Oleh : Drs. Muhammad Bardansyah. Ch.Cht
Mudanews – Opini | Korupsi adalah bentuk pengkhianatan paling senyap namun paling menyakitkan dalam kehidupan berbangsa.
Ia tak selalu menampakkan wajah kejam seperti perang atau penjajahan, tetapi menetes perlahan seperti racun yang melumpuhkan sendi-sendi moral dan ekonomi bangsa.
Dalam setiap rupiah atau dolar yang digelapkan, ada jalan yang tidak dibangun, sekolah yang tidak berdiri, dan rumah sakit yang tak pernah selesai.
Namun di tengah kelamnya praktik korupsi global, sejumlah negara membuktikan bahwa keadilan bisa ditebus. Mereka tidak berhenti pada penghukuman pelaku, tetapi melangkah lebih jauh: mengembalikan uang yang dicuri untuk rakyat.
Langkah ini bukan sekadar tindakan hukum, melainkan rekonsiliasi moral antara negara dan warganya.
Tulisan ini mengulas beberapa negara yang berhasil merebut kembali aset yang dikorupsi dan memanfaatkannya secara transparan bagi pembangunan — sebagai pelajaran moral bagi bangsa-bangsa lain, termasuk Indonesia, yang masih berjuang mewujudkan cita-cita itu.
𝟏. 𝐍𝐢𝐠𝐞𝐫𝐢𝐚: 𝐃𝐚𝐫𝐢 𝐋𝐮𝐤𝐚 𝐍𝐚𝐬𝐢𝐨𝐧𝐚𝐥 𝐤𝐞 𝐏𝐞𝐦𝐛𝐚𝐧𝐠𝐮𝐧𝐚𝐧 𝐍𝐲𝐚𝐭𝐚
Nama Sani Abacha menjadi sinonim dengan kleptokrasi Afrika. Selama pemerintahannya (1993–1998), Abacha menjarah sekitar $5 miliar dari kas negara Nigeria. Uang itu disembunyikan di berbagai rekening rahasia di Swiss, Luksemburg, dan Inggris.
Setelah kematiannya, pemerintah Nigeria memulai pertempuran panjang selama lebih dari dua dekade untuk memulihkan aset tersebut.
Dengan dukungan Bank Dunia dan pemerintah Swiss, mereka berhasil mengembalikan lebih dari $1,2 miliar dana hasil korupsi ke kas negara.
Yang menarik, proses pengembaliannya dilakukan dengan mekanisme transparansi publik: uang hasil korupsi Abacha digunakan untuk membiayai Program Social Investment, termasuk Conditional Cash Transfer bagi keluarga miskin, bantuan pendidikan anak-anak, dan proyek infrastruktur lokal (World Bank, 2020).
Swiss bahkan menerapkan Global Forum on Asset Recovery (GFAR) untuk memastikan setiap dolar yang dikembalikan benar-benar dimanfaatkan untuk rakyat, bukan untuk memperkaya elite baru.
Keberhasilan Nigeria menjadi simbol bahwa justice delayed tidak selalu justice denied — keadilan yang tertunda tetap bisa ditegakkan jika negara tidak menyerah (World Bank & UNODC, 2021).
𝟐. 𝐏𝐞𝐫𝐮: 𝐌𝐞𝐧𝐮𝐧𝐭𝐮𝐭 𝐊𝐞𝐚𝐝𝐢𝐥𝐚𝐧 𝐡𝐢𝐧𝐠𝐠𝐚 𝐤𝐞 𝐏𝐞𝐧𝐠𝐚𝐬𝐢𝐧𝐠𝐚𝐧
Di Amerika Latin, kisah Peru menjadi salah satu contoh paling inspiratif tentang pemulihan aset negara.
Mantan Presiden Alberto Fujimori dan kepala intelijennya, Vladimiro Montesinos, terlibat dalam jaringan korupsi besar pada akhir 1990-an.
Fujimori melarikan diri ke Jepang, sementara Montesinos menyembunyikan jutaan dolar di bank-bank Swiss dan Kepulauan Cayman.
