Di Balik Terpilihnya Kaesang : Ketika PSI Memilih Dinasti Bukan Demokrasi

Breaking News
- Advertisement -

 

 

Penulis : Anton Christanto  Pemerhati dan Pengamat Politik di Boyolali

Mudanews.com OPINI – Di tengah sorotan lampu-lampu megah, tepuk tangan kader, dan iringan musik energik, Kaesang Pangarep berdiri di podium utama Kongres Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dan menyampaikan pidatonya. Putra bungsu Presiden ke-7 Republik Indonesia itu resmi kembali terpilih sebagai Ketua Umum PSI untuk periode 2025–2030.

“Di tahun 2029, kita akan buktikan bahwa PSI adalah kekuatan politik baru yang tak bisa diabaikan,” ujar Kaesang, disambut riuh.
Namun di balik panggung yang meriah dan jargon “partai muda progresif” yang terus diulang, ada sesuatu yang mengganjal.

Bagaimana mungkin seorang tokoh tanpa pengalaman politik elektoral signifikan, tanpa rekam jejak kepemimpinan publik yang teruji, bisa kembali terpilih tanpa perlawanan berarti?
Apakah ini cermin keberhasilan sistem kaderisasi internal, atau justru pertanda bahwa PSI sedang bergerak menjauh dari semangat demokrasi yang dulu mereka agung-agungkan?

E-Voting: Demokratisasi Digital atau Formalitas Politik?

PSI membanggakan proses e-voting sebagai sistem pemilihan modern, transparan, dan partisipatif. Namun saat tim kami mencoba menelusuri bagaimana sistem ini berjalan, tanda tanya mulai bermunculan.

Tak ada debat terbuka antar calon. Tak ada mekanisme penjaringan kandidat yang diinformasikan secara luas ke kader daerah. Bahkan sebagian pengurus PSI di tingkat cabang mengaku baru mengetahui nama calon beberapa hari sebelum kongres.

“Jujur saja, sebagian besar dari kami tidak punya informasi apa-apa. Nama Kaesang sudah disebut-sebut sejak awal, dan tidak ada yang benar-benar mengira akan ada kejutan,” ujar salah satu kader PSI dari Sumatera yang enggan disebutkan namanya.

Jika pemilihan dilakukan tanpa kompetisi ide, tanpa ruang kontestasi, dan tanpa diskursus substansial, apakah itu bisa disebut demokrasi?
Ataukah e-voting hanya menjadi jubah digital dari sebuah aklamasi yang sudah diskenariokan?

Track Record Kaesang: Dari Bisnis Martabak ke Kursi Tertinggi Partai

Sejak bergabung ke PSI pada akhir 2023, Kaesang langsung diangkat sebagai Ketua Umum. Dalam waktu kurang dari dua tahun, ia sudah dua kali memimpin kongres nasional. Dalam sejarah politik Indonesia modern, belum pernah ada seorang ketua umum partai nasional terpilih dengan pengalaman politik sependek itu.

Kaesang memang dikenal publik sebagai pengusaha muda. Ia mempopulerkan bisnis makanan dan minuman, serta aktif di media sosial. Tapi ketika berbicara tentang kepemimpinan politik—apalagi dalam skala nasional—rekam jejak seperti ini belum cukup.

“Kaesang tidak sedang disalahkan karena jadi anak presiden. Tapi sistem yang membiarkan seseorang naik ke puncak kekuasaan hanya karena nama belakangnya, itulah yang bermasalah,” kata seorang pengamat politik dari UGM.

Ini bukan sekadar soal figur. Ini soal preseden demokrasi. Apa pesan yang disampaikan kepada jutaan anak muda Indonesia yang berjuang dari bawah, belajar politik dengan idealisme dan kerja keras, ketika mereka melihat seseorang melompati seluruh tahapan hanya karena hubungan darah?

Jejak Dinasti: Ketika Politik Menjadi Urusan Keluarga

Yang membuat kasus Kaesang makin rumit adalah posisinya sebagai bagian dari keluarga Jokowi. Ayahnya adalah Presiden dua periode. Kakaknya, Gibran Rakabuming Raka, kini menjadi Wakil Presiden. Kini, adiknya menjadi Ketua Umum partai nasional.

Di mana-mana, fenomena ini disebut dinasti politik.

