Kelompencapir Coffee Morning KP2MI dan Krisis Gagasan Ketenagakerjaan

Breaking News
- Advertisement -

Oleh: Aznil Tan, Direktur Eksekutif Migrant Watch

Mudanews.com OPINI – Ada yang lucu sekaligus ironis ketika saya menerima undangan acara Coffee Morning dari BP2MI—yang kini tampaknya lebih senang disebut KP2MI.

Dalam surat itu tertulis dengan rapi dan formal bahwa peserta diharapkan hadir tepat waktu serta menyiapkan pertanyaan, masukan, dan rekomendasi sebelum acara dimulai. Bahkan, semua itu diminta dikirim paling lambat pukul 13.00 siang sehari sebelumnya.

Sekilas, terlihat seperti hal biasa. Namun bagi saya, itu absurd. Bagaimana mungkin forum yang katanya terbuka dan interaktif justru membatasi pikiran dengan tenggat administrasi? Inikah wujud baru dari “partisipasi publik” versi birokrasi, di mana semua pertanyaan sudah disiapkan, dan semua jawaban sudah dihafalkan?

Saya jadi teringat masa kecil, ketika menonton Kelompencapir di TVRI. Para petani duduk di depan kamera, tersenyum kaku sambil menghafal pertanyaan yang sudah ditulis pejabat. Mereka berpura-pura berdialog tentang pupuk dan panen, padahal semua jawaban sudah ada di amplop cokelat.

Puluhan tahun kemudian, versi digitalnya muncul kembali—dalam bentuk forum coffee morning di ruang ber-AC, lengkap dengan jargon “migrasi aman, legal, dan bermartabat.” Bedanya cuma satu: yang dulu di sawah, kini di Gade Coffee & Gold.

Masalahnya bukan pada kopinya, tetapi pada mentalitas lama yang tidak juga berubah. Mentalitas yang masih menganggap partisipasi rakyat sebagai formalitas; yang lebih takut pada kritik daripada pada kenyataan. Forum seperti itu tidak pernah benar-benar ingin mendengar, melainkan ingin memastikan bahwa semua yang terdengar hanyalah pujian.

Lima Fungsi Utama KP2MI

KP2MI sejatinya memegang mandat strategis. Transformasi dari BP2MI membawa peluang besar, namun kepemimpinan beberapa kali masih salah mindset dalam memandang dunia ketenagakerjaan global.

Mereka tidak lincah dalam melindungi hak bekerja, memastikan perlindungan pekerja, maupun menyelesaikan masalah yang menimpa mereka.

Dalam konteks pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, lembaga ini seharusnya berdiri di garda depan untuk melaksanakan perintah kepala negara: merebut pasar kerja dunia. Presiden telah membuka arah besar ekonomi nasional—pertumbuhan 8% bukan mustahil jika jutaan tenaga kerja Indonesia diserap di pasar global.

Fungsi KP2MI seharusnya jelas dan terukur, bukan dibiaskan oleh program seremonial yang sekadar memperbanyak pelatihan. Lembaga ini harus berfokus pada perlindungan nyata, penyelesaian masalah di lapangan, dan pemanfaatan peluang kerja global yang terbuka luas.

Fungsi sejati KP2MI mencakup melindungi hak bekerja dan memperluas pasar kerja luar negeri. Banyak negara sudah menawarkan jutaan posisi bagi tenaga kerja Indonesia. KP2MI harus memastikan warga mendapat akses legal dan aman, bukan malah memelintir mandat itu menjadi proyek pelatihan domestik yang menyedot Rp 8 triliun untuk mencetak 500.000 tenaga kerja baru di sektor welder dan hospitality, padahal peluang kerja global sudah terbuka.

Selain itu, KP2MI wajib menjamin perlindungan hukum dan keimigrasian bagi PMI di negara penempatan. Perlindungan bukan sekadar slogan. Kontrak kerja harus jelas, dokumen imigrasi sah, dan posisi pekerja aman dari eksploitasi. Setiap pelanggaran terhadap kontrak atau pelecehan di tempat kerja adalah kegagalan negara.

Krisis ketenagakerjaan dan sengketa PMI pun harus diselesaikan cepat dan tuntas. Ribuan PMI menghadapi sengketa ketenagakerjaan, status overstay, atau bahkan terjebak tanpa dokumen. KP2MI harus hadir sebagai crisis responder, bukan lembaga yang sibuk menggelar rapat koordinasi tanpa solusi konkret.

Lebih jauh, KP2MI harus mampu mengelola remitansi agar produktif. Ratusan triliun rupiah setiap tahun dikirim pekerja migran, namun tanpa manajemen yang tepat, uang itu hanya berputar untuk konsumsi, bukan investasi. KP2MI seharusnya mengubah remitansi menjadi kekuatan ekonomi lokal yang nyata, memperkuat desa-desa, dan membangun ekosistem ekonomi produktif.

Tidak kalah penting, KP2MI harus memberdayakan purna PMI agar menjadi pelaku usaha dan tenaga kerja produktif di dalam negeri. Ribuan mantan pekerja migran memiliki keterampilan dan pengalaman global—aset yang bisa menggerakkan ekonomi mikro dan menciptakan lapangan kerja baru. Mereka perlu akses modal, pelatihan bisnis, dan jaringan pemasaran agar tidak kembali menjadi penganggur.

Jangan Lagi Jadi Lembaga Seremonial

Jika lima fungsi itu dijalankan dengan serius, KP2MI tidak akan dikenal sebagai lembaga yang sibuk menggelar acara, tetapi sebagai institusi yang bekerja dalam diam, menyelamatkan pekerja, dan memperkuat ekonomi.

Sayangnya, yang lebih sering terjadi adalah kebalikannya: lembaga berlomba membangun citra “bermartabat” tanpa memperkuat sistem yang memastikan martabat itu nyata di lapangan.

Martabat pekerja tidak lahir dari baliho, tetapi dari perlindungan yang bekerja.

Ketika undangan Coffee Morning datang, saya sempat berpikir hadir—bukan untuk memuji menteri, tetapi untuk memastikan bahwa di tengah denting cangkir dan tawa basa-basi, masih ada satu suara yang tidak ikut menyanyikan lagu lama. Namun akhirnya, saya memutuskan tidak datang.

Karena di luar sana, jutaan pekerja migran menunggu langkah nyata yang bisa saya lakukan. Itu jauh lebih berarti daripada duduk di ruang ber-AC sambil mendengar birokrat bicara tentang tata kelola yang katanya sudah berubah, padahal belum juga beranjak dari kebiasaan lama.

Bangsa ini tidak butuh lebih banyak forum kopi, tetapi butuh keberanian menyeduh realitas. Pekerja migran kita tidak menunggu seremoni; mereka menunggu perubahan.

Berita Terkini