Pemerintah Peru, bekerja sama dengan lembaga internasional, berhasil melacak dan mengembalikan lebih dari $184 juta dari rekening luar negeri. Uang itu kemudian digunakan untuk mendukung reformasi peradilan, pembangunan sekolah, dan penguatan sistem antikorupsi di dalam negeri (OECD, 2022).
Yang menjadikan kasus ini penting bukan hanya jumlah uangnya, tetapi komitmen moral negara: publik Peru dilibatkan dalam pelaporan penggunaan dana hasil pemulihan tersebut. Transparansi menjadi elemen etis untuk memulihkan kepercayaan rakyat yang telah lama rusak akibat korupsi sistemik.
𝟑. 𝐌𝐞𝐤𝐬𝐢𝐤𝐨: 𝐌𝐞𝐧𝐞𝐠𝐚𝐤𝐤𝐚𝐧 𝐇𝐮𝐤𝐮𝐦 𝐚𝐭𝐚𝐬 𝐊𝐨𝐫𝐮𝐩𝐬𝐢 𝐍𝐞𝐠𝐚𝐫𝐚
Meksiko lama dikenal dengan budaya politik yang sarat patronase dan korupsi birokratik. Namun dalam satu dekade terakhir, negeri itu menunjukkan langkah maju dalam asset recovery.
Salah satu kasus penting adalah pengembalian aset dari mantan direktur perusahaan minyak negara Pemex, Emilio Lozoya, yang terlibat skandal suap besar dengan perusahaan Brasil, Odebrecht.
Melalui kerja sama dengan otoritas Amerika Serikat, Spanyol, dan Swiss, Meksiko berhasil menyita dan mengembalikan aset bernilai jutaan dolar yang digunakan untuk memperkaya pejabat publik.
Pemerintah kemudian mengumumkan bahwa dana tersebut akan dialokasikan untuk pendidikan publik dan penelitian energi bersih (Transparency International, 2023).
Meksiko juga mendirikan Unidad de Inteligencia Financiera (UIF) — lembaga independen untuk melacak aliran uang gelap lintas negara. Dengan memperkuat instrumen hukum dan kerja sama internasional, Meksiko memperlihatkan bahwa mengembalikan uang rakyat bukan utopia, melainkan political will yang bisa diwujudkan.
𝟒. 𝐒𝐰𝐢𝐬𝐬 𝐝𝐚𝐧 𝐀𝐦𝐞𝐫𝐢𝐤𝐚 𝐒𝐞𝐫𝐢𝐤𝐚𝐭: 𝐃𝐚𝐫𝐢 𝐒𝐮𝐫𝐠𝐚 𝐏𝐚𝐣𝐚𝐤 𝐤𝐞 𝐏𝐞𝐧𝐞𝐠𝐚𝐤 𝐄𝐭𝐢𝐤𝐚 𝐅𝐢𝐧𝐚𝐧𝐬𝐢𝐚𝐥
Ironisnya, dua negara yang pernah menjadi tempat persembunyian uang hasil korupsi dunia justru kini menjadi pelopor pengembalian aset curian.
Swiss, yang selama puluhan tahun dikenal karena kerahasiaan banknya, sejak tahun 2000-an mulai membuka diri terhadap kerja sama internasional dalam pengembalian aset. Negara ini terlibat langsung dalam pengembalian dana Abacha (Nigeria), Fujimori (Peru), dan juga pengembalian dana kleptokrat Tunisia, Ben Ali, setelah Arab Spring.
Sementara itu, Amerika Serikat, melalui Kleptocracy Asset Recovery Initiative (Departemen Kehakiman AS), telah mengembalikan lebih dari $1,7 miliar aset korupsi global sejak 2010 (U.S. DOJ, 2022).
Dana ini berasal dari hasil penyitaan properti, rekening, dan aset mewah yang dibeli oleh pejabat korup dari negara-negara berkembang.
