Orang Miskin Dilarang Sakit : Luka Bernanah Dalam Sistem Kesehatan 

Breaking News
- Advertisement -

 

“Negara ini sudah lama sakit dan penyakitnya makin parah ketika rakyat miskin tidak boleh sakit, nama Ranujaya mungkin tak akan tertulis di buku sejarah bangsa, tapi biarlah hari ini kita mengukir kisahnya sebagai simbol betapa negara ini tega memunggungi warganya yang miskin”

Mudanews.com OPINI –  Ranujaya, seorang pemuda 18 tahun dari Desa Jagapura, Kabupaten Cirebon, baru saja diselamatkan dari maut usai digigit ular kobra di sawah. Ia dirawat di RSD Gunung Jati Kota Cirebon. Namun di balik upaya medis menyelamatkan nyawanya, muncul ironi yang menyayat nurani: setelah sadar, Ranujaya tidak bisa pulang. Ia “ditahan” di rumah sakit karena keluarganya tidak mampu membayar tagihan sebesar Rp14,3 juta. Akibatnya, selama tiga hari penuh, ia tidak diberi makan, hanya terbaring lemas, dan infusnya tertancap tanpa cairan.

“Orang miskin dilarang sakit!” Ungkapan ini tidak lagi sekadar sindiran sinis, tapi sudah menjadi kenyataan pahit yang terus berulang di negeri ini.

kisah tragis Ranujaya (18), warga Jagapura, Kabupaten Cirebon, yang terpaksa “tertahan” di Rumah Sakit Daerah (RSD) Gunung Jati, Kota Cirebon, hanya karena tidak mampu membayar biaya perawatan sebesar Rp14,3 juta.

Ranujaya adalah seorang remaja dari keluarga miskin, anak seorang ibu tunggal yang menghidupi lima anak. Ia dirawat setelah digigit ular kobra di sawah. Namun alih-alih menerima pelayanan manusiawi, ia justru ditahan di rumah sakit selama tiga hari tanpa diberi makanan, dan hanya terbaring lemas dengan jarum infus yang sudah tidak lagi dialiri cairan. Keadaan ini tentu sangat tidak masuk akal dan melanggar prinsip dasar kemanusiaan serta hak atas kesehatan.

Apa ini manusiawi?

Ibunya adalah seorang janda yang menghidupi lima anak. Hidup dari sisa-sisa harapan, mereka tak punya daya tawar selain air mata. Akhirnya, setelah video kasus ini viral, Ranujaya baru bisa dipulangkan dengan membayar Rp1 juta—itu pun setelah ada warga yang bersedia menjadi penjamin.

Inikah wajah sistem kesehatan Indonesia yang katanya “semakin baik”?

Negara Harus Hadir, Bukan Bersembunyi di Balik Tarif

Rakyat miskin tidak butuh belas kasihan. Mereka butuh kehadiran negara yang nyata. Kita tidak sedang meminta rumah sakit menanggung semuanya. Tugas rumah sakit adalah merawat, bukan menalangi biaya. Tugas negara-lah yang harus membayar dan menjamin hak warga atas kesehatan.

Jangan selalu rumah sakit yang disuruh “mengerti” situasi pasien, sementara negara hanya menonton dari kejauhan. Para dokter dan perawat itu sudah bekerja dengan sepenuh hati. Tapi jangan biarkan mereka juga menjadi korban dari sistem anggaran yang memaksa mereka memilih antara nurani dan kebijakan administratif.

Kementerian Kesehatan dan BPJS seharusnya hadir cepat dalam kasus-kasus seperti ini. Dimana sistem emergency funding BPJS untuk pasien miskin yang belum terdaftar? Mengapa tidak ada pos anggaran tanggap darurat dari pemerintah pusat untuk pasien-pasien marjinal?

Di mana para wakil rakyat? Di mana Menkes? Di mana suara DPR saat rakyat digilas biaya kesehatan?

Mereka rajin bicara soal “transformasi sistem kesehatan nasional”, tapi realitanya masih saja pasien miskin yang dikorbankan. Lalu apa gunanya Undang-Undang? Apa gunanya janji-janji kampanye jika untuk sekadar menyelamatkan satu nyawa saja harus viral dulu?

Pasal Konstitusi yang Hanya Jadi Hiasan

Pasal 28H UUD 1945 menyatakan setiap orang berhak mendapatkan pelayanan kesehatan. UU No. 36 Tahun 2009 menyebut negara bertanggung jawab terhadap ketersediaan sumber daya kesehatan yang adil dan merata. Tapi semua itu jadi macan kertas kalau dalam praktiknya, rakyat harus “menebus nyawanya sendiri” dengan uang tunai!

Negara telah gagal dalam tanggung jawab dasarnya.

