Oleh : Erizeli Bandaro
Mudanews.com OPINI – Suara mesin jet berdesing lembut di antara gumpalan awan. Dari jendela, langit tampak bersih, biru, dan tenang seperti lembaran kaca yang tak bertepi. Di dalam kabin Yuan Jet, cahaya sore menembus tirai tipis dan jatuh di wajah Wenny yang sedang menatap layar tablet di table
Ia menoleh perlahan padaku, lalu tersenyum samar.
“B, aku ingin ceritakan sesuatu. Boleh ?,” katanya.
Aku menutup laporan keuangan yang sedari tadi kubaca, dan memutar kursi sedikit ke arahnya.
“Ceritakan.”
Wenny menarik napas pelan. “Ada satu wilayah di China. Dulu, wilayah itu hanya punya ladang herbal dan singkong. Tak ada pabrik, tak ada investasi besar. Pedagang dari kota datang tiap panen, membeli murah hasil bumi, lalu menjualnya ke pabrik di Guangdong dan Shanghai. Seperti biasa, pedagang makin kaya, industri berkembang, pemodal makmur, pemerintah daerah dapat PAD, dan angka pertumbuhan naik. Tapi petaninya tetap saja miskin. Dari tahun ke tahun begitu saja. Statistiknya naik, tapi hidupnya tidak.”
Ia berhenti sejenak, menatap ke luar jendela, ke arah awan yang berarak perlahan.
“Lalu ada seorang pemuda dari kota datang ke desa itu,” lanjutnya. “Dia tidak membawa modal besar, hanya ide. Dia bilang ke penduduk desa, kalian harus berhenti menjual murah hasil kerja kalian. Mari kita bentuk koperasi, olah sendiri apa yang kalian tanam.”
Aku mengangguk kecil. “Itu berani,” kataku.
“Ya,” jawab Wenny, “dan gila di mata banyak orang.”
Aku tersenyum.
“ Mereka memulai dengan peralatan seadanya. “ Lanjut Wenny” Para petani bergotong royong membangun bangunan sederhana dari papan dan seng. Di situ mereka membuat industri kecil. Mengolah singkong menjadi gula cair, molases. Lalu ampasnya dijadikan bahan baku biodegradable plastic. Daun herbal mereka keringkan dengan cold dryer, menjadi powder yang bisa disimpan lama tanpa kehilangan kualitas.
“Bayangkan, B,” kata Wenny dengan mata berbinar, “mereka bahkan menjual molases itu ke pabrik minuman rendah kalori, produk kelas menengah atas. Kemasan bioplastic, mereka masuk ke supermarket eco-green, dan ekstrak herbalnya jadi bahan baku farmasi. Mereka dapat kontrak jangka panjang karena pasokannya stabil. Nilai tambahnya berlipat.”
Aku tersenyum mendengarkan, mengingat bagaimana di Indonesia cerita seperti itu jarang berakhir baik. “Awalnya pasti berat.”
“Berat sekali,” jawabnya cepat. “Tapi mereka sepakat: kalau ingin hidup berubah, harus berani melawan kebiasaan lama. Dan tiga tahun kemudian, desa miskin itu berubah jadi desa makmur. Mereka punya pasar sendiri, menentukan harga sendiri, dan untuk pertama kalinya tidak tergantung pada tengkulak.”
Aku diam cukup lama. Hanya terdengar suara lembut mesin jet dan denting halus gelas kristal di meja.
“Itu,” kata Wenny pelan, “yang disebut pertumbuhan inklusif. Inclusive growth. Bukan sekadar grafik PDB naik, tapi memberi akses bagi siapa pun untuk menikmati hasil pertumbuhan. Petani, pekerja, koperasi, semua bagian dari rantai nilai yang adil.”
“Berbeda dengan tambang atau proyek besar,” timpalku.
“Ya,” jawabnya. “Kalau tambang, yang makmur hanya pemodal. Rakyat di sekitar hanya jadi buruh dan penonton. Tapi ini, yang tumbuh bukan cuma ekonomi, melainkan rasa percaya diri kolektif.”
