Kiat Projo Mendapat Posisi Kekuasaan

Breaking News
- Advertisement -

 

Oleh Aznil Tan

Mudanews.comOPINI | Seorang filsuf pernah berkata, pemimpin yang belum tuntas pada dirinya akan lebih mencintai pujian daripada kebenaran; di tangan mereka, menjilat bukan lagi aib, melainkan karier yang menjanjikan.

Kalimat itu rasanya pas menggambarkan politik kita hari ini. Dalam politik Indonesia, relawan sering kali bukan sekadar pendukung. Mereka bisa menjadi jalan pintas menuju kekuasaan.

Di setiap pemilu, bermunculan “tim hore” yang memuja figur dan menyulap kesetiaan menjadi investasi politik. Di balik semangat dukungan dan loyalitas itu, ada pola yang makin jelas terlihat — bagaimana tim hore bertransformasi menjadi aktor kekuasaan, bahkan mengambil posisi strategis dalam pemerintahan dan partai.

Perjalanan Projo dan Budi Arie Setiadi menjadi contoh paling terang. Dari semula relawan yang mengusung jargon tegak lurus pada Jokowi, Budi Arie menapaki tangga kekuasaan dengan mulus. Ia pernah menjabat sebagai Wakil Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, lalu naik menjadi Menteri Komunikasi dan Informatika.

Di sekelilingnya, gerbong Projo juga ikut menikmati limpahan posisi: dari kursi komisaris di BUMN, jabatan di deputi kementerian, hingga berbagai proyek strategis pemerintah. Relawan yang dulu mengibarkan idealisme rakyat kini menjadi bagian dari struktur kekuasaan yang dulu mereka bantu menegakkan.

Kiprah Projo pun tidak tanggung-tanggung dalam membela Jokowi. Demi kekuasaan, mereka kerap menabrak batas kepantasan — dari mendukung wacana tiga periode hingga menutup mata terhadap pelanggaran nilai dan etika berbangsa. Mereka tampil sebagai pembela utama Jokowi di setiap kritik publik, seolah menukar fungsi kontrol menjadi pembenaran.

Organisasi ini juga termasuk yang paling awal mengusung Gibran Rakabuming Raka, putra Jokowi, sebagai calon Wali Kota Solo. Konsistensi dukungan bukan hanya kepada Jokowi, tetapi juga kepada keluarganya.

Ketika Gibran Rakabuming Raka dipasangkan dengan Prabowo Subianto dalam Pilpres 2024, Projo dengan cepat menyatakan dukungan penuh kepada pasangan Prabowo–Gibran, dengan dalih tetap “tegak lurus pada Jokowi.”

Pergeseran ini menandai fase baru: dari relawan yang mengabdi kepada figur, menjadi relawan yang mengabdi kepada kekuasaan itu sendiri. Setelah kemenangan Prabowo–Gibran, Budi Arie kembali memperoleh kursi menteri, kali ini sebagai Menteri Koperasi dan UKM. Namun belum genap setahun menjabat, ia direshuffle.

Kini, Budi Arie bersama Projo yang dipimpinnya bermanuver dengan memilih bergabung ke Partai Gerindra — bukan ke PSI, partai yang selama ini dikenal dekat dengan Jokowi, mantan bosnya.

Reshuffle dari kabinet Prabowo tampaknya tak membuat langkah politik mereka surut. Sebaliknya, manuver ini justru menegaskan upaya Projo untuk menjaga kedekatan dengan poros kekuasaan baru.

Di satu sisi, langkah itu bisa dibaca sebagai bentuk loyalitas terhadap Prabowo. Namun di sisi lain, muncul pertanyaan yang tak kalah menarik: apakah Gerindra akan sepolos itu membaca manuver Projo sebagai bentuk dukungan yang tulus, atau justru sebagai upaya mempertahankan ruang dalam orbit kekuasaan?