Keduanya menunjukkan bahwa negara yang dulunya menjadi bagian dari masalah bisa berubah menjadi bagian dari solusi, jika ada reformasi moral dan hukum yang sejati.
𝟓. 𝐋𝐢𝐞𝐜𝐡𝐭𝐞𝐧𝐬𝐭𝐞𝐢𝐧 𝐝𝐚𝐧 𝐊𝐞𝐩𝐮𝐥𝐚𝐮𝐚𝐧 𝐂𝐡𝐚𝐧𝐧𝐞𝐥: 𝐃𝐚𝐫𝐢 𝐙𝐨𝐧𝐚 𝐀𝐛𝐮-𝐀𝐛𝐮 𝐤𝐞 𝐙𝐨𝐧𝐚 𝐀𝐤𝐮𝐧𝐭𝐚𝐛𝐢𝐥𝐢𝐭𝐚𝐬
Negara kecil seperti Liechtenstein dan beberapa yurisdiksi keuangan di Eropa Barat juga mulai berperan dalam mengembalikan aset curian.
Setelah mendapat tekanan global lewat Stolen Asset Recovery Initiative (StAR), mereka memperkuat regulasi transparansi dan mempercepat mekanisme pemulangan uang hasil korupsi.
Contohnya, pada 2021, Liechtenstein mengembalikan $20 juta dana curian dari kasus korupsi Eropa Timur yang sebelumnya disembunyikan di trust fund lokal. Langkah kecil ini menandai transformasi moral sistem keuangan internasional — bahwa perlindungan privasi finansial tidak boleh melindungi pencuri uang rakyat (UNODC, 2021).
𝟔. 𝐓𝐚𝐧𝐭𝐚𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐆𝐥𝐨𝐛𝐚𝐥: 𝐌𝐞𝐧𝐠𝐮𝐛𝐚𝐡 𝐀𝐬𝐞𝐭 𝐌𝐞𝐧𝐣𝐚𝐝𝐢 𝐇𝐚𝐫𝐚𝐩𝐚𝐧
Meski banyak keberhasilan, tantangan besar tetap mengintai: bagaimana memastikan uang yang dikembalikan benar-benar bermanfaat bagi rakyat?
Sejumlah laporan menunjukkan bahwa tanpa sistem pengawasan publik, uang hasil korupsi yang dikembalikan bisa kembali “hilang” di tangan birokrasi baru.
Untuk itu, Bank Dunia dan UNODC mendorong prinsip “return with integrity” — bahwa pemulihan aset harus disertai mekanisme transparansi, partisipasi masyarakat sipil, dan pengawasan independen.
Nigeria, Peru, dan Meksiko berhasil karena mereka menghubungkan pengembalian uang dengan pemulihan moral sosial, bukan hanya keuangan negara.
Korupsi, sejatinya, bukan semata kejahatan ekonomi. Ia adalah penyakit moral kolektif yang menghancurkan makna kepercayaan publik.
Maka mengembalikan uang rakyat tidak cukup lewat peradilan; ia harus mengembalikan juga harga diri bangsa.
𝟕. 𝐂𝐞𝐫𝐦𝐢𝐧 𝐮𝐧𝐭𝐮𝐤 𝐈𝐧𝐝𝐨𝐧𝐞𝐬𝐢𝐚: 𝐌𝐞𝐧𝐠𝐚𝐩𝐚 𝐊𝐢𝐭𝐚 𝐌𝐚𝐬𝐢𝐡 𝐓𝐞𝐫𝐭𝐢𝐧𝐠𝐠𝐚𝐥
Indonesia telah memiliki lembaga kuat seperti KPK dan PPATK, juga payung hukum untuk asset recovery. Namun dalam praktiknya, pengembalian uang hasil korupsi masih sering tidak transparan, bahkan tidak tuntas.
Banyak kasus besar berhenti pada vonis pidana tanpa kejelasan pemulihan kerugian negara. Dana yang disita sering kali tidak diketahui ke mana perginya atau bagaimana dimanfaatkan kembali untuk publik.