Berbagai pihak, termasuk Komnas HAM dan ICW, telah berulang kali mengingatkan bahwa konsentrasi kekuasaan dalam satu keluarga bukan hanya tidak etis, tapi juga berbahaya bagi demokrasi. Demokrasi yang sehat membutuhkan regenerasi kepemimpinan berbasis kompetensi, bukan koneksi darah.

Namun dalam kasus PSI, kedekatan Kaesang dengan elite kekuasaan tampaknya menjadi nilai tambah, bukan titik kritik. PSI yang dulu berdiri atas semangat meritokrasi, kini berubah menjadi partai yang terang-terangan menikmati keuntungan dari relasi dinasti.

Dan publik mulai muak.

Apa Kata Kader Daerah? Suara-suara yang Terpendam

Tim kami berbicara dengan sejumlah pengurus dan kader PSI dari Jawa Tengah, Kalimantan, dan Sulawesi. Mayoritas dari mereka mengaku tak dilibatkan secara bermakna dalam proses pemilihan. Beberapa menyebut, sejak awal, “semua sudah diatur dari atas.”

“Kami hanya datang untuk meramaikan acara. Tapi arah angin politik partai ini bukan di tangan kader,” kata salah satu pengurus PSI di Kalimantan Selatan.

Yang lebih menyakitkan: banyak kader muda yang dahulu percaya pada PSI sebagai partai harapan baru, kini mulai diam. Bukan karena mereka setuju, tapi karena mereka merasa tidak punya ruang untuk bersuara.

Antara Ambisi dan Integritas: Kemana Arah PSI?

PSI kini berada di persimpangan yang menentukan.

Jika partai ini hanya ingin eksis di pemerintahan, mengamankan jabatan, dan bermain aman dalam lingkar kekuasaan, maka mereka tinggal melanjutkan pola saat ini. Dukung Kaesang, promosikan wajah muda, dan pastikan koneksi ke istana tetap kuat.

Tapi jika PSI masih memegang idealisme awalnya—membangun politik baru yang bersih, meritokratis, dan berani melawan arus lama—maka mereka harus melakukan otokritik. Mereka harus mulai membuka ruang yang sungguh-sungguh demokratis bagi semua kader untuk tampil, bersaing, dan memimpin.

Sayangnya, yang terlihat hari ini justru sebaliknya: PSI bukan sedang mematahkan hegemoni, melainkan ikut menikmatinya.

Penutup: Demokrasi Bukan Warisan

Pemilihan Kaesang sebagai Ketua Umum PSI mungkin akan dianggap biasa oleh sebagian orang. Tapi sejarah akan mencatat ini sebagai momen penting dalam pembusukan budaya demokrasi jika tidak dikoreksi.

Ketika partai muda ikut melanggengkan dinasti, ketika kontestasi digantikan oleh aklamasi, dan ketika integritas kalah oleh koneksi, maka demokrasi kita sedang mundur.

Masyarakat Indonesia, terutama generasi muda, berhak marah. Berhak kecewa. Berhak menuntut partai politik untuk kembali waras. Dan PSI—yang pernah menjadi simbol harapan itu—masih punya waktu untuk memperbaiki diri.

Jika tidak, rakyat akan berpaling. Dan sejarah tidak akan pernah memaafkan mereka yang memilih nyaman dalam kekuasaan, ketimbang berjuang bersama rakyat dalam kebenaran.

Apakah PSI Masih Menjadi Partai Kita? Atau Sudah Jadi Milik Mereka?

***

Kaesang Pangarep resmi terpilih sebagai Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) periode 2025-2030 dalam Kongres PSI yang digelar di Kota Solo, Jawa Tengah, Sabtu (19/7/2025).

Putra bungsu Presiden ke-7 RI ini berjanji membawa PSI menjadi partai besar lima tahun depan.

Targetnya, PSI bisa melenggang ke Senayan dan banyak kader PSI yang menjadi anggota DPR RI.

Izinkan saya meminta maaf yang sebesar-besarnya kepada seluruh anggota kader PSI karena saya gagal membawa partai ini masuk ke Senayan. Tapi ingat, di 2029 nanti kita akan menjadi partai yang diperhitungkan, ujar Kaesang.

#Politik #PSI #KongresPSI2025 #Kaesang #KaesangPangarep #vjlab

Berita Terkini