Aku menatap Wenny , dalam. “Bayangkan kalau model seperti itu diterapkan di Indonesia, Wen. Di Jawa, di Sumatera, di Kalimantan. Tak perlu proyek raksasa, cukup memberi akses ke teknologi dan pasar. Yang Indonesia butuh bukan investasi besar, tapi keadilan ekonomi.”
Aku menatap kembali keluar jendela. Langit kini mulai berwarna oranye muda. Di bawah sana, mungkin ada ratusan desa yang menunggu seseorang yang berani datang, membawa ide sederhana tapi tulus.
“Wenny,” kataku pelan, “mungkin itu proyek yang seharusnya kita biayai berikutnya. Bukan karena ROI-nya tinggi, tapi karena nilai manusianya lebih dalam dari angka apa pun.”
Ia tersenyum “Akhirnya kau mengerti, B. Kita tidak perlu lagi mengejar pertumbuhan yang cepat. Kita hanya perlu memastikan tidak ada yang tertinggal.”
Pesawat mulai menurunkan ketinggian. Awan berubah warna, dari emas ke merah keunguan. Di dalam kabin yang sunyi, percakapan kami terasa seperti doa—tentang masa depan, tentang desa, tentang ekonomi yang lebih adil.
Dan aku tahu, dalam hening itu, bahwa kisah dari suatu wilayah di China bukan hanya cerita sukses di luar negeri. Ia adalah cermin. Tentang bagaimana bangsa bisa makmur, jika pertumbuhan tidak lagi diukur dari angka, melainkan dari siapa saja yang ikut tumbuh bersamanya.
Akupun berimaginasi tentang Indonesia. Bima, seorang pengusaha 38 tahun, dulu hanya bisa menunggu kabar dari buyer luar negeri. Tapi kini, lewat sistem baru ini, ia menaruh produknya di IndoWare Hub — pusat logistik digital nasional yang menghubungkan produsen ke pasar global secara langsung.
Barang-barangnya dikapalkan ke jaringan warehousing e-commerce Indonesia di Dubai, Shanghai, Tokyo, dan Rotterdam.Setiap gudang sudah terhubung dengan platform e-niaga lokal negara tersebut, sehingga begitu ada pembeli dari platform di sana, produk dikirim dari gudang terdekat, tanpa dianggap impor formal.
Sistem pembayaran pun revolusioner. Begitu barang terjual, uang langsung masuk ke rekening produsen lewat sistem cross-settlement fintech berbasis Rupiah Digital (R-IDX). Tanpa menunggu invoice, tanpa birokrasi, dan tanpa menunduk dipada buyer besar.
“Kami tidak lagi menjual barang,” kata Bima, “kami mengirimkan akses.” Tak berhenti di produk industri kecil, sistem ini mengubah wajah pertanian Indonesia. Sebelumnya, petani hanya menjual hasil mentah: gabah, kopi, singkong, dan rempah. Kini, mereka jadi bagian dari rantai hilir baru yang disebut produk maker.
Contohnya: Kopi Toraja kini dikirim bukan dalam bentuk biji, tapi sebagai cold brew concentrate siap pakai, dikemas oleh micro factory berbasis desa. Singkong Lampung diolah menjadi tepung mocaf dan mie instan rendah gluten oleh koperasi lokal yang punya mesin produksi kecil bersertifikat. Cokelat Sulawesi dijual dalam bentuk artisan bar dengan merek lokal, dikemas di pabrik kecil dengan standar ekspor. Minyak kelapa dan sereh wangi dari Jawa Tengah masuk pasar organic skincare Jepang lewat platform e-commerce organik.
Semua proses hilirisasi itu terjadi karena IndoWare Hub menyediakan infrastruktur, bukan hanya gudang, tapi juga fasilitas bersama: mesin pengemasan, laboratorium sertifikasi halal dan pangan, hingga inkubator desain produk. Setiap desa kini punya akses untuk menjadi maker, produsen yang tak hanya menjual bahan mentah, tapi menciptakan merek sendiri. “ Kalau dulu kita menjual kopi, sekarang kita menjual cerita tentang kopi,” kata Sari, seorang aktivis ekonomi lokal yang membantu membangun pabrik kecil di Toraja.
