𝐊𝐨𝐫𝐮𝐩𝐬𝐢 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐊𝐢𝐚𝐧 𝐌𝐞𝐧𝐣𝐚𝐝𝐢: 𝐒𝐚𝐚𝐭 𝐁𝐚𝐧𝐠𝐬𝐚 𝐈𝐧𝐢 𝐇𝐚𝐫𝐮𝐬 𝐁𝐞𝐫𝐚𝐧𝐢 𝐌𝐞𝐦𝐮𝐭𝐮𝐬 𝐋𝐢𝐧𝐠𝐤𝐚𝐫𝐚𝐧 𝐁𝐮𝐬𝐮𝐤𝐧𝐲𝐚 𝐒𝐞𝐧𝐝𝐢𝐫𝐢

Breaking News
- Advertisement -

𝐋𝐮𝐤𝐚 𝐋𝐚𝐦𝐚 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐓𝐚𝐤 𝐊𝐮𝐧𝐣𝐮𝐧𝐠 𝐒𝐞𝐦𝐛𝐮𝐡

Oleh : Drs. Muhammad Bardansyah. Ch. Cht

Mudanews – Opini |  Setiap kali berita tentang korupsi muncul di layar televisi, masyarakat Indonesia seperti sudah kehilangan rasa terkejut. Kita menatap layar dengan pasrah, lalu menghela napas panjang: “Ah, korupsi lagi.”

Ironisnya, kebiasaan menghela napas itu kini menjadi simbol kepasrahan kolektif bangsa ini. Seolah korupsi adalah bagian dari takdir yang tak bisa diubah. Padahal, korupsi bukanlah warisan genetik; ia adalah penyakit sosial dan politik yang tumbuh dari sistem yang salah urus, moral yang kian rapuh, dan keteladanan yang hilang.

Menurut Transparency International (2024), Indeks Persepsi Korupsi (CPI) Indonesia berada di skor 34 dari 100, menurun dibanding tahun-tahun sebelumnya dan masih jauh di bawah Singapura (83), Korea Selatan (63), bahkan Malaysia (47). Angka itu bukan sekadar statistik ia adalah cermin bahwa bangsa ini masih gagal menegakkan integritas dalam mengelola amanah publik.

Namun, korupsi di Indonesia bukan sekadar soal hukum, tapi soal mentalitas dan sistem yang saling menopang dalam lingkar busuk kekuasaan.

𝐀𝐧𝐚𝐭𝐨𝐦𝐢 𝐊𝐨𝐫𝐮𝐩𝐬𝐢 𝐝𝐢 𝐈𝐧𝐝𝐨𝐧𝐞𝐬𝐢𝐚: 𝐃𝐚𝐫𝐢 𝐁𝐮𝐝𝐚𝐲𝐚 𝐡𝐢𝐧𝐠𝐠𝐚 𝐒𝐢𝐬𝐭𝐞𝐦

Korupsi di Indonesia tumbuh dari dua akar: kultur patronase dan struktur politik yang longgar dalam pengawasan.
Budaya asal bapak senang (ABS), nepotisme, serta sikap permisif terhadap gratifikasi sudah lama berurat-akar sejak masa kolonial.

Dulu, jabatan publik sering kali dianggap sebagai “ladang rezeki” bukan “amanah”. Warisan mental seperti inilah yang kemudian diteruskan dari satu generasi birokrat ke generasi berikutnya.

Dalam konteks politik modern, sistem yang terlalu mahal untuk menjadi pejabat publik memperparah keadaan.
Pemilu yang membutuhkan biaya tinggi membuat banyak calon pejabat mencari “investor politik”. Setelah berkuasa, mereka membayar kembali “utang politik” itu melalui proyek, komisi, dan bagi-bagi rente kekuasaan.
Inilah lingkaran setan korupsi: uang melahirkan kekuasaan, dan kekuasaan melahirkan uang.

Sementara itu, lembaga penegak hukum sering terjebak dalam paradoks: mereka yang seharusnya membersihkan sistem, justru kadang menjadi bagian darinya.

Undang-undang antikorupsi sudah kuat, tapi pelaksanaannya sering kali lemah tumpul ke atas, tajam ke bawah. Hukuman penjara tidak membuat jera karena tidak disertai sanksi sosial, pengembalian aset negara, dan stigma publik yang memalukan bagi pelaku.

𝐌𝐞𝐧𝐠𝐚𝐩𝐚 𝐊𝐨𝐫𝐮𝐩𝐬𝐢 𝐒𝐮𝐥𝐢𝐭 𝐃𝐢𝐛𝐞𝐫𝐚𝐧𝐭𝐚𝐬? (𝐀𝐧𝐚𝐥𝐢𝐬𝐢𝐬 𝐒𝐭𝐫𝐮𝐤𝐭𝐮𝐫𝐚𝐥 𝐝𝐚𝐧 𝐌𝐨𝐫𝐚𝐥)

Korupsi di Indonesia bukan sekadar tindakan individu serakah, tapi sindrom sistemik.
Menurut Robert Klitgaard (1998), korupsi muncul ketika seseorang memiliki monopoli kekuasaan, diskresi yang besar, dan minim akuntabilitas.

