Matinya Hati Nurani Sekelompok Manusia Kaya Raya

Breaking News
- Advertisement -

Oleh : Drs. Muhammad Bardansyah Ch, Cht, Jakarta 4 Maret 2025.

Mudanews.com-Jakarta Opini | Saat berbuka puasa bersama keluarga, saya masih memelototi saluran TV yang menyiarkan banjir besar yang melanda JABODETABEK. Saya memikirkan bagaimana orang-orang ini menjalankan ibadah puasa—bagaimana mereka makan sahur, bagaimana mereka berbuka, bagaimana mereka mengadakan qiyamullail, dan banyak hal lainnya yang membuat saya semakin merenung.

Saya berpikir, banjir ini sudah terjadi puluhan tahun tanpa solusi. Eh, tapi benarkah tanpa solusi? Saya pernah membaca bahwa sebenarnya ada solusi, yakni dengan membangun bendungan raksasa di daerah penyangga. Tapi kenapa bendungan atau waduk raksasa itu tidak dibuat? Kabarnya sudah, tapi pengerjaannya lambat karena besarnya biaya. Ya, biaya yang dibutuhkan kabarnya sangat besar.

Salah satu bendungan yang kabarnya sedang dibangun, “Giant Sea Wall” atau tanggul laut raksasa, diperkirakan menelan biaya sekitar Rp58 triliun. Katakanlah totalnya mencapai Rp200 triliun, apakah negeri ini benar-benar tidak punya dana agar pembangunan bendungan tersebut bisa dilakukan lebih cepat?

Paradoks! Saat juru bicara pemerintah mengatakan bahwa pembangunan bendungan terkendala dana, di sisi lain kita justru diperlihatkan korupsi yang terus menggerogoti negeri ini, dengan nilai yang tidak main-main—ribuan triliun! Ada apa dengan negeri ini?

Berapa Besar Dana yang Dikuras oleh Korupsi?

Menurut laporan dari berbagai lembaga seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Indonesia Corruption Watch (ICW), total kerugian negara akibat korupsi dalam periode 2020 hingga 2023 mencapai sekitar Rp139,1 hingga Rp149,1 triliun. Beberapa kasus terbesar yang menyumbang angka tersebut adalah skandal Jiwasraya dengan kerugian Rp16 triliun, Asabri Rp23 triliun, serta korupsi dana COVID-19 yang mencapai miliaran rupiah.

Pada tahun 2020, kerugian negara diperkirakan mencapai Rp56,7 triliun, dengan dominasi kasus Jiwasraya dan Asabri. Tahun berikutnya, 2021, angka ini menurun menjadi Rp32,3 triliun, namun masih mencakup korupsi dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dan proyek infrastruktur. Tahun 2022 mencatat kerugian sekitar Rp30,1 triliun, yang banyak berasal dari kasus di sektor pertanian, BUMN, dan APBD daerah. Sementara itu, pada 2023, perkiraan kerugian berkisar antara Rp20 hingga Rp30 triliun, dengan beberapa kasus besar yang melibatkan Kementerian PUPR dan BUMN.

Jika dirinci berdasarkan sektor, sekitar 50 hingga 55 persen dari total kerugian dalam empat tahun terakhir berasal dari kasus yang melibatkan BUMN, dengan nilai sekitar Rp70 hingga Rp80 triliun. Korupsi di tingkat pemerintah daerah menyumbang sekitar Rp30 hingga Rp40 triliun atau 20 hingga 25 persen dari total kerugian. Sementara itu, proyek nasional dan pusat menyebabkan kerugian sekitar Rp20 hingga Rp25 triliun, termasuk korupsi dalam pengelolaan dana bansos COVID-19. Di sektor kesehatan, kerugian berkisar antara Rp5 hingga Rp10 triliun akibat kasus pengadaan alat kesehatan fiktif dan penyalahgunaan dana BPJS.

Selain itu, praktik suap di kalangan aparat penegak hukum dan legislatif turut merugikan negara sekitar Rp10 hingga Rp15 triliun. Fenomena ini mencerminkan bahwa korupsi telah mengakar di berbagai lapisan pemerintahan, mulai dari pejabat tinggi hingga pengelola proyek di daerah.