Bima melihat perbedaan nyata di cash flow industrinya. Sebelumnya, ia harus menunggu 60–90 hari untuk dibayar setelah barang tiba di luar negeri. Sekarang, lewat IndoWare Credit System, bila penjualan di atas 50% rata-rata bulanan, ia otomatis mendapat cash advance 90% dari nilai barang yang tersimpan di gudang.
Produksi tidak berhenti, pekerja tetap dibayar, dan roda ekonomi berputar tanpa utang bank tradisional. Bank-bank lokal kini justru masuk sebagai mitra ekosistem, bukan pemegang kuasa. Kredit diberikan bukan atas dasar agunan tanah atau gedung, tapi berdasarkan data real-time transaksi. Ekonomi Indonesia mulai bergerak bukan karena stimulus, tapi karena disiplin sistemik.
Tiga tahun kemudian, 2029. Republik Logistik Nusantara resmi menjadi bagian dari jaringan ASEAN Digital Corridor. Setiap transaksi e-commerce Indonesia otomatis tercatat dalam sistem data lintas negara — transparan, aman, dan berbasis blockchain. Petani bisa tahu permintaan pasar global. Pabrik kecil bisa memproduksi sesuai tren permintaan. UMKM bisa ekspor hanya dengan menekan satu tombol.
Dan yang paling penting: data transaksi milik bangsa sendiri. Dulu, data penjualan kita tersimpan di server luar negeri. Sekarang, data itu jadi aset nasional,” kata Sari dalam sebuah seminar di Bandung. “ Dulu, uang hasil penjualan mengendap di rekening platform asing. Sekarang, uang langsung masuk ke rekening produsen.”
Menteri Perdagangan berbicara di forum Davos Asia: “ Kami tidak lagi membangun industrialisasi besar. Kami membangun ekosistemisasi — sistem yang memungkinkan rakyat menjadi pelaku ekonomi global, tanpa kehilangan kedaulatannya.Kami tidak menunggu investor asing, kami menciptakan sistem agar setiap petani, nelayan, dan pengrajin menjadi investor bagi dirinya sendiri.”
Sementara itu, di desa-desa, ratusan produk maker lahir. Anak muda yang dulu merantau kini pulang, membawa laptop dan printer label.
Gudang digital di setiap kabupaten menjadi tempat lahirnya merek baru — dari sabun herbal, pakaian lokal, hingga makanan fermentasi. Mereka tidak sekadar memproduksi, tapi mengkurasi nilai tambah lokal — menyatukan kreativitas, teknologi, dan budaya.
Di depan IndoWare Hub Jakarta, Bima menatap truk-truk yang datang silih berganti. Ia tersenyum — bukan karena omzetnya naik, tapi karena akhirnya Indonesia punya sistem yang berpihak.
“Dulu kita mengekspor bahan mentah,” gumamnya. “Sekarang, kita mengekspor karya dan kepercayaan.”
Langit sore memantulkan warna oranye di atas atap kontainer. Bagi Bima, setiap gudang kini bukan sekadar ruang penyimpanan, tapi tempat di mana kedaulatan ekonomi rakyat disusun bata demi bata. Indonesia bukan lagi negara pengirim barang, tapi negara yang mengirimkan sistem, nilai, dan harapan.
“ B..” seru Wenny. Membuyarkan lamunan saya. “ Kamu baik baik saja.”
Aku mengangguk.
“B,” Wenny berkata pelan, “kalau kamu boleh merumuskan ulang prinsip ekonomi nasional, dari mana kamu mulai?”
Aku menatap matanya. “Dari ladang. Dari pabrik kecil. Dari tangan-tangan yang mencipta nilai. Negara yang kuat bukan yang punya banyak uang, tapi yang punya banyak orang produktif. Likuiditas hanya berguna kalau mengalir ke mereka.”
Ia mengangguk. “Dan itu berarti, kebijakan harus kembali ke akarnya — produksi. Karena tanpa itu, pertumbuhan hanya jadi mitos dalam laporan keuangan.”
Kami terdiam cukup lama. Hanya terdengar bunyi angin dan mesin jet yang stabil, membawa kami melintasi senja yang semakin redup.