Lebih buruk lagi, narasi “pengembalian aset” terkadang dijadikan komoditas politik, bukan moralitas keadilan.
Dari Nigeria kita belajar keteguhan hukum; dari Peru kita belajar transparansi publik; dari Meksiko kita belajar keberanian politik. Sementara dari Indonesia — kita belajar bahwa tanpa moral keberanian, hukum hanyalah tulisan di kertas.
𝐏𝐞𝐧𝐮𝐭𝐮𝐩: 𝐌𝐞𝐧𝐞𝐛𝐮𝐬 𝐑𝐚𝐤𝐲𝐚𝐭 𝐝𝐞𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐊𝐞𝐣𝐮𝐣𝐮𝐫𝐚𝐧
Uang yang dicuri bukan sekadar nominal, melainkan janji yang diingkari. Maka ketika sebuah negara berhasil mengembalikan uang hasil korupsi untuk membangun sekolah, rumah sakit, dan infrastruktur, sejatinya ia sedang menebus dosanya kepada rakyat.
Negara-negara seperti Nigeria, Peru, dan Meksiko menunjukkan bahwa recovery bukan hanya soal uang, tapi tentang restorasi moral. Mereka mengajarkan bahwa keadilan bisa diperjuangkan, bahkan setelah sekian lama tertunda.
Bagi bangsa seperti Indonesia, pelajaran ini bukan untuk mempermalukan diri, melainkan untuk menyadarkan: keadilan tidak akan datang dari hukum semata, tetapi dari keberanian untuk menegakkan kejujuran.
𝐃𝐚𝐟𝐭𝐚𝐫 𝐑𝐞𝐟𝐞𝐫𝐞𝐧𝐬𝐢
– 𝘖𝘳𝘨𝘢𝘯𝘪𝘴𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯 𝘧𝘰𝘳 𝘌𝘤𝘰𝘯𝘰𝘮𝘪𝘤 𝘊𝘰-𝘰𝘱𝘦𝘳𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯 𝘢𝘯𝘥 𝘋𝘦𝘷𝘦𝘭𝘰𝘱𝘮𝘦𝘯𝘵 (𝘖𝘌𝘊𝘋). (2022). 𝘈𝘴𝘴𝘦𝘵 𝘳𝘦𝘤𝘰𝘷𝘦𝘳𝘺 𝘢𝘯𝘥 𝘳𝘦𝘵𝘶𝘳𝘯 𝘪𝘯 𝘗𝘦𝘳𝘶: 𝘊𝘢𝘴𝘦 𝘴𝘵𝘶𝘥𝘪𝘦𝘴 𝘰𝘯 𝘢𝘤𝘤𝘰𝘶𝘯𝘵𝘢𝘣𝘪𝘭𝘪𝘵𝘺 𝘢𝘯𝘥 𝘵𝘳𝘢𝘯𝘴𝘱𝘢𝘳𝘦𝘯𝘤𝘺. 𝘗𝘢𝘳𝘪𝘴: 𝘖𝘌𝘊𝘋 𝘗𝘶𝘣𝘭𝘪𝘴𝘩𝘪𝘯𝘨.
– 𝘛𝘳𝘢𝘯𝘴𝘱𝘢𝘳𝘦𝘯𝘤𝘺 𝘐𝘯𝘵𝘦𝘳𝘯𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯𝘢𝘭. (2023). 𝘙𝘦𝘤𝘰𝘷𝘦𝘳𝘪𝘯𝘨 𝘴𝘵𝘰𝘭𝘦𝘯 𝘢𝘴𝘴𝘦𝘵𝘴: 𝘓𝘦𝘴𝘴𝘰𝘯𝘴 𝘧𝘳𝘰𝘮 𝘓𝘢𝘵𝘪𝘯 𝘈𝘮𝘦𝘳𝘪𝘤𝘢. 𝘉𝘦𝘳𝘭𝘪𝘯: 𝘛𝘳𝘢𝘯𝘴𝘱𝘢𝘳𝘦𝘯𝘤𝘺 𝘐𝘯𝘵𝘦𝘳𝘯𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯𝘢𝘭 𝘚𝘦𝘤𝘳𝘦𝘵𝘢𝘳𝘪𝘢𝘵.
