Oleh : Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar
Mudanews.com OPINI – Lama juga kita tak ke Pati. Ternyata, detik-detik klimaks pelengseran sang Bupati mestinya dilakukan hari ini, akhir Oktober. Cuma, rakyat beda sikap ingin pelengseran, sementara wakilnya sendiri, DPRD Pati tetap ingin dipertahankan. Owedus, eh terbalik, Sudewo tetap di posisinya. Simak narasinya sambil seruput kopi tanpa gula, wak!
Pati, 31 Oktober 2025, hari di mana ban bekas lebih berguna dari mikrofon DPRD. Di dalam gedung megah yang ber-AC, 49 dari 50 anggota DPRD Pati berkumpul bak dewa-dewa kecil menentukan nasib manusia di bawah sana. Sidang paripurna digelar, laporan Pansus Hak Angket dibacakan dengan nada bak kitab suci politik. Tapi di ujung cerita, rakyat cuma dapat asap, bukan hasil.
Voting berlangsung seperti sandiwara yang sudah ditulis jauh-jauh hari, enam fraksi menolak pemakzulan, hanya PDIP yang bertahan dengan idealisme separuh luka. Ketua DPRD Ali Badrudin mengetuk palu, dan bunyi tok! itu langsung menggema hingga Alun-alun Pati, menembus ribuan dada rakyat yang menunggu di bawah terik dan debu. Keputusan final, Bupati Sudewo tetap menjabat. Rakyat? Tetap membara.
“Ini bukan sidang, ini sinetron!” teriak seseorang dari tengah kerumunan, sementara layar besar menayangkan hasil sidang seperti menyiarkan kekalahan nasional. Ratusan warga kecewa, ribuan terdiam, sebagian menyalakan ban, dan sebagian lainnya menyalakan sumpah. Api berkobar, bukan sekadar membakar karet, tapi membakar kepercayaan yang selama ini mereka simpan.
Aliansi Masyarakat Pati Bersatu (AMPB) sudah bersuara sejak awal, kalau Sudewo tak dimakzulkan, pasti ada manipulasi. Benar saja, hasilnya membuat banyak orang mengelus dada sambil tertawa getir. Di negeri yang katanya demokratis, logika rakyat selalu kalah oleh logika kursi.
Sidang yang seharusnya jadi momentum kebenaran malah berubah jadi pertunjukan klasik “Rekomendasi Perbaikan.” Kalimat yang terdengar lembut tapi sebenarnya meninabobokan. Rakyat tak butuh “perbaikan,” mereka butuh “keadilan.” Tapi tampaknya di dunia politik, keadilan hanya diservis kalau sudah booking jauh-jauh hari.
Bupati Sudewo kini tetap bertakhta, lengkap dengan status “aman konstitusional.” DPRD berdalih, pengawasan tetap jalan. Tapi rakyat tahu, pengawasan tanpa ketegasan itu cuma seperti CCTV tanpa listrik, ada, tapi tak berfungsi. Mereka janji akan awasi, bentuk tim, buat laporan berkala. Rakyat tersenyum sinis, “Laporan berkala itu kayak janji kampanye, muncul tiap lima tahun sekali.”
Di luar gedung, rakyat terus berdiri. Mereka bukan ingin membakar kota, mereka hanya ingin memastikan nurani masih punya tempat di republik ini. Seorang ibu berteriak sambil menggendong anaknya, “Nak, ingat ya—kalau sudah besar, jangan jadi pejabat yang lupa malu!” Kalimat itu disambut tepuk tangan spontan, lebih jujur dari pidato pembukaan sidang tadi.
Begitulah, drama demokrasi di Pati hari ini menulis bab baru dalam sejarah rakyat kecil. DPRD memilih jalan aman, partai memilih jalur nyaman, tapi rakyat memilih cara yang paling jujur, marah.
Karena kekuatan rakyat itu bukan di tangan, tapi di hati. Sekali simpati mereka hilang, tak ada palu sidang, undang-undang, atau pasal konstitusi yang mampu menahannya. Mungkin hari ini, api di Alun-alun Pati bukan sekadar protes, tapi peringatan. Bahwa bila penguasa terus bermain-main dengan kepercayaan rakyat, maka suatu hari nanti, yang terbakar bukan lagi ban, tapi seluruh panggung kekuasaan itu sendiri.
Sekarang yang tersisa, kemarahan rakyat Pati. Perjuangan mereka selama ini seperti tak ada arti. Wakil mereka yang sangat diharapkan bisa ketuk palu pelengseran, justru tak mendengar teriakan mereka di luar parlemen. Bakal ada kisah lebih dari Bumi Pati hari-hari ke depan.***

