Sertifikasi Kompetensi Dokter di Tengah Transisi Regulasi Kesehatan Nasional: Polemik, Kepastian, dan Jalan Tengah

Breaking News
- Advertisement -

 

Pendahuluan

Mudanews.com OPINI – Sertifikat kompetensi bagi dokter merupakan dokumen penting yang menegaskan kelayakan dan kemampuan profesional seorang dokter dalam menjalankan praktik medis secara aman, etis, dan sesuai standar. Sertifikat ini adalah syarat mutlak untuk memperoleh Surat Tanda Registrasi (STR) dan Surat Izin Praktik (SIP). Namun, sejak diberlakukannya UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, proses penerbitan sertifikasi kompetensi mengalami perdebatan serius, terutama menyangkut otoritas kelembagaan dan keabsahan prosedur yang dipakai selama masa transisi regulasi.

Dasar Hukum Sertifikasi Kompetensi Dokter

Sebelum UU Kesehatan 2023 berlaku, sistem pendidikan profesi kedokteran dan uji kompetensi diatur melalui UU Praktik Kedokteran dan UU Pendidikan Tinggi, di mana sertifikasi kompetensi dikeluarkan oleh kolegium kedokteran di bawah koordinasi Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), sebagai bagian dari struktur Majelis Tenaga Kesehatan Indonesia (MTKI) dan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI).

UU No. 17/2023 tentang Kesehatan mengubah banyak hal: termasuk restrukturisasi organisasi KKI, perubahan pada mekanisme uji kompetensi, dan reposisi peran kolegium.

Namun implementasi UU tersebut belum sepenuhnya berjalan karena sejumlah peraturan turunan dan SOP pelaksanaannya belum diterbitkan.

Polemik: Kolegium vs Pemerintah

Sesuai pemberitaan harian Kompas edisi 16 Juli 2025, sejumlah kolegium kedokteran menolak menerbitkan sertifikat kompetensi karena:

SOP baru sebagai turunan UU Kesehatan 2023 belum tersedia;

Mereka khawatir penerbitan sertifikat berdasarkan sistem lama akan melanggar regulasi baru;

Terdapat ketidakjelasan lembaga mana yang saat ini berwenang mengeluarkan sertifikasi, karena KKI juga tengah dalam masa transisi kelembagaan.

Beberapa kolegium bahkan telah menyurati institusi pendidikan dan rumah sakit pendidikan agar menunda proses uji kompetensi nasional hingga kejelasan regulasi terbit. Hal ini membuat lulusan Fakultas Kedokteran terganjal memperoleh STR dan tidak bisa segera praktik.

Sikap Pemerintah: Sertifikasi Bisa Diterbitkan

Dalam wawancara pasca rapat kerja dengan Komisi IX DPR RI, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menegaskan bahwa:

> “Kalau SOP yang baru belum keluar, kita tetap pakai SOP yang ada. Jadi tidak benar kalau dikatakan sertifikasi kompetensi tidak bisa keluar. Sertifikasi bisa tetap diterbitkan dan sudah berjalan.”

Menkes menyatakan bahwa sejak UU Kesehatan 2023 disahkan, sertifikasi kompetensi sudah diterbitkan untuk lebih dari 10 lulusan, dengan tetap menggunakan prosedur sebelumnya. Ia mengingatkan bahwa transisi tidak boleh menghambat hak lulusan untuk bekerja.

Dampak terhadap Lulusan dan Rumah Sakit Pendidikan
Akibat ketidaksinkronan antara sikap kolegium dan pemerintah:

  • Lulusan Fakultas Kedokteran tidak bisa memperoleh STR karena belum memiliki sertifikat kompetensi;
  • Rumah sakit pendidikan dan universitas bingung menentukan jalur legal agar alumni tidak dirugikan;
  • Tenaga kesehatan yang sudah lulus terkatung-katung dan terancam kehilangan momentum masuk dunia kerja;
  • Penerimaan dokter muda (internship) menjadi tertunda di beberapa daerah

Hal ini mengancam kelangsungan pelayanan kesehatan, khususnya di daerah yang kekurangan dokter umum maupun dokter spesialis.

Analisis Masalah

  1. Ketimpangan Regulasi: Ketidakhadiran SOP baru membuat sistem lama masih harus digunakan, namun beberapa pihak enggan menerapkannya karena menganggapnya sudah tidak relevan atau melanggar aturan baru.
  2. Ketegangan Kelembagaan: Kolegium sebagai entitas profesi merasa dilemahkan oleh UU Kesehatan yang memberi kewenangan lebih besar kepada pemerintah dan mengurangi peran organisasi profesi.
  3. Vacuum of Authority: Terjadi kekosongan wewenang dalam proses penerbitan sertifikat kompetensi yang belum diisi dengan struktur dan prosedur baru.
  4. Krisis Transisi: Tidak ada peta jalan transisi yang rinci dari pemerintah membuat banyak institusi bingung dan ragu bertindak.

Solusi dan Rekomendasi

Agar tidak semakin menimbulkan kerugian sistemik, berikut adalah beberapa rekomendasi:

  1. Pemerintah Segera Terbitkan SOP Pelaksana
    Kementerian Kesehatan bersama Kemenkumham dan otoritas pendidikan tinggi harus segera merampungkan dan mensosialisasikan SOP uji kompetensi berdasarkan UU Kesehatan 2023
  2. Penerapan Mekanisme Transisi yang Sah dan Aman
    Selama masa transisi, pemerintah harus mengeluarkan surat edaran resmi yang mengatur bahwa prosedur lama tetap sah digunakan untuk menjamin hak peserta uji kompetensi.
  3. Dialog Tripartit: Pemerintah – Kolegium – Institusi Pendidikan
    Harus ada forum resmi dan terbuka antara pemangku kepentingan untuk menyamakan pemahaman, meredam ketegangan, dan memastikan tidak ada pihak yang dirugikan, terutama lulusan.
  4. Perlindungan bagi Lulusan
    Pemerintah wajib menjamin agar hak lulusan untuk segera bekerja tidak dikorbankan akibat kekacauan administratif. Jika perlu, diberikan dispensasi terbatas sambil menunggu kelengkapan administrasi.
  5. Evaluasi UU Kesehatan 2023
    DPR dan publik harus aktif mengawal apakah UU Kesehatan 2023 benar-benar memberi manfaat atau justru menimbulkan disrupsi sistemik terhadap praktik kedokteran di Indonesia.

Penutup

Sertifikasi kompetensi bukan sekadar formalitas administratif, melainkan cerminan kelayakan, akuntabilitas, dan perlindungan terhadap pasien. Jika proses ini terganggu oleh tarik-menarik kepentingan kelembagaan, maka korban utamanya bukan hanya dokter muda, melainkan juga masyarakat luas yang bergantung pada pelayanan medis.

Negara wajib hadir untuk memastikan bahwa transisi sistem berjalan mulus, tidak mengorbankan generasi dokter baru, dan tetap menjaga kualitas serta integritas profesi kedokteran.

Penulis : Anton Christanto  Pemerhati dan Pengamat Sosial Politik di Boyolali

Berita Terkini