Oleh Drs. Muhammad Bardansyah Ch.Cht
Mudanews.com-Opini | Di antara pegunungan Balkan yang megah, Yugoslavia pernah menjadi mercusuar harapan. Sebuah negeri di mana etnis Serbia, Kroasia, Bosnia, Albania, dan Slovenia hidup berdampingan di bawah bendera “Persatuan dan Persaudaraan”.
Dengan kekayaan alam melimpah, industri yang berdenyut, dan populasi 23 juta jiwa, Yugoslavia di era 1980-an dianggap sebagai kisah sukses sosialisme.
Namun, seperti menara kartu yang runtuh oleh angin, negara ini hancur dalam darah dan air mata.
Mengapa? Kombinasi racun: politisi yang memecah belah, korupsi yang menggurita, dan tangan-tangan asing yang memetik keuntungan dari kelemahan dalam negeri.
Kisah ini adalah cermin retak yang harus menjadi pelajaran bagi Indonesia.
𝟏. 𝐊𝐞𝐫𝐚𝐠𝐚𝐦𝐚𝐧: 𝐌𝐚𝐡𝐚𝐤𝐚𝐫𝐲𝐚 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐓𝐚𝐤 𝐁𝐞𝐫𝐭𝐚𝐡𝐚𝐧.
Yugoslavia lahir dari reruntuhan Perang Dunia I pada 1918. Di bawah Josip Broz Tito, sang pemersatu, negara ini menjelma menjadi republik sosialis yang disegani.
Tito bukan sekadar pemimpin; ia adalah arsitek yang membangun jembatan antaretnis. “Persatuan Yugoslavia” bukan sekadar slogan, ia adalah napas kehidupan.
Di era keemasannya (1950–1970), ekonomi tumbuh pesat. Pabrik-pabrik di Zagreb memproduksi mobil, pantai Adriatik ramai turis asing, dan tambang batu bara Bosnia menjadi tulang punggung industri.
Namun, di balik kemegahan itu, benih perpecahan mulai bersemi. Tito meninggal pada 1980, meninggalkan sistem kepemimpinan kolektif yang rapuh.
Seperti orkestra tanpa konduktor, para elite mulai bermain nada-nada sumbang. Mereka lupa pada kata-kata legendaris Tito :
“𝘖𝘶𝘳 𝘶𝘯𝘪𝘵𝘺 𝘪𝘴 𝘵𝘩𝘦 𝘴𝘰𝘶𝘳𝘤𝘦 𝘰𝘧 𝘰𝘶𝘳 𝘴𝘵𝘳𝘦𝘯𝘨𝘵𝘩. 𝘐𝘧 𝘸𝘦 𝘢𝘳𝘦 𝘥𝘪𝘷𝘪𝘥𝘦𝘥, 𝘸𝘦 𝘸𝘪𝘭𝘭 𝘣𝘦𝘤𝘰𝘮𝘦 𝘱𝘳𝘦𝘺 𝘧𝘰𝘳 𝘰𝘵𝘩𝘦𝘳𝘴.”
“Persatuan kami adalah sumber kekuatan. Jika kami terpecah, kami akan menjadi mangsa bagi yang lain.”
𝟐. 𝐑𝐞𝐭𝐨𝐫𝐢𝐤𝐚 𝐊𝐞𝐛𝐞𝐧𝐜𝐢𝐚𝐧: 𝐃𝐚𝐫𝐢 𝐊𝐚𝐭𝐚-𝐤𝐚𝐭𝐚 𝐤𝐞 𝐏𝐞𝐫𝐭𝐮𝐦𝐩𝐚𝐡𝐚𝐧 𝐃𝐚𝐫𝐚𝐡.
Pascakematian Tito, Slobodan Milošević, politisi Serbia yang ambisius, mengubah panggung politik menjadi medan perang identitas.
Pada 1989, di lapangan Kosovo yang sakral, ia berpidato: “Tak ada yang boleh menyakiti Serbia!”, Kalimat itu menjadi pemicu.
Media Serbia menggambarkan etnis Bosnia sebagai “fundamentalis”, sementara media Kroasia menuduh Serbia sebagai “penjajah baru”.