Di langit yang tinggi itu, aku sadar, percakapan ini bukan sekadar analisa ekonomi. Tapi juga semacam pengingat: bahwa kemakmuran sejati tidak pernah lahir dari uang, melainkan dari kerja, kebijaksanaan, dan rasa cukup.
***
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi seharusnya berarti peningkatan kesejahteraan rakyat. Tapi model pertumbuhan PDB itu dirancang untuk menjaga kepercayaan investor surat utang. Dalam struktur fiskal modern, pemerintah berlomba-lomba menjaga credit rating agar surat utang (bond) tetap diminati oleh pasar. Itu berarti satu hal: segala kebijakan ekonomi diarahkan bukan pada rakyat sebagai pemilik negara, melainkan pada kreditur sebagai penentu reputasi fiskal.
Sumber daya alam dijadikan jaminan psikologis bagi pasar finansial. Selama hasil SDA masih bisa diekspor, negara dianggap “mampu membayar utang.” Inilah sebabnya kebijakan eksploitasi sumber daya alam sering dipoles dengan narasi “pertumbuhan PDB” atau “peningkatan ekspor,” padahal nilai tambahnya dinikmati oleh perusahaan besar, bukan oleh rakyat di sekitar tambang. Paradoksnya, PDB memang naik, tetapi yang naik adalah volume ekspor bahan mentah, bukan kesejahteraan petani, nelayan, atau buruh.
Untuk menjaga sovereign rating tetap “investment grade,” pemerintah menekan defisit, membatasi subsidi, dan memprioritaskan pembayaran bunga utang. Di mata lembaga pemeringkat seperti Fitch, Moody’s, atau S&P, langkah ini dianggap disiplin fiskal. Tapi di mata rakyat, itu artinya anggaran sosial dikorbankan demi membayar bunga. Dalam bahasa ekonomi politik, inilah bentuk fiscal servitude — negara bekerja untuk melayani kreditur, bukan warga negaranya.
Akibatnya, pertumbuhan ekonomi makin tidak berkorelasi dengan pemerataan. Sebagian besar aktivitas ekonomi justru tumbuh di sektor keuangan dan ekspor komoditas, bukan di industri berbasis inovasi atau manufaktur padat karya. Kredit korporasi membengkak, utang BUMN naik, dan transaksi pasar modal melonjak, semua ini meningkatkan PDB secara statistik, tapi tidak menciptakan lapangan kerja yang berarti. Pertumbuhan seperti ini hanyalah ilusi kemakmuran: angka ekonomi membesar karena sirkulasi uang dan utang, bukan karena peningkatan produktivitas rakyat.
***
Kita hidup di zaman ketika angka-angka ekonomi lebih populer daripada manusia di baliknya. Pemerintah bangga saat PDB tumbuh lima persen, media menulisnya dalam huruf tebal, dan publik bertepuk tangan, tanpa sadar bahwa angka itu belum tentu berarti kesejahteraan.
Padahal, PDB hanyalah ukuran aktivitas pasar, bukan kualitas hidup. Ia menghitung mobil yang terjual, bukan kebahagiaan pengemudinya; menghitung beton yang dituangkan, bukan kualitas udara yang dihirup.
Ekonom Amartya Sen dan Mahbub ul Haq menyadari kelemahan ini sejak awal 1990-an. Mereka memperkenalkan Human Development Index (HDI) untuk menambahkan dimensi kemanusiaan: pendidikan, harapan hidup, dan pendapatan. Hasilnya mengejutkan. Indonesia, yang secara nominal masuk 10 besar ekonomi dunia, hanya berada di peringkat 114 dalam HDI 2023. Artinya, pertumbuhan kita tidak inklusif—besar di angka, kecil di makna.
Negara-negara maju mulai sadar bahwa growth for the sake of growth justru membawa krisis baru: ketimpangan, stres sosial, dan kerusakan lingkungan. Karena itu lahir konsep degrowth — bukan anti-pertumbuhan, melainkan menyembuhkan ekonomi dari kecanduan angka. Konsep ini lahir dari kesadaran sederhana: bumi punya batas, tapi keserakahan manusia tidak. Degrowth mengajak kita berpikir ulang, bagaimana jika tujuan ekonomi bukan lagi memperbanyak produksi, tetapi memperluas makna hidup?