Rumus ini sangat cocok menggambarkan Indonesia. Banyak pejabat publik memiliki keleluasaan mengambil keputusan besar tanpa mekanisme kontrol yang efektif.

Dari sisi moral, ada krisis yang lebih dalam kehilangan rasa malu dan tanggung jawab publik.
Korupsi dianggap “risiko jabatan”, bukan dosa sosial.

Sementara masyarakat sering kali memaafkan atau bahkan mengidolakan koruptor yang “dermawan”.
Mereka lupa bahwa setiap rupiah yang dikorupsi berarti satu anak gagal mendapat gizi, satu desa gagal memiliki jembatan, dan satu keluarga tetap miskin karena keadilan tidak hadir.

Lebih parah lagi, pendidikan moral dan integritas sering hanya menjadi slogan di ruang kelas tanpa teladan nyata dari para pemimpin.
Di sinilah inti persoalan: ketika elite kehilangan moral, rakyat kehilangan arah.

𝐁𝐞𝐥𝐚𝐣𝐚𝐫 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐍𝐞𝐠𝐚𝐫𝐚 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐁𝐞𝐫𝐡𝐚𝐬𝐢𝐥: 𝐂𝐡𝐢𝐧𝐚, 𝐒𝐢𝐧𝐠𝐚𝐩𝐮𝐫𝐚, 𝐝𝐚𝐧 𝐊𝐨𝐫𝐞𝐚 𝐒𝐞𝐥𝐚𝐭𝐚𝐧

𝐂𝐡𝐢𝐧𝐚: 𝐊𝐞𝐭𝐞𝐠𝐚𝐬𝐚𝐧 𝐬𝐞𝐛𝐚𝐠𝐚𝐢 𝐓𝐞𝐫𝐚𝐩𝐢 𝐍𝐚𝐬𝐢𝐨𝐧𝐚𝐥
Di bawah kepemimpinan Xi Jinping, China melancarkan kampanye besar-besaran melawan korupsi yang disebut Tigers and Flies Campaign atau memburu pejabat besar (tigers) dan kecil (flies) tanpa pandang bulu.

Sejak 2012, lebih dari 3 juta pejabat telah diselidiki (Central Commission for Discipline Inspection, 2023). Hukuman berat, termasuk hukuman mati, diberlakukan untuk kasus besar.

Namun, kunci sukses China bukan hanya ketegasan hukum, tetapi juga konsistensi politik: tidak ada “orang yang terlalu besar untuk dihukum”. Itu yang belum dimiliki Indonesia.

𝐒𝐢𝐧𝐠𝐚𝐩𝐮𝐫𝐚: 𝐈𝐧𝐭𝐞𝐠𝐫𝐢𝐭𝐚𝐬 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐃𝐢𝐭𝐚𝐧𝐚𝐦 𝐒𝐞𝐣𝐚𝐤 𝐃𝐢𝐧𝐢
Singapura adalah contoh ekstrem dari zero tolerance. Sejak masa Lee Kuan Yew, pemerintah membangun sistem birokrasi berbasis merit, menggaji pejabat tinggi dengan layak, dan menanamkan nilai bahwa korupsi adalah aib nasional.

Bureau for Corrupt Practices Investigation (CPIB) memiliki kewenangan luas dan independen bahkan untuk memeriksa menteri.
Lebih dari itu, pendidikan moral dan publikasi kasus korupsi dilakukan terbuka agar rakyat tahu bahwa kejujuran adalah new normal.
Lee Kuan Yew pernah berkata:
“𝘐𝘧 𝘺𝘰𝘶 𝘸𝘢𝘯𝘵 𝘵𝘰 𝘴𝘵𝘰𝘱 𝘤𝘰𝘳𝘳𝘶𝘱𝘵𝘪𝘰𝘯, 𝘺𝘰𝘶 𝘮𝘶𝘴𝘵 𝘣𝘦 𝘸𝘪𝘭𝘭𝘪𝘯𝘨 𝘵𝘰 𝘴𝘵𝘢𝘳𝘵 𝘸𝘪𝘵𝘩 𝘺𝘰𝘶𝘳 𝘧𝘳𝘪𝘦𝘯𝘥𝘴.”

Sebuah pelajaran keras tentang integritas yang tidak bisa dinegosiasikan.

𝐊𝐨𝐫𝐞𝐚 𝐒𝐞𝐥𝐚𝐭𝐚𝐧: 𝐓𝐞𝐤𝐚𝐧𝐚𝐧 𝐏𝐮𝐛𝐥𝐢𝐤 𝐝𝐚𝐧 𝐀𝐤𝐮𝐧𝐭𝐚𝐛𝐢𝐥𝐢𝐭𝐚𝐬 𝐒𝐨𝐬𝐢𝐚𝐥
Korea Selatan menempuh jalur berbeda: tekanan sosial dan transparansi publik.