– 𝘜𝘯𝘪𝘵𝘦𝘥 𝘕𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯𝘴 𝘖𝘧𝘧𝘪𝘤𝘦 𝘰𝘯 𝘋𝘳𝘶𝘨𝘴 𝘢𝘯𝘥 𝘊𝘳𝘪𝘮𝘦 (𝘜𝘕𝘖𝘋𝘊). (2021). 𝘚𝘵𝘰𝘭𝘦𝘯 𝘈𝘴𝘴𝘦𝘵 𝘙𝘦𝘤𝘰𝘷𝘦𝘳𝘺 (𝘚𝘵𝘈𝘙) 𝘐𝘯𝘪𝘵𝘪𝘢𝘵𝘪𝘷𝘦: 𝘊𝘩𝘢𝘭𝘭𝘦𝘯𝘨𝘦𝘴, 𝘰𝘱𝘱𝘰𝘳𝘵𝘶𝘯𝘪𝘵𝘪𝘦𝘴 𝘢𝘯𝘥 𝘨𝘭𝘰𝘣𝘢𝘭 𝘥𝘢𝘵𝘢. 𝘝𝘪𝘦𝘯𝘯𝘢: 𝘜𝘕𝘖𝘋𝘊.
– 𝘜.𝘚. 𝘋𝘦𝘱𝘢𝘳𝘵𝘮𝘦𝘯𝘵 𝘰𝘧 𝘑𝘶𝘴𝘵𝘪𝘤𝘦 (𝘋𝘖𝘑). (2022). 𝘒𝘭𝘦𝘱𝘵𝘰𝘤𝘳𝘢𝘤𝘺 𝘈𝘴𝘴𝘦𝘵 𝘙𝘦𝘤𝘰𝘷𝘦𝘳𝘺 𝘐𝘯𝘪𝘵𝘪𝘢𝘵𝘪𝘷𝘦 𝘈𝘯𝘯𝘶𝘢𝘭 𝘙𝘦𝘱𝘰𝘳𝘵. 𝘞𝘢𝘴𝘩𝘪𝘯𝘨𝘵𝘰𝘯, 𝘋𝘊.
– 𝘞𝘰𝘳𝘭𝘥 𝘉𝘢𝘯𝘬. (2020). 𝘕𝘪𝘨𝘦𝘳𝘪𝘢: 𝘜𝘵𝘪𝘭𝘪𝘻𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯 𝘰𝘧 𝘳𝘦𝘤𝘰𝘷𝘦𝘳𝘦𝘥 𝘢𝘴𝘴𝘦𝘵𝘴 𝘧𝘰𝘳 𝘴𝘰𝘤𝘪𝘢𝘭 𝘪𝘯𝘷𝘦𝘴𝘵𝘮𝘦𝘯𝘵 𝘱𝘳𝘰𝘨𝘳𝘢𝘮𝘴. 𝘞𝘢𝘴𝘩𝘪𝘯𝘨𝘵𝘰𝘯, 𝘋𝘊.
– 𝘞𝘰𝘳𝘭𝘥 𝘉𝘢𝘯𝘬 & 𝘜𝘕𝘖𝘋𝘊. (2021). 𝘙𝘦𝘵𝘶𝘳𝘯𝘪𝘯𝘨 𝘴𝘵𝘰𝘭𝘦𝘯 𝘢𝘴𝘴𝘦𝘵𝘴: 𝘓𝘦𝘢𝘳𝘯𝘪𝘯𝘨 𝘧𝘳𝘰𝘮 𝘵𝘩𝘦 𝘈𝘣𝘢𝘤𝘩𝘢 𝘤𝘢𝘴𝘦. 𝘞𝘢𝘴𝘩𝘪𝘯𝘨𝘵𝘰𝘯, 𝘋𝘊.
[Red]