Kita tidak perlu terus menebang hutan demi menambah 0,5% PDB. Kita hanya perlu memastikan petani yang menanam, pekerja yang memproduksi, dan anak muda yang berinovasi bisa hidup layak dari hasil kerja mereka. Itulah inclusive growth, yaitu pertumbuhan yang memberi ruang bagi semua orang untuk tumbuh, tanpa menyingkirkan siapa pun.
Bayangkan dua desa: Desa A punya tambang nikel besar, ribuan truk hilir-mudik, dan angka PDB daerahnya melonjak. Tapi warganya tetap miskin, hanya jadi buruh musiman. Desa B membangun koperasi kecil, mengolah singkong menjadi molase dan herbal menjadi ekstrak. Nilai tambah tinggal di desa, uang berputar di antara mereka.
Desa B mungkin tumbuh lebih lambat, tapi ia tumbuh untuk semua. Itulah makna pertumbuhan inklusif: ketika ekonomi menjadi alat pemerataan, bukan piramida baru kekuasaan.
Eropa mulai berani mengurangi laju konsumsi material. Belanda mempraktikkan konsep Doughnut Economy — memastikan kegiatan ekonomi tidak melampaui batas ekologis, tapi juga tidak meninggalkan rakyat di bawah garis kesejahteraan. OECD kini punya Inclusive Growth Framework, bukan sekadar GDP tracker. China bahkan memberi pelajaran ekstrem: 3.000 batalion kader partai dikirim ke desa untuk memastikan tidak ada satu pun kebijakan yang luput dari keadilan distribusi. Hasilnya, 800 juta orang keluar dari kemiskinan hanya dalam satu dekade. Mereka tumbuh bukan karena mencetak utang lebih besar, tapi karena mendistribusikan kesempatan.
Kita bisa mengambil arah serupa. Bukan lagi mengejar angka 8% pertumbuhan, tapi membangun ekonomi yang manusiawi dan tangguh. Caranya bukan rumit: Potong bisnis rente yang memonopoli distribusi dan akses modal. Dorong koperasi dan industri kecil yang memberi nilai tambah di desa. Ciptakan warehousing ecommece market place yang menjamin market dan distribusi barang dan jasa terjadi efisien dan meluas bagi siapa saja. Ukur ulang keberhasilan bukan dari seberapa cepat ekonomi tumbuh, tapi seberapa adil hasilnya dibagi.
Seperti kata Kate Raworth dalam Doughnut Economics: “Tujuan ekonomi bukanlah untuk tumbuh tanpa akhir, melainkan untuk berkembang agar semua orang hidup baik dalam batas planet.”
Indonesia tidak kekurangan sumber daya; yang kurang adalah arah. Degrowth memberi kita kompas moral — untuk berhenti menyakiti bumi demi angka. Inclusive growth memberi kita peta jalan — untuk membangun kemakmuran bersama dari bawah. Kombinasi keduanya bukan anti-modern, melainkan versi modern dari kebijaksanaan lama: gotong royong.
Pertumbuhan sejati bukanlah tentang siapa yang paling cepat, tapi siapa yang tidak tertinggal. Dan di situlah masa depan ekonomi Indonesia seharusnya dimulai.
Referensi
Stiglitz, J.E., Sen, A., & Fitoussi, J.P. (2009). Report of the Commission on the Measurement of Economic Performance and Social Progress. UNDP (2024). Human Development Report 2023/2024. Kallis, G. (2018). Degrowth. (Cambridge/Polity). Raworth, K. (2012). A Safe and Just Space for Humanity (Oxfam Discussion Paper) & Doughnut Economics resources (DEAL). OECD (2015). Inclusive Growth: The OECD Measurement Framework.; OECD (2018). Opportunities for All: Framework for Policy Action on Inclusive Growth. OECD (2025). Demographic headwinds and growth (ringkas via liputan independen). TIME, 2021, Guardian, 2025). Amsterdam (dan Tomelilla, Swedia