Ketua Kelompok Tani di Dairi Diduga Ditangkap Polisi, 33 Warga Lainnya Ikut Ditahan Karena Protes

Breaking News
- Advertisement -

Mudanews.com, MEDAN – Seorang warga Desa Parbuluan VI, Kecamatan Parbuluan, Kabupaten Dairi, Sumatera Utara, bernama Pangihutan Sijabat, diduga ditangkap oleh personil Kepolisian Resor (Polres Dairi) setelah pulang mengantar anaknya sekolah, pada Rabu (12/11/2025) kemarin.

Pada hari yang bersamaan, warga Desa di hari yang sama mendatangi Polres Dairi yang berlokasi di Jalan Sisingamangaraja, Kecamatan Sidikalang, Dairi. Namun, kedatangan warga tersebut berakhir dengan dugaan tindak kekerasan.

Menurut keterangan tertulis dari Koordinator Bantuan Hukum dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara (Bakumsu), Nurleli Sihotang, mengatakan jika Pangihutan merupakan seorang Ketua Kelompok Tani dari Pejuang Tani bersama Alam. Sementara, warga desa yang mendatangi kantor Polres Dairi merupakan bagian dari kelompok tani tersebut.

“Pagi sekitar pukul 09.00 WIB mereka hanya ingin memastikan keberadaan Pangihutan saja. Namun, mereka berakhir dengan diseret, dipiting yang akhirnya mengalami luka lebam,” ujar Nurleli.

Berdasarkan keterangan dari Bakumsu, saat Pangihutan akan dibawa, seorang warga bernama Armin Matondang, menyaksikan penangkapan itu dan segera mencoba untuk menyelamatkan Pangihutan. Namun, pada momen itu, lanjut Nurleli, Armin justru dihadang oleh diduga seorang petugas yang langsung mengeluarkan senjata api. Kemudian, suara tembakan terdengar.

Kondisi tersebut, kata Nurleli, membuat Armin ketakutan. Bukan hanya karena suara tembakan, tetapi karena diduga ancaman seorang petugas lainnya yang menodong jenis senjata laras panjang. Merasa diintimidasi, Amrin kemudian menyelamatkan diri dan memberitahu kejadian yang dialaminya serta penangkapan Pangihutan kepada warga lainnya.

“Pangihutan Sijabat. Bersamaan dengan upaya Armin Matondang menolong Pangihutan, salah seorang yang menangkap Pangihutan, mengeluarkan pistol dan menembakkan ke atas, yang lainmenenteng senjata laras panjang membentak Armani “hu tandai ho da!” (ku tandai kau ya). Armin punmundur tidak jadi menolong Pangihutan,” kata Nurleli.

Warga yang mendengar kabar tersebut kemudian bergegas untuk memastikan kondisi Pangihutan. Mereka awalnya menuju daerah Kecamatan Sumbul namun, tidak bertemu. Kemudian, warga langsung bertolak menuju Polres Dairi.

Tiba di lokasi. Warga dihampiri oleh para petugas. Mereka diberitahu oleh petugas jika Pangihutan sedang diamankan dan mengeklaim kondisi Pangihutan baik-baik saja. Warga tidak percaya begitu saja. Mereka kemudian meminta untuk bertemu dengan Pangihutan sialnya, petugas mementahkan keinginan warga.

“Warga bertahan. Saat itu, gesekan juga terjadi. Kondisi di sana saat itu berakhir ricuh,” kata Nurleli.

Ditengah-tengah situasi tersebut, banyak pria dan perempuan yang diduga mengalami tindak kekerasan. Nurleli juga menjelaskan jika keributan tersebut diduga karena petugas menghalangi warga yang ingin melihat kondisi Pangihutan. Selain itu, ada lemparan benda keras saat-saat warga berhadapan dengan petugas.

Kejadian itu berakhir dengan dugaan penahanan sebanyak 33 orang warga yang terdiri dari 28 orang pria dan 4 perempuan. 2 diantara mereka merupakan orang-orang dari organisasi non-pemerintah hakni Yayasan Petrasa. Hingga saat ini, sebanyak 34 orang warga termasuk Pangihutan diduga masih ditahan oleh Polres Dairi.

