Aspirasi Terukur Para Jenderal Purnawirawan TNI: Suatu Kajian Ketatanegaraan Dalam Pemakjulan Gibran Rakabuming Raka

Breaking News
- Advertisement -

Oleh : Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH (Praktisi Hukum)

Pendahuluan

Mudanews.com – Tatkala para jenderal purnawirawan TNI angkat bicara dalam soal ketatanegaraan, publik tahu bahwa bangsa ini sedang menghadapi persoalan yang lebih dari sekadar dinamika politik elektoral. Wacana pemakjulan terhadap Wakil Presiden terpilih Gibran Rakabuming Raka bukan hanya retorika oposisi atau ekspresi kekalahan politik, melainkan sinyal korektif dari para pengawal moral republik—khususnya mereka yang pernah bersumpah menjaga konstitusi dengan nyawa dan senjata.

Etika Politik dan Krisis Keteladanan

Bukan perkara usia Gibran semata yang menjadi sorotan, melainkan prosedur politik dan putusan hukum yang menyimpang dari semangat konstitusi. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 90/PUU-XXI/2023 menjadi titik awal guncangan etik yang membekas dalam sejarah demokrasi Indonesia. Putusan ini memberikan kelonggaran pencalonan bagi Gibran meski belum cukup usia menurut UUD 1945. Namun, yang membuat publik geger adalah kenyataan bahwa ketua Mahkamah Konstitusi kala itu adalah pamannya sendiri, yang kemudian terbukti melakukan pelanggaran etik berat.

Ketika hukum dijadikan alat akomodasi kekuasaan, maka wacana pemakzulan adalah bentuk koreksi konstitusional. Pasal 7A UUD 1945 jelas menyebutkan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan apabila terbukti melakukan pelanggaran hukum, pengkhianatan terhadap negara, atau perbuatan tercela lainnya. Dalam konteks Gibran, dimensi “perbuatan tercela” dan pelanggaran etika publik menjadi dasar moral untuk menggugat keabsahan legitimasi, meskipun jalan hukum formil belum terbuka sepenuhnya.

TNI Purnawirawan: Bukan Oposisi, Tapi Penjaga Moral Konstitusi

Fenomena munculnya Petisi 100 yang diinisiasi sejumlah jenderal purnawirawan tidak dapat disederhanakan sebagai sikap politis partisan. Seperti dikemukakan oleh Samuel P. Huntington (1991) dalam The Third Wave, peran militer dalam demokrasi pasca-otoritarian seringkali menjadi kekuatan penstabil ketika sistem politik kehilangan integritas moralnya. Para purnawirawan ini tampil bukan sebagai penggugat kekuasaan, melainkan sebagai penjaga konsensus dasar bernegara.

Jenderal TNI (Purn) Gatot Nurmantyo, Letjen (Purn) Suharto, dan sederet nama lain menegaskan bahwa demokrasi tidak boleh digadaikan hanya demi kepentingan elektoral sesaat. Mereka bersuara agar republik ini tidak tergelincir dalam jurang demokrasi iliberal—yakni demokrasi prosedural yang kehilangan semangat keadilan dan etika konstitusional.

Perbandingan: Filipina dan Dinamika Pemakzulan

Pelajaran menarik datang dari Filipina. Pada tahun 2001, Presiden Joseph Estrada dimakzulkan oleh parlemen setelah tekanan luas masyarakat sipil dan militer akibat kasus korupsi. Wakil Presiden Gloria Arroyo kemudian naik menjadi presiden. Menariknya, di tahun-tahun berikutnya, Arroyo sendiri menghadapi gelombang protes dan hampir dimakzulkan karena pelanggaran etika.

Begitupun kasus pemakzulan Wakil Presiden Filipina Sara Duterte yang mengemuka pada tahun 2024 memberikan preseden penting tentang bagaimana sistem demokrasi bisa menjalankan koreksi terhadap pejabat tinggi negara, termasuk wakil presiden. Tuduhan terhadap Sara Duterte terkait dengan dugaan penyalahgunaan dana intelijen Departemen Pendidikan yang ia pimpin serta konflik kepentingan politik antara kubu Marcos dan Duterte menunjukkan bahwa pemakzulan tidak hanya soal pelanggaran hukum, tetapi juga tentang transparansi, akuntabilitas, dan konflik kepentingan.

