Mudanews.com OPINI – Di negeri ini, ketahanan pangan tak selalu diukur dari luas lahan sawah atau hasil panen petani. Kadang ia lebih bergantung pada nota kesepahaman di ruang ber-AC, atau lebih halusnya: MoU antar negara.
Lihatlah bagaimana pejabat kita dengan wajah penuh ketenangan menjelaskan kepada rakyat, impor produk pertanian dari Amerika senilai US$ 4,5 miliar per tahun bukan ancaman. Tidak mengganggu ketahanan pangan, katanya. Karena semua sudah diatur rapi. Ada persetujuan teknis. Ada stempel, ada prosedur. Maka rakyat tak perlu risau.
Jagung, kedelai, kapas, susu—datanglah dari negeri seberang. Semua demi strategi dagang yang lebih besar. Demi tarif produk Indonesia yang lebih murah di Amerika sana. Ada yang menyebutnya win-win solution. Tapi entah siapa sebenarnya yang sedang menang.
Mungkin pemerintah lupa janji manis awal tahun 2025. Katanya, nanti tak akan impor pangan. Karena kita lebih kuat, lebih mandiri, lebih berdaulat. Tak usah tanya bagaimana caranya, karena jawabannya selalu sama: optimisme. Optimisme itu gratis, tak perlu anggaran. Ia cukup hidup dalam pidato. Dan kini semua yang dikatakan lupa begitu saja.
Namun sejarah di negeri ini selalu menyisakan ironi kecil yang lembut. Ada seorang mantan pejabat bernama Tom Lembong. Ia tak pernah terbukti korupsi. Ia hanya menandatangani izin impor gula di masa lalu. Alasannya sederhana: demi memastikan stok nasional aman. Waktu itu, tak ada yang ribut. Tapi waktu berganti, kekuasaan berganti. Dan kini izin yang dulu dianggap logis dan sah, berubah menjadi alasan hukum. Ia harus mendekam. Padahal setelah kasusnya impor itu legal. Bahkan dianggap sebagai pahlawan tarif
Aneh? Tidak. Biasa saja. Karena di negeri ini, izin impor hari ini bisa jadi prestasi. Besok, bisa berubah jadi dakwaan. Begitu pula sebaliknya. Semua tergantung siapa yang sedang memegang palu, siapa yang sedang memegang pena.
Maka pelajaran halus yang bisa kita simpan:
Di republik ini, bukan soal benar atau salah. Tapi soal siapa, kapan, dan di bawah kepentingan siapa.
Dan rakyat?
Tetap membeli produk pangan. Tak pernah tahu, apakah yang mereka beli hasil keringat petani… atau hasil dari MoU.
@Erizeli Jely Bandaro