Bagaimana mungkin kita berani menyebut diri bangsa besar jika anak miskin dibiarkan terbaring kelaparan di rumah sakit negeri hanya karena ibunya tak bisa membayar?

Rakyat Tak Butuh Janji, Mereka Butuh Sistem yang Manusiawi

Reformasi sistem kesehatan tidak boleh lagi ditunda. Ini bukan soal anggaran, tapi soal kehendak politik dan moralitas penguasa.

Kepada Menteri Kesehatan, jangan hanya sibuk pencitraan dan peluncuran program digital. Buat kebijakan yang menyentuh langsung rakyat miskin! Bentuk Tim Tanggap Kesehatan Sosial di tiap rumah sakit pemerintah. Sediakan dana talangan negara untuk pasien miskin darurat. Percepat proses BPJS PBI tanpa birokrasi berlapis.

Kepada DPR, hentikan rapat-rapat membosankan yang hanya sibuk bagi-bagi anggaran. Hentikan proyek alat kesehatan ratusan miliar yang tidak berguna jika rakyat saja tidak bisa makan di ruang perawatan.

Negara ini sedang sakit. Dan penyakit terbesarnya adalah ketidakpedulian terhadap yang lemah.

Bayangkan jika Ranujaya adalah anak Anda. Bayangkan ia terbaring di ranjang rumah sakit tanpa makan, dengan infus kering, menatap kosong ke langit-langit karena tak ada harapan pulang. Apa masih bisa Anda tidur nyenyak sebagai pejabat publik?

Rakyat miskin juga manusia. Mereka punya nyawa. Dan nyawa itu tak boleh diperdagangkan.

Jangan tunggu ada korban berikutnya. Jangan biarkan rakyat kehilangan nyawanya hanya karena tak bisa membayar rumah sakit. Karena pada saat itu terjadi, bukan rakyat yang gagal, tapi negara yang mati rasa.

Sebuah renungan dan harapan rakyat miskin pada negara

Kasus Ranujaya menyentil nurani publik. Dalam konstitusi Indonesia, Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 dengan tegas menyatakan bahwa “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan pelayanan kesehatan.” Dalam UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dijelaskan pula bahwa pelayanan kesehatan harus diselenggarakan secara adil dan merata, tanpa diskriminasi. Namun, praktik di lapangan menunjukkan ironi yang menyakitkan: ketika rakyat miskin justru menjadi korban dari sistem pelayanan kesehatan yang kaku, tidak adaptif, dan tidak berpihak.

Lalu ke mana BPJS Kesehatan?

BPJS Kesehatan, yang seharusnya menjadi jaring pengaman sosial di bidang kesehatan, masih belum mampu menjangkau kelompok marjinal dengan optimal. Banyak masyarakat miskin seperti keluarga Ranujaya tidak mengetahui bagaimana cara mendaftar, atau tidak terdaftar sebagai Penerima Bantuan Iuran (PBI). Kelemahan koordinasi antara pemerintah daerah, Dinas Sosial, dan pihak rumah sakit juga turut memperparah nasib pasien-pasien dari keluarga tidak mampu.

Kasus Ranujaya harus menjadi cermin retaknya sistem perlindungan sosial di Indonesia. Rumah sakit pemerintah seharusnya menjadi pelayan utama bagi kelompok miskin, bukan lembaga yang justru menahan pasien karena masalah administratif dan finansial. Ketiadaan mekanisme darurat yang memungkinkan pasien miskin tetap dirawat dengan layak sambil menunggu penanganan administratif adalah bentuk kegagalan dalam menjamin keadilan sosial.

Perlu ada reformasi sistem. Kementerian Kesehatan dan BPJS Kesehatan harus segera:

  1. Meningkatkan kepesertaan aktif masyarakat miskin dalam BPJS, terutama melalui PBI.
  2. Membentuk tim reaksi cepat di rumah sakit pemerintah untuk menangani kasus pasien miskin tanpa jaminan
  3. Memberikan pelatihan humanisme dan etika pelayanan kepada tenaga kesehatan dan administrasi rumah sakit
  4. Memastikan kebijakan pemulangan pasien tidak semata didasarkan pada kemampuan membayar.

Ranujaya memang akhirnya bisa dipulangkan setelah seseorang bersedia menjadi penjamin. Tapi berapa banyak Ranujaya lainnya yang tidak terdokumentasi, yang menderita dalam diam, tertindih sistem yang semestinya melindungi?

Dalam negara yang katanya sedang menuju kesejahteraan, tidak seharusnya kemiskinan menjadi alasan untuk kehilangan hak atas hidup yang layak. Jika negara ini ingin disebut beradab, maka satu prinsip harus dijunjung tinggi: tidak seorang pun, miskin sekalipun, boleh dilarang sakit.

Penulis : Anton Christanto  Pemerhati dan Pengamat Sosial Politik di Boyolali

Berita Terkini