuk membuktikan relevansi dan kapasitas organisasinya.

Pemerintah hanya akan menghormati organisasi yang mampu menunjukkan:
* Profesionalitas dalam pembinaan,
* Kredibilitas dalam etika,
* Akuntabilitas dalam keuangan,
* Dan manfaat nyata bagi masyarakat.

Jika organisasi gagal memenuhi kriteria itu, maka wajar jika Pemerintah mengambil alih peran yang dianggap tidak dijalankan dengan baik.

Artinya, masa depan profesi ada di tangan organisasi itu sendiri.
Bukan di tangan undang-undang, bukan di tangan Pemerintah.

Momentum Reformasi Profesi

UU No. 17 Tahun 2023 harus dibaca bukan sebagai ancaman, tetapi sebagai momentum reformasi profesi.

Reformasi ini memanggil kita untuk:
* Meninggalkan budaya birokratis dan hierarkis,
* Membangun kultur kolaboratif, transparan, dan profesional,
* Mengembalikan organisasi profesi pada jati dirinya: sebagai pelayan anggota dan penjaga martabat profesi.

Dari PERHATI-KL untuk Indonesia

Sebagai contoh, PERHATI-KL kini tengah bertransformasi menuju organisasi yang CERDAS:
* Cendekia dalam ilmu,
* Etis dalam sikap,
* Rasional dalam kebijakan,
* Digital dalam tata kelola,
* Advokatif dalam perlindungan profesi,
* dan Sejahtera sebagai tujuan.

Melalui visi ini, PERHATI-KL ingin membangun rumah besar profesi THT–BKL yang kuat, modern, dan inklusif —
rumah tempat sejawat dapat tumbuh bersama dan berkontribusi bagi bangsa.

Take Home Massage: Kembali ke Rumah

Kini, keanggotaan di organisasi profesi bukan kewajiban, tetapi panggilan hati.
Organisasi profesi tidak lagi bisa memaksa dokter untuk bergabung.
Sebaliknya, harus membuat dokter merasa kehilangan jika tidak menjadi bagian darinya.

Rumah besar profesi harus dibangun kembali — bukan dengan kekuasaan, tetapi dengan kepercayaan dan kasih sejawat.

IDI, PERHATI-KL, dan organisasi profesi lainnya harus menjawab pertanyaan besar zaman ini:

Apakah kita masih layak disebut rumah besar profesi dokter Indonesia?

Jika jawabannya ya, maka kita harus membuktikannya:
* Dengan ilmu yang cendekia,
* Etika yang luhur,
* Kebijakan yang rasional,
* Tata kelola yang digital,
* Perlindungan yang advokatif,
* Dan kesejahteraan yang nyata.

Itulah makna sejati dari organisasi profesi yang hidup dan dicintai.
Bukan karena diwajibkan undang-undang,
tetapi karena menjadi bagian dari jiwa dan pengabdian dokter Indonesia

PERHATI-KL & IDI bukan sekadar organisasi. Mereka adalah rumah tempat kita belajar menjadi dokter yang lebih baik, manusia yang lebih bermakna, dan bangsa yang lebih sehat.

Selamat bertugas Ketua Umum Pengurus Pusat Perhati-KL masa bakti 2025-2028.
Prof. Dr. dr. Achmad Chusnu Romdhoni, Sp.T.H.T.B.K.L., Subsp. Onk. (K). @one4donperhatikl @romdhoni_ac

Semoga diberikan kelancaran dalam menjalankan amanah.***

#PERHATIKL #PerhatiKL #perhatiklindonesia

Berita Terkini