Kisah ini menegaskan betapa tipis batas antara loyalitas dan oportunisme dalam politik Indonesia. Relawan yang lahir dari semangat rakyat kini menjelma menjadi elite baru yang hidup dari kekuasaan. Kesetiaan yang dulu tampak seperti pengabdian perlahan berubah menjadi strategi bertahan di lingkar pengaruh

Ketika kritik terhadap Projo mulai menguat, Budi Arie menegaskan pada Kongres III (1–2 November 2025) bahwa Projo bukan singkatan dari Pro-Jokowi, melainkan berasal dari bahasa Sanskerta dan Jawa Kawi yang berarti “negeri” dan “rakyat.”

Penjelasan itu terdengar filosofis, namun bagi publik justru menimbulkan senyum tipis. Ia lebih menyerupai upaya menghapus jejak sejarah ketergantungan politik yang sudah terlanjur melekat.

Sejak awal, Projo lahir bersama figur Jokowi — membawa wajah, nama, dan arah politiknya. Sulit membayangkan Projo tanpa Jokowi dalam bayangan publik.

Pernyataan itu justru menyingkap paradoks besar relawan politik: mereka ingin tampak independen, tetapi kekuatannya lahir dari ketergantungan. Saat figur melemah, organisasi sibuk menata ulang identitas — dari relawan personal menjadi organisasi rakyat.

Padahal makna baru itu tak dapat menutupi kenyataan lama: kekuatan Projo dibangun dari kedekatan, bukan dari gagasan.

Fenomena ini menyingkap wajah sejati politik kita: relawan yang semula menjadi energi moral publik kini menjelma menjadi elite baru di lingkar kekuasaan. Mereka kehilangan keberanian untuk menjaga jarak dari penguasa.

Kritik tak lagi dibaca sebagai koreksi, melainkan sebagai gangguan terhadap kenyamanan kekuasaan. Di titik ini, relawan bukan lagi kekuatan pengimbang, melainkan kepanjangan tangan dari kuasa yang dulu mereka bela atas nama rakyat.

Politik yang berpusat pada figur memang memberi jalan cepat menuju kuasa, tetapi juga menyediakan pintu keluar yang tiba-tiba.

Budi Arie telah melalui semua fase itu: dari relawan menjadi pejabat, dari simbol kesetiaan menjelma simbol pragmatisme. Ia membuktikan bahwa dalam politik yang dikuasai kultus individu, kesetiaan hanya bertahan selama kekuasaan masih berguna.

Namun di sini muncul pertanyaan yang lebih dalam: mungkinkah relawan tetap idealis ketika kekuasaan sudah di tangan? Mungkin harapan itu memang terdengar utopis. Kekuasaan terlalu menggoda, dan kedekatan terlalu nyaman. Tetapi tanpa utopia moral itu, politik kehilangan cerminnya.

Sebab demokrasi yang sehat tidak dibangun di atas tepuk tangan, melainkan di atas keberanian berpikir. Ia membutuhkan warga yang berani mempertanyakan, bukan sekadar memuji. Ketika suara rakyat digantikan oleh sorak “tim hore”, politik kehilangan rohnya dan kekuasaan berjalan tanpa kendali.

Relawan sejati seharusnya berdiri di antara rakyat dan kekuasaan — menjadi jembatan, bukan pagar istana. Saat mereka sibuk mencari posisi, suara publik tenggelam. Ketika dukungan berubah menjadi karier, demokrasi kehilangan denyut moralnya yang paling jujur.

Politik Indonesia masih membutuhkan relawan, tetapi bukan relawan yang bersorak ketika berkuasa dan bungkam ketika kekuasaan menyimpang. Demokrasi membutuhkan mereka yang berpikir, bukan hanya yang berteriak; yang menegur, bukan yang memuja.

Dan mungkin di situlah arti sejati dari relawan: bukan tentang seberapa dekat ia dengan kekuasaan, tetapi seberapa jauh ia berani menjaga jarak demi kebenaran. Ini bukan soal pilihan politik, melainkan soal keberpihakan nurani.

Relawan sejati seharusnya berpihak pada akal sehat dan suara publik. Sebab di tengah politik yang kian riuh oleh sorak “tim hore”, menjaga jarak dari kekuasaan bukan tanda permusuhan — melainkan bentuk tanggung jawab moral sebagai warga negara.

Berita Terkini