Konflik tak terelakkan. Pada 1991, Slovenia dan Kroasia menyatakan merdeka. Tentara Yugoslavia, yang didominasi Serbia, menyerang. Kota Vukovar di Kroasia luluh lantak, ribuan warga sipil tewas.
Di Bosnia, perang mencapai puncak kebrutalan. Pembantaian Srebrenica (1995) menewaskan 8.000 Muslim Bosnia, genosida terburuk di Eropa pasca-Holocaust.
Sebuah Ironi Sejarah: Bangsa yang dulu bersatu melawan Nazi, justru saling membantai karena provokasi politisi.
𝟑. 𝐊𝐨𝐫𝐮𝐩𝐬𝐢: 𝐓𝐮𝐦𝐨𝐫 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐌𝐞𝐧𝐠𝐠𝐞𝐫𝐨𝐠𝐨𝐭𝐢 𝐉𝐢𝐰𝐚 𝐁𝐚𝐧𝐠𝐬𝐚.
Sementara rakyat berjuang mencari sesuap roti, para elite sibuk menguras kas negara. Pada 1980-an, utang Yugoslavia melonjak dari $3 miliar menjadi $21 miliar.
Dana bantuan asing untuk pembangunan menguap ke rekening Swiss.
Skandal Agrokomerc (1987) menjadi simbol kerakusan. Perusahaan pertanian Bosnia ini menerbitkan surat utang palsu senilai $500 juta. Puluhan pejabat tinggi terlibat, termasuk menteri dan anggota partai.
Di balik layar, jenderal-jenderal militer mengendalikan pasar gelap senjata, sementara politisi membangun vila mewah di pantai Montenegro.
Hiperinflasi 1989 menjadi pukulan terakhir. Harga barang melambung 2.000% setahun.
Ibu-ibu rumah tangga antre berjam-jam untuk sepotong roti, sementara anak-anak mereka bertanya: “Mengapa negara ini hancur?”
𝟒. 𝐓𝐚𝐧𝐠𝐚𝐧-𝐭𝐚𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐀𝐬𝐢𝐧𝐠: 𝐌𝐞𝐦𝐞𝐭𝐢𝐤 𝐁𝐮𝐚𝐡 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐒𝐮𝐝𝐚𝐡 𝐁𝐮𝐬𝐮𝐤.
Yugoslavia yang rapuh menjadi sasaran empuk kekuatan global.
Jerman dan AS mendukung kemerdekaan Kroasia-Slovenia bukan karena cinta demokrasi, tetapi untuk melemahkan Serbia sekutu Rusia.
IMF datang dengan “obat” neoliberal: pemotongan subsidi, privatisasi BUMN, dan liberalisasi pasar. Hasilnya? 600 pabrik tutup, pengangguran meroket, dan rakyat miskin semakin terpuruk.
Pasca-perang, korporasi asing menginvasi. Tambang emas Trepča di Kosovo, dulu kebanggaan Yugoslavia, kini dikuasai perusahaan asing.
Sumber daya alam yang seharusnya menjadi milik rakyat, berubah jadi pundi-pundi keuntungan bagi segelintir orang.
Situasi ini digambarkan sejarawan Susan Woodward dalam bukunya 𝘉𝘢𝘭𝘬𝘢𝘯 𝘵𝘳𝘢𝘨𝘦𝘥𝘺 (1995) :
“𝘠𝘶𝘨𝘰𝘴𝘭𝘢𝘷𝘪𝘢 𝘸𝘢𝘴 𝘯𝘰𝘵 𝘮𝘦𝘳𝘦𝘭𝘺 𝘢 𝘷𝘪𝘤𝘵𝘪𝘮 𝘰𝘧 𝘪𝘯𝘵𝘦𝘳𝘯𝘢𝘭 𝘤𝘰𝘯𝘧𝘭𝘪𝘤𝘵, 𝘣𝘶𝘵 𝘢𝘭𝘴𝘰 𝘰𝘧 𝘨𝘭𝘰𝘣𝘢𝘭 𝘨𝘦𝘰𝘱𝘰𝘭𝘪𝘵𝘪𝘤𝘢𝘭 𝘮𝘢𝘯𝘦𝘶𝘷𝘦𝘳𝘪𝘯𝘨.”
“Yugoslavia bukan korban konflik internal semata, tapi juga permainan geopolitik global.”