Konstitusi Filipina (1987) memberikan kekuatan besar kepada DPR dalam mengajukan proses pemakzulan atas dasar pelanggaran moral publik, pengkhianatan, atau korupsi. Namun kuncinya adalah solidaritas antara publik, masyarakat sipil, dan elite moral yang menyatu dalam tekanan kolektif.

Meski tidak secara langsung menjatuhkan jabatan, proses pemakzulan di Kongres Filipina menjadi sinyal kuat bahwa lembaga legislatif masih memiliki daya korektif terhadap eksekutif. Ini menjadi pelajaran berharga bagi Indonesia: ketika integritas lembaga dan tekanan sipil bersinergi, maka proses konstitusional terhadap Wakil Presiden dapat dilakukan tanpa menimbulkan instabilitas politik yang besar.

Di Indonesia, konstitusi juga membuka ruang itu lewat Pasal 7B UUD 1945. Namun realisasinya sangat ditentukan oleh integritas DPR dan kejujuran Mahkamah Konstitusi sebagai penjaga supremasi hukum. Ketika dua lembaga ini justru menjadi bagian dari masalah, maka suara publik dan tekanan moral elite menjadi benteng terakhir.

Pemakzulan: Koreksi Konstitusional, Bukan Kudeta Politik

Wacana pemakzulan Gibran tidak boleh dimaknai sebagai bentuk kudeta terhadap hasil pemilu. Sebaliknya, ia adalah bagian dari mekanisme checks and balances dalam sistem presidensial. Dalam teori konstitusionalisme yang dikemukakan Jimly Asshiddiqie (2005), pemakzulan adalah sarana konstitusional untuk menjaga agar kekuasaan tetap pada rel etis dan hukum. Bukan semata membatalkan hasil pemilu, melainkan menguji kelayakan moral dan hukum dari pejabat tinggi negara.

Terlebih, dengan situasi hari ini, ketika praktik nepotisme dan kooptasi lembaga hukum menjadi bukti vulgar dari lemahnya etika politik, maka pemakzulan bukan hanya soal hukum, tapi tentang penyelamatan demokrasi.

Penutup

Apakah pemakzulan Gibran realistis secara hukum? Mungkin tidak dalam waktu dekat. Tapi sebagai aspirasi konstitusional yang terukur, wacana ini penting untuk menjaga marwah demokrasi. Para jenderal purnawirawan bukan tengah berpolitik praktis. Mereka menyuarakan sesuatu yang lebih besar: agar republik ini tidak jatuh dalam tangan kekuasaan yang memanipulasi hukum, merendahkan etika, dan mengaburkan batas antara kekuasaan dan keluarga.

Wacana ini bukan tentang Gibran semata. Ini tentang warisan republik yang dibangun dengan darah, nyawa, dan sumpah para pendahulu—yang kini diteriakkan kembali oleh mereka yang pernah memegang senjata, kini bersuara demi kehormatan konstitusi.

Demikian.
_____

Penulis Penggiat Hukum Tata Negara., Medan 30 April 2025.
______

Referensi :

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2. Mahkamah Konstitusi RI. Putusan No. 90/PUU-XXI/2023.

3. Jimly Asshiddiqie. (2005). Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Konstitusi Press.

4. Denny Indrayana. (2008). Negara Parlemen dan Negara Presidensial. LP3ES.

5. Samuel Huntington. (1991). The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century.

6. Coronel, Sheila. (2001). The Fall of Joseph Estrada. PCIJ.

7. Constitution of the Republic of the Philippines (1987) – Pasal XI tentang Accountability of Public Officers.

8. Kompas.id (2024). Etika dan Konstitusionalitas Pilpres 2024.

9. Tempo.co (2023). Petisi 100 Purnawirawan dan Kritik terhadap MK.

10. Philippine Daily Inquirer – “House opposition files impeachment vs VP Sara Duterte” (2024)
https://newsinfo.inquirer.net

Berita Terkini