Terkait kejadian tersebut, awak media belum mendapatkan keterangan resmi dari Polres Dairi untuk mengetahui kebenaran dugaan penangkapan, kekerasan, dan dugaan intimidasi serta ancaman terhadap masyarakat sipil.

Sementara itu, perwakilan organisasi non-pemerintah dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Sumut, Togap Sihombing, menjelaskan bahwa 34 warga yang ditahan tersebut adalah korban dampak buruk atas keberadaan sebuah perusahaan bernama PT Gunung Raya Utama Timber Industries atau Gruti yang dituding telah merusak lingkungan hidup pada warga.

“Inti dari perjuangan warga adalah perjuangan hak atas sumber agraria. PT. Gruti, dengan operasionalnya, telah menimbun dan mematikan 10 anak sungai yang menjadi urat nadi kehidupan pertanian warga,” Togap.

“Selain itu, ini adalah bentuk perampasan ruang hidup dan penggusuran ekologis yang secara sistematis menghancurkan ketahanan pangan dan mata pencaharian petani,” sambung Togap.

Kemudian, dalam catatan sejumlah organisasi non-pemerintah seperti Yayasan Diakonia Pelangi Kasih, sejak adanya PT. Gruti di dekat lingkungan hidup warga, sebanyak 700 hektare hutan di desa Parbuluan VI dan di Desa Sileu-leuh telah habis ditebang. Lembah serta bukit-bukit diratakan.

Selaintu, diperkirakan kurang lebih, ada sebanyak 2.402 jiwa warga desa Sileu-Leuh dan 5.191 jiwa warga Parbuluan VI terkena dampak kerusakan lingkungan ini.

“Sepuluh anak sungai yang merupakan sumber air untuk kebutuhan hidup dan kebutuhan pertanian warga desa Parbuluan VI dan Sileu-leuh saat ini telah kering. Perusahaan menutup (menimbun) anak-anak sungai ini. Sumur-sumur warga juga sudah mulai kering,” ucap perwakilan Yayasan Diakonia Pelangi Kasih, Rohani Manalu.

Kondisi tersebut sangat merugikan warga. Kata Rohani, sejak tahun 2020 warga telah mengadukan hal tersebut ke pemerintah kabupaten (Pemkab) Dairi.

“Lebih dari sepuluh kali diadukan warga. Namun, Pemkab serta DPRD Dairi tak ada respon terhadap keresahan warga tersebut,” kata Rohani.

Lebih lanjut, Solidaritas Masyarakat Sipil menyatakan sikap yang dituangkan dalam empat poin:

  1. Kepala Kepolisian Resor Dairi untuk segera melepaskan 33 orang warga yang ditahan saat ini dan 1 orang yakni Pangihutan Sijabat yang ditahan di Polda Sumatera Utara, mereka bukan seorang kriminal mereka adalah pejuang lingkungan. Serta tidak melakukan tindakan brutalitas kepada masyarakat desa Parbuluan VI.
  2. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia untuk memberikan perlindungan kepada warga yang sedang memperjuangkan hak hidup, dan hak lingkungan hidupnya serta mendesak Kementerian Kehutanan untuk mengevaluasi PT Gunung Raya Utama Timber Industries (GRUTI) yang telah mengakibatkan kerusakan dan hilangnya mata air di desa Parbuluan VI.
  3. Kementerian Kehutanan untuk segera mencabut izin (IUPHHK-HA) PT Gruti karena kerusakan lingkungan yang diakibatkan usahanya dan kerusakan ini telah berdampak terhadap kehidupan warga, yaitu hilangnya sumber air masyarakat baik untuk kebutuhan sehari-hari maupun untuk pertanian.
  4. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Komisi IV, Komisi VII dan Komisi XII untuk segera menindak lanjuti pengaduan yang telah berulang kali dilakukan masyarakat ke DPRD kabupaten Dairi namun hingga kini tidak ada tindak lanjut.

(Din/Mudanews.com)

Berita Terkini