𝟓. 𝐑𝐮𝐧𝐭𝐮𝐡: 𝐍𝐞𝐠𝐞𝐫𝐢 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐁𝐞𝐫𝐮𝐛𝐚𝐡 𝐌𝐞𝐧𝐣𝐚𝐝𝐢 𝐊𝐞𝐧𝐚𝐧𝐠𝐚𝐧
Pada 2003, Yugoslavia resmi bubar. Bosnia-Herzegovina terbelah menjadi tiga wilayah etnis. Kosovo—dulu provinsi otonom—kini menjadi negara miskin dengan pengangguran 30%.
Generasi muda meninggalkan kampung halaman, mencari harapan di Jerman atau Austria. Sementara tambang emas dan hutan-hutan indah dikuasai asing.
𝐈𝐧𝐝𝐨𝐧𝐞𝐬𝐢𝐚 𝐝𝐚𝐧 𝐁𝐚𝐲𝐚𝐧𝐠-𝐛𝐚𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐘𝐮𝐠𝐨𝐬𝐥𝐚𝐯𝐢𝐚.
Kisah Yugoslavia bukan dongeng lama. Indonesia, dengan keragaman, sumber daya alam, dan dinamika politiknya, bisa mengulangi tragedi serupa jika lengah.
𝐆𝐞𝐣𝐚𝐥𝐚 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐌𝐢𝐫𝐢𝐩:
– Polarisasi SARA Kasus pertkaian antar suku di Kalimantan dan pertikaian agama di Palu menunjukkan betapa isu suku dan agama mudah disulut. Hoaks tentang “pengkhianatan etnis” atau “ancaman agama” viral dalam hitungan jam. Sekarang Indonesia juga sedang dilanda berita Hoax dan penggunaan buzzer lewat medso sesuatu yang bahkan tidak terjadi di Yugoslavia
– Korupsi Berjamaah: Skandal e-KTP yang melibatkan anggota Legislatif, atau proyek fiktif PLTU Riau-1, mencerminkan betapa elit politik-militer masih menganggap uang rakyat sebagai “harta karun”.
– Infiltrasi Asing yang Halus: Laporan palsu tentang “genosida Papua” digunakan pihak asing untuk menekan Indonesia. Perusahaan tambang asing menguasai 75% nikel negeri ini—mirip nasib tambang Trepča di Kosovo.
𝐀𝐩𝐚 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐇𝐚𝐫𝐮𝐬 𝐃𝐢𝐥𝐚𝐤𝐮𝐤𝐚𝐧?
Menurut hemat saya sebagai anak bangsa yang begitu mencintai tanah tumpah darah yang merdeka karena tumpahnya darah dari pejuang bangsa, bangsa ini perlu untuk :
1. Jadikan Keragaman sebagai Tameng, bukan alat politik.
2. Transparansi Total: Awasi setiap rupiah utang dan proyek pemerintah.
3. Literasi Media: Ajari generasi muda membedakan fakta dan provokasi.
4. Diplomasi Tegas: Jangan biarkan isu SARA menjadi senjata intervensi asing.
Yugoslavia mengajarkan: tak ada bangsa yang terlalu besar untuk runtuh.
Persatuan bisa hancur oleh kebencian yang dipelihara, kekayaan alam bisa jadi kutukan jika dikelola oleh tangan-tangan serakah.
Infiltrasi asing saat ini bukan hanya serbuan militer , lebih halus namun sangat tajam sehinga Bangsa Indonesia harus menyadari ini, jangan biarkan sejarah terulang.**()
𝐃𝐚𝐟𝐭𝐚𝐫 𝐑𝐞𝐟𝐞𝐫𝐞𝐧𝐬𝐢
1. Woodward, Susan L. (1995). “Balkan Tragedy: Chaos and Dissolution After the Cold War”.
2. Glenny, Misha (2012). “The Fall of Yugoslavia: The Third Balkan War”.
3. Ramet, Sabrina P. (2006). “The Three Yugoslavias: State-Building and Legitimation”.
4. Hiperinflasi dan Kehancuran Ekonomi Yugoslavia” (Journal of Economic History, 2018).
5. Peran IMF dalam Krisis Yugoslavia” (The Guardian, 2003).