Beberapa mantan presiden dari Chun Doo-hwan hingga Park Geun-hye — dijatuhi hukuman karena kasus korupsi. Pesan moralnya sederhana: jabatan publik bukan perisai kebal hukum.

Selain penegakan hukum, Korea memperkuat partisipasi masyarakat sipil dan media bebas sebagai pengawas negara.
Inilah kombinasi yang efektif: tekanan publik, transparansi, dan keberanian hukum.

𝐌𝐞𝐦𝐛𝐚𝐧𝐠𝐮𝐧 𝐄𝐭𝐢𝐤𝐚, 𝐒𝐢𝐬𝐭𝐞𝐦, 𝐝𝐚𝐧 𝐇𝐚𝐫𝐚𝐩𝐚𝐧 𝐁𝐚𝐫𝐮 𝐮𝐧𝐭𝐮𝐤 𝐈𝐧𝐝𝐨𝐧𝐞𝐬𝐢𝐚

Indonesia masih bisa berubah, tapi perubahan itu tidak mungkin datang dari slogan atau pidato. Ia harus dimulai dari revolusi integritas, di tiga lapisan:

1. Lapisan individu – setiap warga negara, terutama pejabat publik, harus menanamkan nilai malu dan tanggung jawab moral. Pendidikan antikorupsi tidak cukup di atas kertas; ia harus diajarkan lewat keteladanan nyata.

2. Lapisan institusi lembaga negara harus independen dan bebas dari intervensi politik. Reformasi hukum harus menjamin bahwa tidak ada “orang kuat” yang bisa lolos dari jeratan hukum.

3. Lapisan budaya politik – masyarakat harus berhenti mengidolakan koruptor atau membiarkan praktik uang dalam politik.

Korupsi tidak akan mati selama rakyat masih mau menjual suaranya dan pejabat masih membeli kekuasaan.

Namun, perubahan itu butuh kepemimpinan moral. Seorang pemimpin yang berani memulai dari dirinya sendiri, yang rela kehilangan kekuasaan demi menjaga kejujuran.

Mungkin di sinilah harapan itu masih bisa tumbuh — pada generasi muda yang muak melihat kebusukan sistem dan mulai berani berkata: “Cukup sudah.”

𝐎𝐩𝐭𝐢𝐦𝐢𝐬𝐦𝐞 𝐝𝐢 𝐓𝐞𝐧𝐠𝐚𝐡 𝐋𝐮𝐦𝐩𝐮𝐫

Korupsi memang seperti lumpur: pekat, dalam, dan menjijikkan. Tapi lumpur juga tempat benih bisa tumbuh jika kita menanam sesuatu di atasnya.

Kita tidak perlu menunggu malaikat turun dari langit untuk memberantas korupsi; cukup dengan manusia jujur yang berani memulai perubahan kecil.

Ketika rakyat menolak sogokan, ketika guru mengajar kejujuran, ketika pemimpin menolak gratifikasi di situlah revolusi kecil dimulai.

Bangsa ini belum mati; hanya tertidur dalam kebiasaan buruknya sendiri.
Dan mungkin, sudah saatnya kita semua, dari pejabat hingga rakyat jelata berani berkata lantang:

“𝐊𝐚𝐦𝐢 𝐭𝐢𝐝𝐚𝐤 𝐢𝐧𝐠𝐢𝐧 𝐡𝐢𝐝𝐮𝐩 𝐝𝐚𝐥𝐚𝐦 𝐬𝐢𝐬𝐭𝐞𝐦 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐛𝐮𝐬𝐮𝐤. 𝐊𝐚𝐦𝐢 𝐢𝐧𝐠𝐢𝐧 𝐡𝐢𝐝𝐮𝐩 𝐝𝐚𝐥𝐚𝐦 𝐧𝐞𝐠𝐚𝐫𝐚 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐛𝐞𝐫𝐦𝐚𝐫𝐭𝐚𝐛𝐚𝐭.”

Karena pada akhirnya, korupsi bukan hanya mencuri uang negara, ia mencuri masa depan kita semua.

𝗗𝗮𝗳𝘁𝗮𝗿 𝗣𝘂𝘀𝘁𝗮𝗸𝗮

1. Central Commission for Discipline Inspection. (2023). Annual report on anti-corruption efforts in China. Beijing: CCDI Press.

2. Klitgaard, R. (1998). Controlling corruption. University of California Press.

3. Lee, K. Y. (2000). From third world to first: The Singapore story: 1965–2000. Singapore: Times Editions.

4. Transparency International. (2024). Corruption Perceptions Index 2024. Berlin: Transparency International.

5. World Bank. (2023). Indonesia governance and corruption report. Washington, DC: World Bank Publications.
[Red]

Berita Terkini