Angka-angka ini pun diperkirakan masih lebih kecil dibandingkan jumlah korupsi yang sebenarnya terjadi. Menurut ICW, hanya sekitar 10 hingga 15 persen kasus korupsi yang berhasil terungkap, sehingga kerugian aktual bisa mencapai tiga hingga lima kali lipat dari angka yang tercatat. Misalnya, kasus mega korupsi timah dan skandal di Pertamina yang diperkirakan dapat mencapai ribuan triliun rupiah, masih menjadi perbincangan di kalangan pakar ekonomi dan hukum.

Jika dibandingkan dengan anggaran nasional, total kerugian akibat korupsi dari 2020 hingga 2023 yang mencapai hampir Rp149 triliun setara dengan 22 persen dari anggaran kesehatan Indonesia tahun 2023, yang sebesar Rp679 triliun. Ini menunjukkan betapa besarnya dampak korupsi terhadap kesejahteraan masyarakat, di mana dana yang seharusnya digunakan untuk layanan publik justru hilang akibat praktik korupsi sistemik.

Matinya Hati Nurani: Korupsi Bukan karena Kekurangan, Tapi Keserakahan

Dari berbagai kasus yang terjadi, dapat disimpulkan bahwa pelaku korupsi bukanlah orang-orang yang kekurangan uang, melainkan mereka yang sudah berada di posisi mapan. Tak ada pelaku korupsi yang benar-benar hidup dalam keterbatasan ekonomi. Lantas, mengapa mereka masih korupsi? Jawabannya sederhana: matinya hati nurani!

Sebagai ahli ekonomi, sosial, dan budaya, saya melihat bahwa fenomena ini bukan sekadar masalah individu, melainkan hasil dari sistem yang rusak. Ada faktor struktural, kultural, psikologis, dan sistemik yang membuat korupsi tetap subur di negeri ini.

Kesenjangan ekonomi dan budaya pamer kekayaan menjadi salah satu pemicunya. Di Indonesia, status sosial sering dikaitkan dengan simbol materi—mobil mewah, rumah megah, dan gaya hidup hedonis. Pejabat yang hidup sederhana justru sering dicurigai “tidak mampu” atau “tidak berhasil”.

Sistem birokrasi yang rentan juga memberi ruang bagi praktik pungli dan suap. Proyek pengadaan barang sering kali diinstruksikan untuk menyisihkan “fee” 10 hingga 30 persen bagi pejabat yang berwenang. Tak heran, proyek infrastruktur yang seharusnya berkualitas justru sering gagal karena anggaran yang sudah “dipangkas” di banyak titik.

Faktor lain adalah lemahnya sistem hukum. Hukuman bagi koruptor sering kali ringan, dan bahkan banyak yang masih bisa hidup nyaman di penjara. Banding berkepanjangan serta sistem hukum yang bisa “dibeli” membuat para koruptor merasa kebal hukum. Data menunjukkan bahwa 70 persen mantan koruptor kembali melakukan korupsi setelah bebas dari penjara.

Agama pun kerap dijadikan tameng untuk membangun citra bersih. Tak jarang, kita melihat pejabat korup yang rajin beribadah, mengenakan atribut religius, bahkan ikut berdakwah. Ini adalah bentuk hipokrisi di tingkat tertinggi—ketika ritual agama dijadikan alat pencitraan, tetapi nilai kejujuran justru diabaikan.

Kesimpulan: Siapa yang Bertanggung Jawab?

Korupsi di Indonesia bukan hanya masalah individu yang serakah, tetapi hasil dari sistem yang membiarkan, budaya yang mentolerir, dan struktur yang memfasilitasi. Pejabat korup yang tampak religius adalah cerminan masyarakat yang masih mengukur kesalehan dari ritual, bukan keadilan.

Perubahan hanya mungkin terjadi jika ada revolusi mental yang didukung oleh reformasi sistem. Selama praktik politik uang masih berlangsung dan hukum masih bisa diperjualbelikan, maka korupsi akan tetap menjadi penyakit kronis bangsa ini.

Yang lebih menyedihkan, masyarakat pun turut berperan dalam memilih para pejabat korup ini. Mungkin sudah saatnya kita berhenti menutup mata dan mulai bertanya: apakah kita juga ikut berkontribusi dalam melanggengkan korupsi di negeri ini?**(RED)

Berita Terkini